31.5 C
Jakarta

Nilai Moderat dalam Kisah Kehidupan Abu Nawas

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuNilai Moderat dalam Kisah Kehidupan Abu Nawas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Abu Nawas, Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka, Penulis: Muhammad Ali Fakih, Penerbit: Laksana, Cetakan: I, 2022, Tebal: 170 Halaman, ISBN: 978-623-3272537, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Abu Nawas lahir di provinsi Ahwaz, di wilayah Khuzistan, di barat daya Persia, sekitar tahun 757 Masehi. Ia lahir dari seorang ibu bernama Jullaban yang kesehariannya bekerja sebagai penjahit dan pencuci kain wol. Abu Nawas meninggal dunia di usia 59 tahun, yaitu pada tahun 816 dan dimakamkan di Pemakaman Syuniziyyah, di tepi Kanal Isa, Baghdad.

Abu Nawas sering digambarkan sebagai seorang ahli maksiat, pemabuk, puisi-puisi gubahannya sering menyentil para ahli ibadah, dan suka mempermainkan agama. Seolah ia tenggelam dalam dunia gelap dan sama sekali tidak memiliki cahaya Islam. Namun, kenapa salah satu syairnya yang berjudul al-I’tiraf, banyak dibaca oleh para ulama dan orang-orang yang diberi pangkat waliyullah sebagai doa atau wasilah antara mereka dengan Allah? Tidak sedikit pula pelaku maksiat kemudian tersadar dan bertaubat setelah membaca dan mengenal syair tersebut.

Abu Nawas memang tidak memiliki karya di bidang tasawuf, tidak seperti Imam al-Ghazali dengan Ihya’ Ulumuddin, Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dengan Al-Hikam, Jalaluddin ar-Rumi dengan Matsnawi, atau Ibnu ‘Arabi dengan Fushush al-Hikam. Tetapi, ia memiliki kisah hidup yang bernuansa tasawuf. Anekdot-anekdotnya hingga kini masih dijadikan panduan untuk mengetahui nilai-nilai keislaman yang hidup di tengah-tengah masyarakat (tasawuf praktis).

Di dalam buku Abu Nawas, Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka ini, Muhammad Ali Fakih menulis biografi Abu Nawas, serta kisah-kisahnya yang jenaka dan penuh hikmah. Sehingga dengan mengetahui kisah-kisah Abu Nawas yang jelas sumbernya ini, kita dapat menangkap nilai-nilai kebenaran, kebijaksanaan, pendidikan, dan mutiara-mutiara sufisme. Dengan mengenal anekdot-anekdotnya yang sarat hikmah dan memuat pembelajaran berharga ini, kita paham sesungguhnya Abu Nawas ialah seorang sufi yang diutus Allah untuk menjaga istana Abbasiyah.

Abu Nawas menggunakan metode anekdot yang bersifat satir dan penuh kebijaksanaan untuk mengkritik sehingga kritikannya menjadi berkesan. Kritik sosial yang digunakan Abu Nawas pada era Abbasiyah ini terus dibicarakan oleh generasi-generasi berikutnya dan terasa segar sampai saat ini, sebab kritik-kritik sosial itu disampaikan oleh Abu Nawas dengan nilai tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (adil), dan tasamuh (toleran).

Dalam kehidupan sehari-hari, nilai tawasuth (moderat) tergambar dari sikap mengatakan salah terhadap sesuatu yang benar-benar salah dan mengatakan benar kepada sesuatu yang memang benar. Ia tidak membela kelompok tertentu berdasarkan kepentingan. Ia membela yang benar semata karena Allah Swt. Nilai tawasuth harus dimiliki oleh setiap sufi, karena mereka menilai segala sesuatu menurut Allah, bukan menurut hawa nafsunya.

Sebagai contoh kisah kehidupan Abu Nawas yang mengandung nilai tawasuth, berjudul Abu Nawas Mendemo Tuan Qadhi. Diceritakan pada suatu sore, datang dua orang tamu ke rumah Abu Nawas saat ia tengah mengajar murid-muridnya. Dua tamu tersebut adalah wanita tua penjual kopi dan pemuda berkebangsaan Mesir. Mereka mengadukan kepada Abu Nawas mengenai tindakan Tuan Qadhi yang semena-mena. Lalu, Abu Nawas menyuruh murid-muridnya nanti malam untuk merusak rumah Tuan Qadhi.

BACA JUGA  Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Malam harinya, para murid itu merusak rumah Tuan Qadhi. Orang-orang kampung tidak berani menghalangi perbuatan mereka, sebab jumlah mereka begitu banyak. Dan saat Tuan Qadhi bertanya siapa yang menyuruh mereka, dengan kompak mereka menjawab guru Abu Nawas yang memerintahnya. Esok harinya, dengan hati yang memendam amarah, Tuan Qadhi mengadukan hal tersebut kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu, sang khalifah menyuruh polisi untuk menjemput Abu Nawas agar segera datang ke istana.

Saat Abu Nawas tiba di istana, khalifah bertanya alasan Abu Nawas merusak rumah Tuan Qadhi. Dengan tenang ia menjawab, “Sebabnya, wahai Tuanku, pada suatu malam hamba bermimpi Tuan Qadhi menyuruh hamba untuk merusak rumahnya. Karena rumah itu tidak cocok lagi baginya, dan ia menginginkan rumah yang lebih bagus. Ya, karena mimpi itu, maka hamba merusak rumah Tuan Qadhi.”

“Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?” tanya Khalifah Harun ar-Rasyid.

Dengan santai Abu Nawas menjawab, “Hamba juga memakai hukum Tuan Qadhi yang baru, wahai Tuanku.”

Mendengar jawaban Abu Nawas, wajah Tuan Qadhi mendadak pucat. Sementara khalifah memintanya untuk menjelaskan peristiwa itu. Kemudian berkisahlah Abu Nawas bahwa beberapa hari yang lalu ada pemuda Mesir yang datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sembari membawa harta yang sangat banyak. Pada suatu malam, ia bermimpi menikah dengan anak Tuan Qadhi dengan mas kawin begitu banyak.

Lalu, Tuan Qadhi yang mendengar perihal mimpi pemuda Mesir tersebut, langsung mendatanginya dan meminta mahar anaknya. Sebab pemuda Mesir itu hanya bermimpi, ia pun tidak memberikan mas kawin tersebut. Namun, dengan arogannya, Tuan Qadhi merampas harta benda pemuda itu sehingga ia menjadi pengemis gelandangan yang akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kopi.

Abu Nawas lalu diperintah untuk memanggil pemuda Mesir tersebut agar memverifikasi laporan Abu Nawas. Saat menghadap, pemuda itu memberi pengakuan sebagaimana pernyataan Abu Nawas. Mendengar itu, khalifah sangat murka dan ia menyesal telah salah mengangkat qadhi. Tuan Qadhi akhirnya dipecat oleh khalifah.

Sedangkan pemuda Mesir itu memberikan sisa hartanya kepada Abu Nawas sebagai balas budi, namun ia tolak secara halus. Pemuda itu menjadi sangat kagum terhadap sikap Abu Nawas. Ketika ia kembali ke Mesir, ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas kepada penduduk Mesir, sehingga nama Abu Nawas sangat populer di Mesir (hlm. 60).

Kisah ini menjadi tanda bahwa Abu Nawas memegang erat prinsip tawasuth (moderat). Ia tidak membela Tuan Qadhi sekalipun menjadi warganya, sementara pemuda Mesir merupakan orang asing. Abu Nawas tetap membela yang benar dan bertindak dengan adil. Cara yang digunakan Abu Nawas ini terlihat keras, tetapi dengan cara itulah khalifah bisa mengetahui kebejatan Tuan Qadhi, lalu melengserkan dari jabatannya.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru