27.8 C
Jakarta

Perempuan Berdaya, Indonesia Maju: Meretas Makna di Balik Perayaan Hari Ibu

Artikel Trending

KhazanahTelaahPerempuan Berdaya, Indonesia Maju: Meretas Makna di Balik Perayaan Hari Ibu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comPerceraian di Indonesia dari tahun ke tahun semakin tinggi. Pada tahun 2022, sebanyak 127.986 kasus atau 24.97% perceraian terjadi karena ada beberapa faktor, di antaranya: perselisihan dan pertengkaran. Faktor lainnya adalah masalah ekonomi, salah satu pihak meninggalkan, poligami, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Berdasarkan fakta tersebut, kita bisa memahami bahwa ekonomi adalah salah satu faktor perceraian yang cukup banyak. Sementara itu, kesadaran tentang berdaya akan hidup secafa individu, baik laki-laki atau perempuan domestik, sudah seharusnya menjadi kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia untuk bertahan hidup. Tugas-tugas domestik semestinya tidak dibebankan kepada perempuan sepenuhnya, karena dalam rumah tangga bisa dilakukan atas kerja sama.

Pola asuh yang seimbang, antara bapak dan ibu, sudah semestinya menjadi kesadaran bersama para orang tua, agar anak tidak merasa kehilangan salah satu sosok figur dalam keluarga meskipun secara fisik, keduanya ada. Salah satu pola asuh yang bisa diterapkan oleh orang tua kepada anak adalah pola asuh demokratis atau otoritatif (Authoritative Parenting). Pola pengasuhan ini menekankan pada individualitas anak, mendorong anak agar belajar mandiri, namun orang tua tetap memegang kendali atas anak. Pola asuh ini merupakan pola asuh yang paling relevan dan dapat menimbulkan keserasian terhadap tuntutan orang tua dan kehendak anak untuk melakukan tindakan.

Karena dalam pola asuh otoritatif menghendaki adanya diskusi sehingga anak menjadi terbuka, anak memiliki insiatif untuk bertindak dan terjadinnya koordinasi antara orang tua dan anak. Hal ini jelas dapat membangun relasi yang baik antara orang tua dan anak. Penerapan pola asuh kepada anak, harus dilakukan oleh kedua orang tua. Secara dasar, ini bukan sebuah tuntutan dari ide kesetaraan gender, melainkan kesadaran dasar bahwa anak adalah tanggung jawab orang tua, bapak dan ibu. Bukan hanya ibu semata.

Berjuang untuk Berdaya Bukan Kesalahan

Para aktivis khilafah tidak bisa merasakan, bagaimana nasib para single parent yang harus berjuang untuk membesarkan anak seorang diri. Tidak benar, apabila menyalahkan ide kesetaraan gender karena berasal dari Barat. Dan sebenarnya, hal itu tidak haram untuk kita jadikan sebagai pegangan hidup.

BACA JUGA  Pemberdayaan Perempuan sebagai Upaya Pencegahan Penyebaran Radikalisme

Perlu diketahui bahwa, perpisahan yang sudah pasti dalam hubungan keluarga antara suami-istri adalah akibat kematian. Ini mengapa setiap orang harus mampu berdiri di atas kakinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui seni bertahan hidup.

Para perempuan yang sedang berjuang di pasar, bangun sebelum subuh, untuk pergi ke pasar dan berdagang, dilakukan untuk menopang perekonomian keluarga agar bisa bertahan hidup. Jauh sebelum ide tentang kesetaraan gender disuarakan, para petani perempuan sudah lebih dahulu memanfaatkan ladang sebagai ruang bertahan hidup. Banyaknya perempuan yang terjun dalam ranah publik, menjadi entrepreuner, mengajar atau bahkan terjun politik. Itu semua adalah seni bertahan hidup yang bisa dilakukan oleh perempuan sebagai manusia. Sebab setiap manusia, memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri agar tidak tergantung kepada manusia lainnya.

Selain itu, menyuarakan pemberdayaan perempuan, bukan berarti menyuarakan untuk meninggalkan tugas domestik, seperti yang digemakan oleh para aktivis khilafah. Fobia terhadap ide kesetaraan gender, sama halnya menghilangkan kewajiban sebagai manusia. Di samping itu, mendorong agar perempuan mampu terjun ke politik bukanlah sesuatu yang menjijikkan. Dalam negara demokrasi, keterlibatan perempuan dalam parlemen sangat penting sebagai perwakilan dari masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan.

Isu tentang kesehataan anak, stunting, ruang aman bagi perempuan di dalam ranah publik, kekerasan seksual, yang kerapkali menghantui perempuan, butuh untuk digemakan agar bisa dibuat kebijakan yang bisa menciptakan kemaslahatan. Itu juga menjadi alasan mengapa pentingnya perempuan hadir dalam ranah politik. Bukanlah sebuah negara demokrasi apabila meniadakan peran perempuan dalam menjalankan tatanan pemerintahan. Tentu, alasan ini juga menjawab, keresahan yang tidak masuk para aktivis khilafah. Mereka jijik dengan ide kesetaraan gender, hanya karena berasal dari Barat. Mendorong perempuan Indonesia terus maju, juga berarti mendorong Indonesia maju karena menyeimbangkan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai bangsa Indonesia. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru