26.6 C
Jakarta

Peran Penting Masyarakat Halau Radikalisme Berkedok Revolusi

Artikel Trending

EditorialPeran Penting Masyarakat Halau Radikalisme Berkedok Revolusi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hai, Pembaca Harakatuna. Bagaimana kabarnya? Apakah sudah dengan rumor bahwa Habib Rizieq, Imam Besar Front Pembela Islam akan segera pulang ke Indonesia? Jadi, Selasa (13/10) kemarin, ketika demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, Ketua Umum FPI Ahmad Shabri Lubis menyatakan Habib Rizieq akan segera pulang ke Tanah Air. “Imam besar Habib Rizieq Syihab akan segera pulang ke Indonesia untuk memimpin revolusi,” kata Shabri, seperti dilansir Detik.

Wacana hendak pulangnya Sang Imam Besar, sejujurnya, sudah bergaung sejak lama. Kasus yang menjeratnya, atau isu pencekalan yang menimpanya, juga kembang kempis antara kubu yang percaya dan yang tidak. PA 212 dan GNPF bermain-main politik selama ini, dan instruksi dari Arab Saudi, yang mereka bahasakan sebagai “pesan dari tanah suci”, adalah penyokong semangat umat. Singkatnya, FPI sekadar menjadi tameng dari sepak terjang politik PA 212 dan GNPF, terutama sebagai oposisi.

Kita, Tim Redaksi, dalam rubrik-rubrik terbaru, telah mengulas bagaimana PA 212 dan GNPF mendominasi FPI. Yusuf Martak, Slamet Maarif, dkk, adalah aktor yang sama di kedua organisasi tersebut. Narasi yang dipakai ialah seputar pemerintah komunis, antek China, pemerintah sekuler, Jokowi komunis, dan sejenisnya. Tujuannya satu, yaitu membuat masyarakat tidak lagi mempercayai pemerintah. Dengan begitu, dukungan atas mereka, dengan sendirinya, akan menguat.

Dalam konteks permainan isu yang dibangun FPI, PA 212, GNPF, dkk, satu-satunya cara menanggulangi ialah membentengi diri dari paham radikal. Namun, tentu itu bukanlah tugas pemerintah belaka. Peran masyarakat juga merupakan kunci keberhasilan. Kita belum tahu pasti, apa yang Shabri maksud revolusi ala Habib Rizieq. Apakah itu perang melawan pemerintah yang dianggap zalim, apakah itu revolusi akhlak, sistem, atau yang lainnya. Kita hanya bisa mempersiapkan satu hal, yaitu berhati-hati.

Boleh jadi Shabri hanya bermaksud memancing semangat demonstran, bahwa Sang Imam Besar akan kembali mengomando jihad mereka. Tetapi jika memang benar ingin revolusi dalam artian “perjuangan berdarah”, selain polisi harus turun tangan, kita sebagai masyarakat wajib bahu-membahu menghalaunya. Sebab, itu radikalisme, bukan revolusi. Bukankah sudah lama kita dengar bahwa Habib Rizieq akan pulang dan bertindak seperti Ayatullah Khomeini yang memimpin Revolusi Iran tahun 1978?

Revolusi; Khomeinisasi Habib Rizieq

Shah Muhammad Reza Pahlavi, pemimpin monarki Iran, sebelum terjadinya revolusi, menjalankan pemerintahan yang brutal, korup, dan boros. Inflasi tinggi, kelangkaan, dan instabilitas ekonomi meresahkan masyarakat Iran ketika itu. Kejatuhan Dinasti Pahlavi terjadi setelah demonstrasi jutaan rakyat Iran berhasil melumpuhkan negara. Dilansir Wikipedia, Reza Pahlavi menjalani pengasingan, meninggalkan Iran. Ayatullah Khomeini kemudian kembali ke Teheran, disambut jutaan Bangsa Iran.

Realitas yang kita saksikan hari ini juga demikian. Habib Rizieq ingin menjadi pemimpin revolusi di Indonesia, pulang dari Arab Saudi dan berhasil menumbangkan rezim Jokowi. Selama Jokowi dan partainya menguasai negeri, maka FPI, PA 212, dan GNPF itu akan selamanya menjadi oposisi, mengobarkan emosi umat dengan mengagendakan revolusi Islam, dari Republik Indonesia menjadi NKRI Bersyariah. Namun, orang lupa satu hal: Habib Rizieq bukan, dan tidak akan pernah menjadi, Khomeini.

BACA JUGA  Mawas Diri dari Propaganda Khilafah di Bulan Ramadan

Semangat tersebut, tidak berlebihan kita sebut sebagai Khomeinisasi Habib Rizieq. Seolah hari ini ia tengah dalam pengasingan, sebagaimana Khomeini dulu melakukannya. Boleh jadi, itu terjadi karena dirinya merasa sudah cukup massa di Indonesia, untuk melakukan revolusi politik—penumbangan rezim. Jika itu yang Shabri anggap agenda revolusi Habib Rizieq, dipastikan itu tidak akan berjalan lancar. Berapa juta jumlah massa FPI, PA 212, GNPF, dkk? Dikiranya semua rakyat setuju rencana mereka?

Jawabannya jelas tidak. Negara ini tidak dipimpin koruptor, sebagaimana Iran di tangan Reza Pahlavi. Juga tidak mengalami inflasi, serta tidak menjadi antek-antek Barat. Umat Islam juga bebas mengamalkan agama tanpa kekangan apa pun. Bagaimana mungkin kemudian mereka ngebet ingin jihad revolusi? Yang terjadi nanti adalah maraknya aksi radikal, perusakan fasilitas umum, pemogokan sistem perekonomian gara-gara kericuhan. Itu yang diinginkan terjadi?

Di sini masyarakat menemukan momentumnya. Bukan untuk ikut-ikutan berseru revolusi, melainkan menghalaunya. Tidak ada hal yang lebih urgen daripada menjaga negeri dari rongrongan gerakan apa pun. Radikalisme berkedok revolusi tidak lebih dari sekadar pengecohan politik kekuasaan, melalui stigmatisasi rezim yang tengah memerintah hari ini—menganggap mereka musuh Islam. Pergolakan politik yang polemik dijadikan dituduhkan sebagai bukti bangkitnya komunisme.

Ganyang Radikalisme

Kalau mereka, para aktor penyeru revolusi, yang Habib Rizieq include di dalamnya, menyeru “ganyang China komunis,” maka sebenarnya narasi yang pas bukan begitu. Sebagaimana diuraikan Prof Salim Said, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia, komunis itu sudah bangkrut. Kita pun tahu, isu kebangkitan mereka hanya framing politik untuk mencitra-burukkan pemerintahan Jokowi. Ini tidak bermaksud membela Jokowi. Tidak ada kepentingan dengannya. Ini bermaksud menepis narasi bahwa ancaman serius kita adalah komunisme. Padahal sama sekali bukan. Ancaman kita adalah radikalisme.

Radikalisme bisa berkedok jihad Islam, bisa pula berkedok revolusi. Semua hanya kamuflase. Karenanya, paling tidak, jika masyarakat tidak bisa memberi sumbangsih banyak untuk memberantas mereka, masyarakat harus memiliki kesadaran diri untuk tidak terprovokasi dengan narasi yang dibangun para politikus bertopeng agama itu. Itu dalam rangka satu tujuan, yaitu mengganyang komunisme. Tidak ada ruang bagi para kaum radikal yang ingin menyabotase negeri.

Cara-caranya bagaimana? Kita sudah banyak mengulas mengenainya. Selanjutnya, adalah tugas masyarakat untuk memberikan imun tinggi untuk wawasan kebangsaan kita, bahwa betapa berharganya Indonesia saat ini tanpa harus berutopia menjadikannya serba agamis ekstrem. Indonesia sudah begini adanya, majemuk, dan tidak ada yang mampu merombak ketentuan tersebut. Apakah pengasong revolusi, yang sebenarnya radikalisme, itu mengira Indonesia ini adalah Iran? Tidak. Indonesia bukan Iran. Habib Rizieq bukan Khomeini. Dan revolusi yang digaungkan itu adalah radikalisme bertopeng.

Pertanyaannya, apakah kita akan terprovokasi dengan narasi jihad revolusi tersebut? Jawabannya ada pada kita masing-masing.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru