26.1 C
Jakarta

Milenial Menjadi Ruang Gerakan FPI

Artikel Trending

Milenial IslamMilenial Menjadi Ruang Gerakan FPI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Aku punya teman hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia begitu dekat dengan organisasi keagamaan. Selama 3 tahun di sana, aku tidak menemukan geliat yang terjadi pada temanku ini. Namun, setelah fenomena kasus Ahok, atau gerakan 212, temanku mendadak berubah brutal.

Awalnya aku tak menganggap penting perubahan yang terjadi pada teman dekatku itu. Karena, dari sisi keagamaan terlihat ia lebih intens daripada yang dulu sejak waktu bersama. Misalnya, pembahasan kesehariannya dia sering bercerita tentang hikmah Islam. Sering takziah ke makam-makam Habaib yang berada di Jakarta. Termasuk, dia dalam setengah bulan pergi ke majlis-majlis pengajian.

Namun, dari sanalah semua berubah. Aku tahu betul kepala dan buntut keagamaan temenku ini. Bahkan jika dites DNA keagamaannya, barangkali aku bisa mengetahui sebelum ia dicek dokter. Tak butuh lama, temenku mendadak berubah: semua yang dulunya budaya kita rayakan bersama, kini ia haramkan. Bahkan guru-guru yang dulu kita takzimi bersama, kini dia merasa tidak cocok karena ada yang beda dengan pandangannya.

Motivasi Beragama

Setelah aku telusuri, betul-betul mengagetkan. Dia ini secara kultural bergabung dengan organisasi garis keras di Jakarta. Dia tampak cocok dengan ajaran-ajaran keislaman yang dia tonton dari organisasi tersebut. Sehingga menimpulkan jatuh hati pada semua apa-apa yang organisasi keagamaan itu praktikkan.

Dari sisi busana, temenku ini sering berjubah putih. Bercelana cingkrang dan sering pula memasang cat hitam di bawah alis matanya. Tasbih besar sering dia galungkan di pergelangan kanannya. Tak harus berkomat-kamit kiai zuhud, yang penting terlihat religius.

Yang menghawatirkan, temenku semuanya berubah dalam memandang Islam dan kenegaraan. Bagi dia, Islam harus kita tinggikan martabatnya. Atau, kita harus membela Islam sampai titik darah penghabisan. Alasannya, karena Rasulullah telah menitipkan dan mencontohkan hal tersebut dengan jihad fi sabilillah. Menurutnya pula, Rasul rela berperang dan mengorbankan nyawanya, anak, dan istrinya, hanya untuk keagungan agama.

Indoktrinasi Keagaman dan Kenegaraan

Maka dari situlah, temenku berpandangan bahwa agama harus dibela. Jika tidak bisa membela sama seperti Rasul, paling tidak ia harus mencintai turunan Nabi. Bagi temenku, apa yang dikerjakan turunan Nabi ini, harus kita junjung sampai berdarah-darah. Baik dalam tataran politik, atau dalam persoalan apa saja. Kendati, jika ada salah satu turunan Nabi melanggar aturan kenegaraan, bukan ia yang salah. Melainkan aturan negaranya.

Di dalam konteks kenegaraan, temenku ini berubah jauh 90 derajat dari pemuda kampung kebanyakan. Dulu, temenku ini senang dalam pementasan upacara. Girang jadi Pembina upacara, senang menjadi pengibar bendera, atau jadi ajudan dalam pembacaan teks Pancasila, dan seterusnya. Namun demikian, setelah dia dekat dengan organisasi itu, secara kontan dia menyesali apa yang dikerjakannya dulu. Menurutnya, pekerjaan mencintai negera adalah syirik dan toghut.

BACA JUGA  Idul Fitri, Memperkuat Kohesi Sosial dan Penyucian Diri

Sekarang, dia merasa menyesal dan harus melakukan pertobatan. Caranya yang dipilih adalah ingin menjalankan syariat sepenuh-sepenuhnya bahkan dalam konteks kenegaraan. Dari situlah, ia lebih memilih negara yang berbasis syariat daripada berbasis Pancasila. Menurutnya, Pancasila hanyalah buatan Soekarno, Hatta, Yamin, dkk. Dan itu hanyalah buatan manusia. Yang seharusnya tegak dalam negara ini adalah Negara Bersyariah.

Tanpa disadari oleh temenku, dekatnya dengan organisasi ekstrem itu, telah membutakan ia pada ajaran moderat agama. Termasuk cara pandang tentang kenegaraan, budaya, dan tradisi luhur dan baik di Indonesia.

Egoisme dan Krisis Identitas

Temenku ini, jelas telah menjadi sasaran empuk ideologi ekstrem organisasi radikal itu. Bahkan sekarang, temenku ini telah berani mengampanyekan ajaran-ajaran agama yang Ia bawah dari majlis organisasi di atas. Ajaran itu tak sepenuhnya ia peroleh dari pengajian rutin dari majlis atau obrolan dari temen-temennya di Jakarta. Namun ia intens terhadap pengajian-pengajian Imam besar atau ustaz mereka di media sosial. Artinya, di alam nyata temenku ini intens berinteraksi, apalagi di alam medsos. Dan itu semuanya telah dikonsep oleh strategi organisasi ekstrem itu.

Dari sini, penting melihat, bahwa kemelekan pada teknologi dan keinginan yang siap saji menjadi mikro-sosiologis yang mendekatkan temenku pada penerimaan terhadap gagasan baru agama yang radikal. Egoisme dan krisis identitas yang melanda pada generasiku, memungkinkan mereka rentan terhadap pengaruh dan sebaran ideologi radikal-teroris yang, memang sudah dan sedang dijajakan di ruang digital.

Temenku jelas bukan satu-satunya. Pastilah sungguh begitu banyak anak-anak muda segenerasiku yang tersesat di jurang kegelapan dalam berorganisasi, beragama, dan bertamasa di ruang virtual. Namun yang pasti, semua gerakan dan indoktrinasi ajaran keras dari sebuah lembaga keagamaan, kemudian dipatenkan dalam kehidupan, telah memberangus nilai luhur kesantunan dalam beragama. Di sinilah, ada keterpisahan yang jelas antara praktik keagamaan Rasul. Rasul lebih memilih jalan kelembutan dalam beragama daripada jalan kekerasan. Termasuk dalam konteks bernegara.

Temenku kini telah berada pada tingkat tinggi dalam praktik keagamaan yang dipercaya itu. Akhirnya, aku mengajak pada teman yang lain, bahwa organisasi, indoktrinasi dan lainnya itu memang ada dan berbahaya. Bukan hanya berbahaya pada diri sendiri, melainkan pada keluarga, sanak famili, tetangga, dan sudara sebangsa lagi. Mari bersatu melawan paham radikalisme dan terorisme sesuai tupoksi dan kekuatan masing-masing. Termasuk menjauhkan diri dari organisasi keagamaan yang menjadi motivasi tingkah radikal milenial: FPI.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru