27.8 C
Jakarta

Nawal El Saadawi dan Kritik atas Ketimpangan Kemanusiaan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuNawal El Saadawi dan Kritik atas Ketimpangan Kemanusiaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul: Melawan Sistem Perbudakan, Penulis: Nawal El Saadawi, Penerjemah: Mirza Syauqi Futaqi, Penerbit: IRCiSoD, Terbit: 2022, Tebal: 230 Halaman, ISBN: 978-623-6166-92-5, Peresensi: Wahid Kurniawan.

Harakatuna.com – Bagaimana keadaan tanah Timur Tengah saat ini? Apakah ketidakadilan seperti kesenjangan kelas, peperangan, deskriminasi ras, ketidaksetaraan gender, perbudakan, sampai kolonialisme sudah sama sekali teratasi?

Bagi yang mengikuti sejumlah konflik yang ditampilkan media massa, maka kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan ini dengan menderet sekian masalah seperti peperangan, kesenjangan kelas, atau ketidaksetaraan gender. Lalu, bagaimana dengan masalah lainnya, seperti perbudakan dan kolonialisme?

Bicara soal perbudakan, barangkali sebagian dari kita mengira bahwa terma perbudakan terdengar tidak relevan lagi digunakan di masa kiwari ini. Sebagian orang menyangka kalau berakhirnya masa-masa kolonialisme di sebuah negara, maka di situlah perbudakan sudah sama sekali raib.

Perkembangan peradaban yang berangsur membaik, dengan berbagai modernitas yang merambah berbagai macam bidang; menciptakan ilusi perbudakan yang telah hilang. Padahal, seturut apa yang dikemukakan Nawal El Saadawi dalam bukunya, Melawan Sistem Perbudakan (IRCiSoD, 2022), terma perbudakan—juga kolonialisme—bukan berarti tak ada seiring berkembangnya zaman modern, melainkan keduanya bertransformasi menjadi terma lain dan menyusup di sela lain kehidupan.

Kesadaran akan hal itu bukannya datang secara tiba-tiba. Tumbuh dan besar di wilayah Kairo, Mesir; membuat Nawal mengerti situasi masyarakat, politik, keagamaan, dan perekonomian di wilayah Timur Tengah. Seiring pertumbuhan dirinya, Nawal mendapati sejumlah masalah ketidakdilan yang berkaitan dengan perempuan dan sistem masyarakat yang melanggengkan patriarkisme.

Dua hal ini pula yang berhubungan dengan perbudakan dan kolonialisme tersebut. Bahwa perbudakan di masa modern tidak lagi ditampilkan sebagaimana dahulu, tetapi telah berubah bentuk, dan praktiknya tampak sedikit berbeda di tengah masyarakat. Perbudakan modern bisa dilihat dalam praktik industri yang mengupah buruh dengan gaji yang tak selayaknya, jam kerja pekerja yang melebihi jam wajar, sampai hak-hak ketubuhan, seperti cuti melahirkan; yang tak diberikan dengan baik.

Adapun kolonialisme, terkhusus yang berkembang di wilayah Timur Tengah, telah bertransformasi menjadi neo-kolonialisme yang menyusup sekat negara dengan cara yang cerdik, cantik, dan halus.

Sebuah negara bisa saja tak sadar kalau ada negara adidaya lain yang tengah mengeruk sumber daya mereka, mengeksploitasi berbagai komoditas berharga mereka, dan bermain pisau di balik selimut kebaikan.

Perang, dalam hal ini, memerankan fungsi yang lain; bahwa bagi praktik neo-kolonialisme, perang mesti senantiasa disulut dan dirawat kendati hal itu bertentangan dengan nilai kemanusiaan, kestabilan negara, bahkan perdamaian. Oleh sebab itu, Nawal tak segan-segan menyebut kalau peperangan di Timur Tengah erat kaitannya dengan praktik neo-kolonialisme ini.

Di sisi lain, kita tahu, kalau tanah Timur Tengah memiliki sejarah panjang atas perkembangan agama Islam. Tanah ini dikenal terbekati sekaligus tak henti menuai banjir darah peperangan. Persinggungan agama Islam, dalam hal ini, bukan saja perihal teologis dan filosofis semata, tetapi juga terkait dengan hal-ihwal kemanusiaan dan konflik-konfliknya di bidang ekonomi, politik, dan masyarakat.

Nawal, dalam salah satu tulisannya bahkan menyebut: “Islam adalah salah satu arena penting karena menyebarkan pengaruhnya di wilayah-wilayah penting di dunia yang kaya akan sumber daya dan potensi manusia. Konflik dalam Islam terkait langsung dengan perebutan penguasa ladang minyak. (Hal. 70)” Kutipan ini menyinggung imperialisme Barat yang sampai kini, tak henti mengeruk berkubik-kubik sumber daya, dan merawat konflik yang terjadi di sana.

Praktik neo-kolonialisme ini, seturut pendapat Nawal, juga sangat bernuansa patriarkal. Orientasi mereka adalah mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, tak penduli dampak yang ditimbulkan menciptakan kesenjangan kelas, gender, ras, dan kelompok sosial tertentu.

Dengan kata lain, kalau kita menyinggung soal perbudakan tadi, maka hal itu hanyalah satu sekrup dari sebuah sistem besar patriarkal yang bertuankan kekuasaan dan keuntungan semata.

Mereka pun sadar diri dan berkeinginan untuk terus merawatnya kendati di dalam masyarakat sendiri, mulai timbul kesadaran mengenai perjuangan melawan ketidakdilan gender dan kesenjangan kelas di masyarakat yang menjadi dampak dari neo-kolonialisme yang mereka lakukan. Praktik perawatan itu pun dilakukan dengan cara yang halus, dengan cara mengenali medan sasaran, memahami konflik budayan menahun, yang bercorong pada satu hal, yaitu agama Islam.

BACA JUGA  Gus Dur dan Perjuangan untuk Etnis Tionghoa di Indonesia

Siapa yang menyangka, kalau konflik antar para fanatik agama yang cenderung konservatif dan kelompok kontemporer yang menggagas tafsir serta interpretasi baru atas nilai keagamaan demi kemaslahatan umat khususnya keadilan bagi perempuan, turut dirawat oleh imperialis Barat? Mereka tahu, bahwa gerakan para kelompok kontemporer dapat mengganggu kestabilan kepentingan pribadi mereka.

Orang atau kelompok dianggap sebagai ancaman. Bahkan, salah tokoh penting dalam barisan ini, seperti Nawal sendiri, dilabeli orang-orang yang berbahaya. Sebab, mereka menentang hal-hal yang sudah terlanggengkan selama bertahun-tahun, dan upaya itu diperjuangkan demi kemerdekaan dan kesetaraan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nawal, bahwa, “Kemerdekaan dan kesetaraan sosial adalah fenomena luas yang mengguncang fondasi sistem imperialis yang dibangun di atas diskriminiasi sosial, ras, dan seksual.” (Hal. 66)

Gerakan itu tampak menjanjikan dan menerbitkan harapan cerah di masa depan. Namun, bukan berarti proses pembebasan dan perjuangan itu sama sekali selesai. Keadaan masa kini masih menunjukkan situasi yang belum sepenuhnya terbebaskan dari praktik ketidakadilan sosial atas ras dan gender.

Nawal sendiri, selama perjuangannya sebagai dokter sekaligus penulis, harus menempuh jalan terjal yang tak main-main: ia pernah dipenjara, rumahnya disatroni orang asing, ia juga pernah diancam dibunuh, bahkan namanya ada dalam daftar orang wajib dibunuh yang dikeluarkan oleh kelompok fanatik.

Oleh sebab itu, setelah menjabarkan keadaan sebenarnya terkait kondisi perempuan dalam kungkungan ketidakadilan dan neo-kolonialisme, Nawal membabarkan sekian hal yang bisa dilakukan demi tercapainya kemerdekaan dan kesetaraan sosial.

Ia menyebutkan dua hal yang bisa membuat gerakan perempuan menjadi kuat: pembangkangan dan kreativitas. Kendati kata pertama terdengar radikal, tapi itulah yang dibutuhkan perempuan di setiap zaman. Sejarah menunjukkan, kalau perubahan dimulai dari perpaduan keinginan membangkang dan gagasan kreatif yang ingin dikembangkan.

Perpaduan antara perempuan, pembangkangan, dan kreativitas pun bisa menjadi hal yang menggetarkan. Bahwa pernah, ada suatu masa para perempuan cerdas dituduh penyihir dan dibakar hidup-hidup hanya karena mereka menentang hal-hal yang sudah menjadi pakem dengan sesuatu yang ada di luar batas pengetahuan kala itu (kreativitas yang belum diakui). Dan hal itu masih terjadi hingga hari ini, kendati dengan bentuk dan praktik yang sudah jauh berbeda.

Namun, dengan dua hal tersebut, dan dua hal itu terorganisir dengan baik, serta tak membatasi kreativitas hanya berkisar pada soal seni dan kesesusastraan, maka gerakan yang berorientasi keadilan perempuan pun bisa dicapai.

Nawal menyebut, “Kita percaya bahwa kreativitas dapat meruntuhkan segala macam penghalang—antara sains dan seni dan humaniora, antara politik dan ekonomi, waktu dan ruang, pikiran dan tubuh, kota dan pakaian, serta teori dan praktik.”

Proses penyaluran kreativitas ini, juga bisa dilakukan lewat berbagai medium. Misalnya, Nawal, memilih dengan menuangkannya dalam proses menulis sebab, baginya, “Menulis adalah senjata dalam memperjuangkan keadilan, demokrasi sejati, dan perdamaian yang dibangun di atas hak asasi manusia dan bukan kekerasan. (Hal. 109)”

Apa pun itu, yang penting proses kreativitas ini berpijak pada kesadaran bahwa ada situasi yang ingin diubah, bahwa sejumlah masalah ketidakdilan, mulai dari ketidaksetaraan gender, kesenjangan kelas, sampai perbudakan dan praktik neo-kolonialisme, tak hanya menyangkut situasi di Timur Tengah semata.

Lebih dari itu, pada dasarnya, masalah itu masih mendera berbagai negara di dunia, tanpa terkecuali di Indonesia. Masalah itu pun bukannya hanya menjadi pekerjaan rumah yang diselesaikan oleh pemimpin dan pengampu pemerintahan. Nawal menunjukkan, kepedulian dan keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik bisa dilakukan oleh siapa saja.

Gerakan dengan kesadaran kolektif atas pentingnya kesetaraan dan upaya-upaya yang berdiri di pondasi kemanusiaan mesti terus dipupuk. Sebab, dengan demikian, sinar cerah perdamaian bisa menerangi seluruh lapisan masyarakat di dunia. Itulah yang ditegaskan oleh sekian tulisan Nawal di dalam buku ini.

Wahid Kurniawan
Wahid Kurniawan
Pegiat literasi. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru