28.2 C
Jakarta

Menulis Memang Dimulai dari Tulisan Biasa, Kok Bisa?

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMenulis Memang Dimulai dari Tulisan Biasa, Kok Bisa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Aktivitas menulis di mata orang awam—harus diakui—tampak cukup remeh dan jauh dari kesan keren. Acap kali kegiatan memproduksi tulisan dipandang sama dengan kegiatan menulis atau mencatat yang dilakoni anak-anak.

Saya tidak memandang remeh kegiatan menulis anak-anak. Itu sudah menjadi bagian mutlak fase belajar di usia mereka. Saya di sini berupaya menunjukkan titik perbedaan, mencoba untuk membuka mata kita semua bahwa aktivitas memproduksi tulisan itu berada di level yang berbeda. Tampaknya, dua bukti konkret di bawah ini akan dapat lebih membuka mata kita.

Pertama, tidak semua mahasiswa—yang tugas akhirnya berupa skripsi) mampu menulis dan/atau menyelesaikan skripsi. Beranda media sosial kita memang penuh dengan perayaan seusai seminar proposal/sidang skripsi/wisuda dari teman-teman mahasiswa.

Namun, faktanya—dan fakta ini sudah jamak diketahui orang—terdapat segelintir mahasiswa yang merangkul jasa joki skripsi. Alasannya beragam, mulai dari sibuk bekerja hingga pandangan soal skripsi yang “tidak sepenting itu”.

Terlepas dari praktik tersebut yang mencederai UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, saya berpendapat—maaf bila terlalu frontal—bahwa mereka yang menggunakan jasa joki skripsi telah mempertontonkan ketidakmampuan mereka dalam menuntaskan tugas akhir.

Kedua, tidak semua orang mampu merapikan isi kepala lalu menyajikannya dalam wujud tulisan. Kemampuan menulis itu, ya…..sama seperti kemampuan-kemampuan “unik” lainnya. Kita ambil contoh. Saya pernah diolok-olok seseorang lantaran pekerjaan yang saya lakukan tidak secepat dirinya.

Apa yang saya kerjakan saat itu adalah membabat batang padi sisa panen. Sebenarnya, penyebab dari lambatnya pekerjaan saya itu sangat sederhana. Pertama, saya ke sawah tidak sesering orang yang mengolok-olok saya tadi; kedua, saya masih berada di tahap awal belajar pekerjaan tadi.

Kejadian yang saya alami di atas bisa dibalik. Seandainya aktivitas yang kami berdua lakukan adalah “memproduksi tulisan”, saya yakin orang yang mengolok-olok saya tadi lebih lambat dari saya. Ini saya tidak mencoba menyombongkan diri.

Saya sekadar mencari titik temu bahwa orang yang tidak terbiasa dengan pekerjaan/aktivitas tertentu, ia akan merasa kesulitan dengannya. Sama halnya dengan saya yang kesulitan membabat batang padi dan orang yang mengolok-olok saya kesulitan memproduksi tulisan. Jadi, sudah semakin jelas kan bahwa menulis itu bukan perkara yang sepele!?

Sekarang kita sudah tahu fakta bahwa menulis itu tidak gampang. Kendati demikian, menulis juga bukan perkara yang mustahil—khususnya bagi orang yang mau belajar. Kembali saya katakan, menulis itu sama seperti kemampuan-kemampuan unik lainnya. Ia membutuhkan konsistensi supaya kita dapat mafhum “cara kerjanya”.

Kita harus mengakui bahwa tulisan pertama kita akan menjadi tulisan yang biasa saja. Menurut saya hal ini merupakan hukum alam yang tak dapat disangkal. Tak hanya dalam menulis, ini juga berlaku dalam semua kemampuan unik lainnya. Mulai dari mendesain logo, mengedit video, memasak, hingga membabat batang padi.

BACA JUGA  Dinamika Penulisan Puisi di Media Siber

Seusai mengakui bahwa tulisan pertama kita biasa saja, berikutnya yang wajib kita lakukan adalah terus menulis. Tulisan pertama yang biasa saja itu bukan sesuatu yang salah. Ia juga tak patut dijadikan bahan olok-olokan. Jika kita mau terus menulis, tulisan kita tentu akan beranjak dari kualitas yang biasa tadi.

Kita mungkin tak menyadari hal tersebut lantaran menulis bukan sesuatu yang kuantitatif—dapat diukur dengan angka. Namun, lagi-lagi, peningkatan kualitas tulisan kita tadi merupakan bagian dari hukum alam yang niscaya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk mengikat erat konsistensi.

Konsistensi dalam menulis itu tak ada habisnya. Apabila kita berhenti konsisten, artinya kita berhenti menulis. Saya tahu bahwa hal itu merupakan pilihan masing-masing individu. Hanya saja, bagi kita yang ingin disebut “penulis”, berhenti menulis tak boleh kita lakukan.

Supaya dapat disebut sebagai penulis, kita membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tentu saja dalam waktu ‘bertahun-tahun” tersebut kita harus banyak memproduksi tulisan. Jika kita hanya memproduksi satu tulisan setiap bulan, ya…..kita tidak bisa menyebut diri kita “penulis” secepat yang dibayangkan.

Memulai untuk menghasilkan tulisan yang “biasa” itu juga bukan perkara mudah. Kita harus mendobrak bayang-bayang ketidakmampuan dalam kepala berkali-kali. Kita akan kerap merasa buntu, merasa bahwa tidak ada lagi yang bisa kita tulis.

Kita pun juga akan sering kesulitan menemukan ide. Tetapi bagaimana pun itu merupakan langkah awal yang harus kita pijaki. Fase tersebut merupakan pintu gerbang yang mana bila kita enggan melaluinya, maka jangan harap kita akan disebut sebagai “penulis”. Sulit memang kelihatannya, tetapi lagi-lagi ia bukan termasuk kemustahilan. Kuncinya masih sama persis, “konsistensi”.

Aktivitas menulis—hingga saat ini—tampaknya masih tak terlalu ditengok/dihargai, khususnya oleh orang awam. Alasannya adalah aktivitas menulis sisi “kerja kerasnya” sama sekali tak tampak bila dibandingkan dengan aktivitas lain yang mengandalkan otot.

Begitulah manusia! Selalu menilai dari apa yang tampak oleh mata. Kebanyakan manusia enggan melihat hal-hal lain yang tidak biasanya ada di hadapan mereka. Sebagai pihak yang mengarungi semesta kepenulisan, kita memang semestinya tak menghiraukan realita tersebut.

Pasalnya, apabila kita lebih berfokus pada keengganan orang awam dalam menengok aktivitas menulis, alih-alih menjadi motivasi ia malah akan kian menghambat proses kita. Menulis itu membutuhkan konsentrasi yang besar. Distraksi sedikit saja akan membuyarkan konsentrasi kita.

Tulisan kita pun tak akan kunjung selesai. Jadi, kita memang wajib tutup telinga dan mata terhadap realita yang mengganggu perjalanan kita. Satu-satunya yang kita perlukan adalah konsisten menulis, dimulai dari tulisan yang biasa dan berujung pada tulisan yang mempesona.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru