32.9 C
Jakarta

Aksi PA 212, Kenapa Umat Islam Jadi Hobi Demo? 

Artikel Trending

Milenial IslamAksi PA 212, Kenapa Umat Islam Jadi Hobi Demo? 
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Baru sehari setelah Pemprov DKI Jakarta melakukan reparasi fasilitas umum yang dirusak demonstran UU Cipta Kerja beberapa hari yang lalu, pada Selasa (13/10) kemarin Persatuan Alumni (PA 212) mengelar demo Omnibus Law UU Ciptaker dan beberapa poin lain seperti tolak RUU HIP dan bubarkan BPIP dan seruan ganyang China komunis. Massa terkonsentrasi di Patung Kuda Arjuna Wijaya. Beberapa ruas jalan ditutup sejak hari sebelumnya, dan 20 ribu personel kepolisian dikerahkan.

Hal yang harus kita apresiasi dari setiap aksi demo FPI, PA 212, GNPF, dkk, ialah komitmen untuk melakukannya secara damai. Tetapi, damai sekalipun, yang namanya demo, itu ada baik-buruknya. Karenanya, sangat disayangkan bahwa mereka adalah kelompok yang suka sekali demo. Ada polemik sedikit, demo, terus begitu, yang tuntutannya seringkali keluar konteks permasalahan. Narasi yang diusungnya pun itu itu-itu saja. Pasti mereka anggap polemik itu karena pemerintah adalah “komunis”.

Kemarin, ketika massa demo PA 212 membubarkan diri, sekitar jam 15.40 WIB, beberapa remaja bertindak anarkis melemparkan botol dan batu kepada penjaga barikade. Dilansir Kompas, Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana mengatakan, para pelaku bukan dari massa PA 212 melainkan Anarko. “Ini ada yang STM, yang kami sebut Anarko,” ujar Nana di kawasan Jalan Raya Thamrin. Kendati demikian, bukankah salah satu sebab kericuhan tersebut, terlepas siapa pun pelaku yang menumpang tindakan anarki, terjadi karena adanya demo itu sendiri?

Selain itu, PA 212 dkk, melalui aksi tolak Omnibus Law kemarin, memancing 14 ribu cuitan bertagar #RakyatInginJokowiTumbang. Yang awalnya ialah berusaha mengkritik kebijakan UU Ciptaker, tuntutan berkembang pada keinginan menumbangkan presiden. Masalahnya, ini bukan kali pertama kita saksikan. Dalam demo-demo PA 212 sebelumnya, semua narasinya sama, yaitu ingin Jokowi tumbang karena dianggap komunis. Kesangsian pun muncul, bahwa sebenarnya, mereka tidak paham persoalan.

PA 212; Demo Tapi Tak Paham

Sebelumnya, ulasan ikhwal aksi demo PA 212 sudah dilakukan, yang menegaskan bahwa ketimbang menghasilkan diplomasi konkret, aksi mereka kebanyakan tidak lebih sekadar arak-arakan massa. Ingin menunjukkan kepada publik bahwa jumlah mereka banyak, setidaknya agar pemerintah merasa waswas ketika berurusan dengan umat Islam. Namun, alih-alih menunjukkan kekuatan, mereka membuahkan anggapan orang bahwa umat Islam suka bermain massa, kuantitas, tidak dengan kualitas.

Memang, naskah UU Cipta Kerja dipermasalahkan. Umumnya karena pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, tidak terbuka lalu tiba-tiba mengesahkan, padahal naskahnya belum final seratus persen. Demo tentang kebijakan yang sepihak sama sekali tidak menyalahi aturan, dan untuk ikut demo, membaca keseluruhan naskah tersebut bukanlah kewajiban. Tetapi, tidak berarti pula dengan itu bahwa demo bisa dilakukan tanpa memahami duduk permasalahan, bukan?

PA 212 sebagai payung organisasi demonstran seharusnya tidak membawa emosi umat Islam ke dalam kubangan isu komunisme. Juga tidak seharusnya bersikap antipati terhadap pemerintah, dan menjadikan polemik sebagai kesempatan menyuarakan provokasi. Kalau demonstran kemarin, satu saja, terutama yang pemuda, ditanya tentang mengapa dia ikut demo? Jawabannya mudah ditebak. Kalau tidak karena ikut-ikutan, pasti alasannya karena ingin menumbangkan pemerintah komunis.

BACA JUGA  Ramadan: Melihat Janji Manis Aktivis Khilafah yang Harus Dibasmi

Apakah duduk persoalannya sesuai dengan yang mereka tuntut? Jelas tidak. Itu artinya, terjadi kesenjangan antara isu dengan pemahaman atas isu sendiri. Yang mudah untuk digiring demo, biasanya, adalah orang-orang pedalaman yang tidak paham persoalan sebenarnya—hanya ikut panduan, apalagi yang menginstruksikan adalah Habib Rizieq dari Arab Saudi. UU Ciptaker hanya pemilik momen. Yang mereka inginkan, kalau mau jujur, adalah penggantian presiden kepada kalangan mereka.

Demo tetapi tidak memahami alasan melakukannya adalah tindakan yang sia-sia. Apalagi pulang tanpa berhasil merubah kebijakan apa pun, demo tersebut sudah kehilangan ruhnya. Lagi pula, siapa itu PA 212, apa fungsi mereka, kenapa keahliannya hanya demo, juga kenapa mereka seolah-olah mengganti setir FPI adalah hal-hal yang perlu dipertanyakan. Kalau yang didemo UU Ciptaker, kenapa tuntutan orator merembes pada isu komunisme yang sebenarnya sudah basi?

Dari FPI ke PA 212

Boleh dikata, semenjak Habib Rizieq pergi ke Arab Saudi, eksistensi FPI sudah melemah. Yang menguat bahkan terlibat dalam persoalan-persoalan publik bukanlah organisasi Habib Rizieq itu, melainkan nomenklatur beda yang ternyata orang-orangnya sama. Dalam satu kasus, PA 212 lahir. Dalam kasus lain, GNPF lahir. Dalam kasus lain lagi, organisasi Aliasi Nasional Anti Komunis (ANAK) dibuat juga. Nama-nama tersebut berasal dari kantong yang sama, yaitu para oposisi Jokowi.

Pembakuan eksistensi mereka, barangkali juga pembentukan AD-ART-nya, mungkin sudah dilakukan. FPI kemudian tidak bertindak sendiri, kecuali komunitas-komunitas baru tadi berada di samping atau bahkan di depannya. Kita, hari ini, hanya sering mendengar perkataan, “Imam Besar menginstruksikan dari tanah suci bahwa …” lalu tidak lama PA 212 akan mengumumkan akan demo ini, akan boikot itu, dan sejenisnya. FPI, kemudian, berubah wujud menjadi PA 212 dkk.

Polemik negara adalah santapan untuk mereka, momen untuk melakukan arak-arakan massa. Hasrat untuk menumbangkan Jokowi sangat tinggi, yang kalau itu tidak bisa terwujud, paling tidak masyarakat tidak lagi bersimpati kepada presidennya. Mereka memang tidak sengawur para aktivis khilafah, namun spiritnya sama, yaitu politik kekuasaan. Mau itu kasus RUU HIP, kasus UU Ciptaker, itu sekadar intrik dari agenda besar: berebut kursi pemerintahan.

Apakah hal itu tidak boleh? Tentu saja boleh, selama dalam koridor konstitusional. Namun demikian, dari PA 212 dan segala sepak terjang politiknya, umat Islam menjadi bingung karena mereka yang tulus ingin berjuang untuk agamanya ternyata sekadar dijadikan elemen siasat. Seburuk apa pun pemerintahan Jokowi, misalnya, itu tetap tidak lebih buruk dari perpecahan umat Islam. Kita bisa melihat, sekarang, secara politik, umat Islam sudah tidak dalam kebersatuan.

PA 212, GNPF, dkk, laik sekali untuk mengaca diri perihal apa yang sudah dilakukan. Menggoreng isu komunisme yang sebenarnya sudah bangkrut dan tidak akan bangkit lagi, atau menelan mentah-mentah polemik UU Ciptaker demi melakukan demo, itu tidak hanya berdampak buruk terhadap iklim perpolitikan di Indonesia. Lebih dari itu, tindakan provokatif tersebut justru akan melahirkan patologi sosial terutama antarsesama Muslim—mereka jadi saling mencaci satu sama lainnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru