26.1 C
Jakarta

Menutup Ruang Gerak Pengasong Khilafah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenutup Ruang Gerak Pengasong Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Rapor pemberantasan radikalisme dan terorisme di tahun 2022 menunjukkan capaian yang membanggakan. Angka peristiwa teror dan kekerasan atas nama agama menurun drastis. Ini membuktikan keberhasilan pemerintah dalam memberangus jaringan teroris di negeri ini.

Namun demikian, radikalisme dan terorisme belum benar-benar musnah dari negeri ini. Ketika aksi teror dan kekerasan menurun, di saat yang sama propaganda khilafah justru kian masif. Di dunia nyata, para pangasong khilafah gencar mengampanyekan ideologinya melalui beragam cara. Kita tentu ingat pawai khilafah yang terjadi di sejumlah daerah.

Pawai khilafah tidak lain merupakan sebuah upaya melawan negara yang dilakukan secara vulgar dan terbuka. Tidak hanya di dunia nyata, propaganda khilafah juga kencang disuarakan di dunia maya. Internet dan media sosial telah menjadi wahana baru bagi kaum pengasong khilafah untuk mencari simpatisan dan merekrut jaringan baru.

Maka, meski organisasi pengasong khilafah dan penyokongnya seperti HTI dan FPI sudah dibubarkan, nyatanya ideologi khilafah masih tetap eksis. Layaknya hantu, para pengasong khilafah ini telah menjadi momok bagi kehidupan berbangsa, bernegara, sekaligus beragama. Harus diakui mereka memiliki ruang gerak yang nisbi leluasa untuk bermanuver.

Mengapa Khilafah Eksis di Negeri ini?

Hal ini terjadi karena sejumlah faktor. Pertama, dari sisi politik, sistem demokrasi memungkinkan mereka untuk berlindung di balik asas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini sekaligus menunjukkan paradoks dan anomali logika berpikir kaum pengasong khilafah. Di satu sisi, mereka mengecam demokrasi sebagai sistem kafir. Namun, diam-diam mereka berlindung di balik dalih demokrasi demi memasarkan ideologinya.

Kedua, banyak umat Islam yang belum sepenuhnya memahami sejarah politik Islam. Konsekuensinya, sebagian umat mudah disesatkan oleh janji-janji utopis kaum radikal yang menyebut khilafah sebagai solusi atas seluruh problem kemanusiaan. Di sebagian umat, masih ada pandangan yang meyakini khilafah ialah sistem paling sempurna yang sesuai dengan ajaran Islam.

Ketiga, perkembangan teknologi komunikasi terutama internet dan media sosial memungkinkan para pengasong khilafah untuk menjangkau seluas mungkin audiens. Transmisi ideologi khilafah kini tidak hanya terjadi secara langsung melalui tatap muka. Melainkan lebih banyak disebarluaskan secara digital. Hal ini kerap sulit dicegah dan diantisipasi.

Keempat, maraknya politik identitas dan politisasi agama harus diakui kian memberikan kesempatan bagi pengasong khilafah untuk mendominasi ruang publik. Dalam beberapa tahun belakangan kita menyaksikan sendiri bagaimana terjalin mutualisme antara pengasong khilafah dengan elite-elite politik tertentu. Mutualisme politik ini jelas mengancam demokrasi dan tata kenegaraan kita.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Dua Pendekatan Membendung Gerakan Khilafah

Berangkat dari fenomena tersebut, penting kiranya jika resolusi tahun 2023 ini diarahkan untuk menutup ruang gerak kaum pengasong khilafah. Kita wajib memastikan para pengasong khilafah tidak memiliki cukup ruang dan sumber daya untuk bermanuver. Menutup ruang gerak kaum pengasong khilafah ini harus melibatkan setidaknya pendekatan, yakni regulasi dan edukasi.

Pendekatan regulasi artinya pemerintah harus segera menerbitkan aturan yang secara spesifik melarang penyebaran ideologi khilafahisme, daulahisme, dan turunan-turunan sejenisnya. Keberadaan regulasi pelarangan ideologi khilafah ini penting karena selama ini kita belum memiliki payung hukum yang spesifik mengatur persoalan tersebut.

Alhasil, para pengasong khilafah masih bisa leluasa mempropagandakan ideologinya ke seluruh lapisan masyarakat. Sejumlah survei membuktikan bahwa ideologi khilafah telah menyebar ke seluruh lini masyarakat. Mulai dari kalangan pelajar-mahasiswa, guru-dosen, pegawai swasta dan BUMN, bahkan ke instansi-instansi pemerintahan.

UU Anti-Terorisme yang selama ini dipakai untuk menindak kaum radikal-teroris kiranya belum cukup. Tersebab, terorisme hari ini tidak hanya mewujud pada aksi kekerasan fisik. Lebih dari itu, terorisme hari ini lebih banyak mewujud pada infiltrasi ideologi khilafah yang dibumbui dengan kebencian terhadap pemerintahan yang sah serta sentimen anti-minoritas dan kearifan lokal.

Kedua, pendekatan edukasi artinya kita harus membangun kesadaran masyarakat ihwal bahaya ideologi khilafah sekaligus memperkuat pendalaman ideologi Pancasila. Pancasila tidak diragukan merupakan benteng utama dalam menangkal setiap ideologi transnasional, termasuk khilafah. Sayangnya memang, Pancasila seolah kehilangan pamornya dalam beberapa tahun belakangan.

Mengedukasi masyarakat agar memiliki wawasan kebangsaan yang kuat merupakan syarat mutlak untuk membendung arus infiltrasi khilafahisme. Kekosongan ideologi yang menggejala di era pasca reformasi ini telah membuka celah masuknya ideologi asing. Salah satunya khilafah. Celah itu harus segera ditutup dengan menghadirkan kembali Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan beragama.

Jika dua pendekatan itu dimaksimalkan, kita patut optimis di tahun 2023 negeri ini bisa menutup ruang gerak kaum pengasong khilafah. Dengan begitu, negeri ini akan steril dari paham dan gerakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Nurrochman
Nurrochman
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru