29 C
Jakarta

Tentang Wacana NKRI Bersyariah

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanTentang Wacana NKRI Bersyariah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa waktu yang lalu, muncul seruan atau wacana NKRI bersyariah. Seruan tersebut merupakan rekomendasi ijtima’ ulama IV Persatuan Alumni 212. Tak lama kemudian, seruan tersebut segera mendapat tanggapan dari berbagai tokoh. Banyak tokoh menolak penggunaan istilah tersebut. Beberapa di antaranya tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid atau Gus Sholah, wakil presiden ke-6 RI, Try Sutrisno, hingga Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

Sebagai sebuah bangsa yang mengakui, menjaga, dan menghargai keberagaman atau perbedaan, ide NKRI bersyariah tentu menjadi persoalan. Mahfud MD, misalnya, menyatakan penggunaan istilah NKRI bersyariah sebagai sesuatu yang berlebihan. Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut mengatakan bahwa tanpa disebut dan ditulis pun, kehidupan masyarakat Indonesia sudah mengacu pada syariat Islam.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut memberi perumpamaan menarik. Ia mengungkapkan, memaksakan penggunaan istilah Indonesia bersyariah ibarat seorang pedagang ikan di pasar ikan yang memasang baliho bertuliskan “jual ikan”. Ia melihat itu sebagai sesuatu yang berlebihan (tempo.co, 16/8/2019).

Jika kita cermati, melalui pengibaratan tersebut, Mahfud MD melihat wacana NKRI bersyariah yang beberapa waktu lalu digaungkan sekelompok umat Islam, sebagai sesuatu yang tidak diperlukan atau sia-sia. Sebab, umat Islam di Indonesia sudah bebas menjalankan syariat Islam dengan dasar negara Pancasila. Di samping itu, penulis melihat secara tidak langsung Mahfud MD menekankan pentingnya kita sebagai sebuah bangsa untuk bisa saling menghormati demi menjaga persatuan dan persaudaraan bangsa.

Ide NKRI bersyariah menjadi sesuatu yang berlebihan, bahkan malah bisa memicu hal yang negatif dalam upaya menjaga persatuan dan persaudaraan bangsa. Sebab, bangsa ini terdiri dari beragam suku dan agama, sehingga dalam penggunaan simbol, atribut, termasuk dalam pemakaian istilah, semua mesti bisa diterima seluruh kelompok atau elemen bangsa.

Ingat sejarah
Sejarah memberi kita pelajaran. Seperti kita ketahui, istilah “syariat” atau syariah dulu juga sempat digunakan dalam rumusan dasar negara. Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta, atau dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 menyebutkan bahwa sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Sebelum akhirnya disahkan, sempat terjadi perdebatan alot seputar pencantuman tujuh kata di sila pertama tersebut, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini disebabkan munculnya tuntutan dari wakil Indonesia Timur yang menilai kalimat tersebut bersifat diskriminatif terhadap kelompok non-Muslim. Bung Hatta sempat menjelaskan bahwa kalimat tersebut tak bermaksud diskriminatif, sebab kalimat tersebut hanya berlaku bagi para pemeluk Islam (Akbar Wijaya: 2016).

BACA JUGA  Mengawali Tahun Baru 2024 dengan Apa?

Akan tetapi, wakil dari Indonesia Timur, yakni kelompok agama Kristen dan Protestan saat itu tetap bersikukuh. Bung Hatta pun mengalah. Pada sidang  18 Agustus 2019, PPKI mengesahkan naskah Piagam Jakarta tersebut sebagai pembukaan UUD 1945, dengan pengecualian atas tujuh kata tersebut. Maka, sila Pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Bung Hatta, kesediaan menghapus tujuh kata itu tidak lain sebagai bentuk semangat dan kesadaran menjaga persatuan bangsa yang saat itu begitu dibutuhkan di tengah kondisi bangsa yang baru lahir (Saddam, 2018: 156-157).

Sejarah tersebut memberi pelajaran bagi kita semua saat ini, betapa pentingnya memperhatikan aspek persatuan dan kesatuan bangsa. Termasuk di antaranya dalam penggunaan istilah maupun kata-kata dalam merumuskan konsepsi atau wacana kebangsaan. Karena Indonesia terdiri dari beragam suku, budaya, dan kelompok agama, maka penting untuk tidak memakai istilah-istilah yang bisa menimbulkan kecemburuan atau diskriminasi bagi sebagian kelompok masyarakat.

Dasar negara Indonesia haruslah sesuatu yang bisa diterima semua kelompok di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila menjadi dasar yang paling tepat karena bisa menjadi diterima semua kelompok, sekaligus menjadi titik temu yang mewadahi kemajemukan yang ada di masyarakat Indonesia. Kita ingat kata-kata Bung Karno dalam sidang BPUPKI, “Kita mendirikan negara Indonesia.. semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia. Tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!

            Selain pentingnya menggunakan istilah-istilah yang bisa diterima semua kalangan dan kelompok yang ada di Indonesia, wacana NKRI bersyariah juga tidak diperlukan karena dengan dasar Pancasila sejak dulu hingga saat ini pun, Indonesia sudah bisa dikatakan bersyariah. Sebab, sebagai dasar negara, jika kita cermati, Pancasila memuat berbagai nilai-nilai dasar dalam menjalani kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai atau ajaran agama, termasuk dalam ajaran Islam.

Kita bisa mencermati, prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan—yang menjadi inti Pancasila, merupakan nilai-nilai yang juga menjadi ajaran Islam seperti ajaran tauhid, akhlak kepada sesama, ukhuwah, musyawarah, dan keadilan sosial. Artinya, ketika bangsa ini benar-benar mampu menjalankan dan menegakkan nilai-nilai dalam Pancasila, maka di saat bersamaan bangsa ini juga bisa dikatakan telah menegakkan syariat agama. Wallahu a’lam..

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru