32.7 C
Jakarta

Nasihat Tokoh Bangsa: Pancasila Adalah Bagian dari Agama

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuNasihat Tokoh Bangsa: Pancasila Adalah Bagian dari Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Nasihat-nasihat Keseharian Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun, Penulis: Ahfa Waid, Penerbit: Diva Press, Cetakan: I, Oktober 2017, Tebal: 184 Halaman, ISBN: 978-602-391-447-0, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Tanggal 01 Oktober, beberapa hari lalu, biasa diperingati Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila menjadikan bangsa Indonesia bersatu melampaui suku, agama, dan golongan berada di bawah satu bendera. Kesaktian Pancasila ini tidak hanya diakui para tokoh nasionalis, melainkan juga para ulama dan tokoh agama.

Dalam sebuah acara Halaqah Nasional Ulama Pesantren dan Cendikiawan Gerakan Dakwah Aswaja Bela Negara II yang digelar di Pondok Pesantren Al Hikam Depok tahun 2017 lalu, KH. Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo menjelaskan tentang kesaktian Pancasila.

“Yang perlu kita ketahui bahwa Pancasila ini memang benar-benar sakti. Karena bisa menyatukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, golongan, agama, dan seterusnya,” katanya [Republika, 31/10/2017].

Dalam satu sesi, beliau juga memaparkan tentang hubungan agama dengan negara. Beliau mengatakan bahwa Indonesia didirikan berdasarkan Pancasila, sehingga Indonesia disebut sebagai negara yang bukan-bukan. Bukan negara Islam, juga bukan negara sekuler.

Umat Islam menerima dengan ikhlas Pancasila sebagai dasar negara, begitu pula dengan orang-orang sekuler. Walaupun pada mulanya kaum sekuler dan kaum muslimin sempat berbeda pendapat. Yang muslim menginginkan negara ini berdasarkan Islam dan yang sekuler menginginkan negara ini berdasarkan sekuler. Andai kata perdebatan itu masih berlanjut, mungkin sampai saat ini Indonesia belum juga lahir. Tetapi, pada akhirnya bisa dipertemukan dengan Pancasila.

NU menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1983, dalam acara Muktamar dan Munas NU Ke-27 di Situbondo. Berikut ini deklarasi tentang pertautan Pancasila dengan agama Islam yang pada saat itu dirumuskan:

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
  4. Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Kemudian dewasa ini, ada sekelompok orang yang lantang berteriak bahwa Pancasila adalah thaghut. Sebab menurut mereka, Pancasila dinilai tidak syar’i. Ada pula yang berkeinginan menerapkan syariat Islam secara kaffah di Indonesia dengan berlandaskan khilafah. Dan masih banyak lagi gerakan-gerakan lain yang pada intinya ingin membuat gaduh di negara Pancasila ini.

Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas, dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan, Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau disalahgunakan keduanya –Gus Dur[hlm. 25].

Sungguh benar yang dikatakan Gus Dur bahwa negara akan bubar tanpa pancasila. Untuk itu, sebagai bangsa Indonesia kita harus menanamkan Pancasila dalam hati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan Pancasila menjadi sangat penting, sebab ia kesatuan yang merangkul semua perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika, kendati berbeda-beda tetap bersatu karena punya Pancasila.

Pancasila tidak bertentangan dengan agama mana pun. Justru dengan Pancasila, Indonesia yang terdiri bermacam ras, suku, budaya dan agama ini, tetap tegak seiring misi ajaran semua agama, yaitu perdamaian.

BACA JUGA  Mengubah Kebencian Menjadi Cinta

Dulu, sebelum sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, bunyi asli sila pertama adalah Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Kenapa mesti diubah? Demi keadilan dan perdamaian.

Bisa dibayangkan seandainya sila pertama tidak diganti. Barang tentu selain umat Islam, seperti umat Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan Konghucu akan keberatan. Dan pada puncaknya mereka tidak mufakat Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Malah mereka akan berasumsi bahwa Pancasila hanya milik umat Islam.

Buku dengan tebal 184 halaman ini berisi nasihat-nasihat dari tiga tokoh terkenal; Gus Dur, Gus Mus dan Cak Nun. Buku ini terbagi menjadi tiga bab. Bab pertama, tentang nasihat-nasihat Gus Dur yang perlu kita renungkan. Bab kedua, membahas tentang menyelami nasihat-nasihat Gus Mus. Dan bab ketiga, tentang membuka pikiran dengan nasihat-nasihat Cak Nun. Secara garis besar, hemat saya, buku ini mengurai tentang akhlak dalam bersaudara, bertetangga, beragama, berbangsa dan bernegara.

UUD ’45 menjamin semua agama untuk berkembang. Semua penganut agama mempunyai posisi yang sama di mata negara. Apapun agama yang dianut, mereka adalah bangsa Indonesia. Mereka adalah saudara sebangsa yang punya hak untuk menjalankan kegiatan-kegiatan ibadah menurut keyakinan dan agama masing-masing –Gus Dur[hlm. 28].

Gus Dur mengajarkan kita untuk saling menghargai dan saling menghormati. Sebab, pada prinsipnya kita sama. Sama-sama makhluk Tuhan dan sama-sama rakyat Indonesia. Maka, sebuah kesalahan jika kita mengklaim agama kita yang paling benar dan berhak masuk surga, sedangkan agama lain tidak. Bahkan, meski satu agama tapi beda golongan, sudah merasa paling benar dari golongan lainnya.

Yang menghina agamamu tidak bisa merusak agamamu. Yang bisa merusak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan ajaran agamamu –Gus Mus[hlm. 79].

Segala bentuk kenistaan sudah jelas bertentangan dengan agama. Dan yang bertentangan dengan agama pasti juga merusak agama. Kita tak perlu risau dan meladeni hinaan terhadap agama kita, sebab tidak akan ada efeknya. Tetapi, jika sesama pemeluk agama justru saling hujat dan bertentangan tentang agamanya sendiri, maka itu yang dikatakan merusak agama. Maka, berbuat baiklah! Sebab, baik buruk agama kita ditentukan dengan baik buruknya perbuatan kita.

Mulai sekarang, carilah apa yang benar, bukan siapa yang benar. Supaya kita terlatih untuk tidak gampang mengatakan, “kamu salah, mereka salah, kamu sesat, mereka sesat” –Cak Nun[hlm. 157].

Telah kita ketahui bahwa dalam Islam banyak sekali golongan. Mengaku Islam ini, Islam itu, golongan ini, golongan itu, dan lain sebagainya. Parahnya, seringkali kita membanding-bandingkan golongan siapa yang benar dan golongan siapa yang salah? Hal demikian sebenarnya sama sekali tidak penting dipertanyakan. Sebab, ada yang lebih penting untuk dibahas dan dicari jawabannya, yakni apa yang benar?

Membaca buku yang berjudul Nasihat-nasihat Keseharian Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun ini, kita digiring ke jalan yang lebih baik, yaitu jalan yang sesuai dengan aturan Allah. Sehingga kita akan lebih mencintai-Nya dan tunduk terhadap aturan yang telah dibuat oleh-Nya.

Buku ini sangat cocok bagi kita yang haus nasihat dalam berbangsa dan beragama. Buku ini dikemas dengan bahasa ala kadarnya. Tidak nyastra dan tak perlu mengkerutkan kening. Pangsa pasar buku ini adalah masyarakat umum. Bisa dibaca oleh siapa saja. Tua atau muda. Pria atau wanita. Petani atau akademisi. Islam atau Kristen. Kanan atau kiri. Saya atau dia? Eh..***

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru