31.9 C
Jakarta

Menimbang Kemungkinan Ekstremitas WNI Eks-ISIS Jika Pulang

Artikel Trending

Milenial IslamMenimbang Kemungkinan Ekstremitas WNI Eks-ISIS Jika Pulang
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Wacana pemulangan WNI eks-ISIS yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan, lambat laun mereda. Cepat menyebar, cepat pula ia dihembus wacana-wacana lain. Barangkali bagi sementara kalangan, wacana eks-ISIS tidaklah penting. Sebab, jika pun kita khawatir, nyatanya kita khawatir untuk diri kita sendiri. Bukan mengkhawatirkan nasib mereka. Benar, bukan?

Pemerintah pun sudah tegas memutuskan untuk mengabaikan mereka, tidak memulangkannya. Alasannya sangat logis, dan kita harus berterima kasih karena pemerintah memprioritaskan keselamatan kita, 250 juta lebih warga negara. Tetapi, mari kita berspekulasi tentang kemungkinan terburuk: apa benar menola mereka benar-benar akan menyelamatkan kita?

Kalau misalkan pemerintah Suriah memutuskan untuk mendeportasi mereka, apakah pemerintah kuasa untuk menolak warga negaranya sendiri? Apakah kita mampu mengabaikan humanisme yang selama ini kita gembor-gemborkan, membiarkan 689 WNI eks-ISIS dieksekusi misalnya?

Tentu saja mereka sadar dengan penolakan pemerintah hari ini, bukankah itu semakin membuat mereka merasa terzalimi dan menaruh dendam? Artinya ketika mereka ada kesempatan pulang, bukankah semakin berbahaya? Atau sebenarnya adakah kemungkinan yang lebih buruk lagi?

Mahfud MD, Menko Polhukam mengatakan, keputusan pemerintah untuk tidak memulangkan didasarkan pada sumprema lex, yakni keselamatan rakyat. Kata profesor asal Madura itu, tidak penting jumlah WNI eks-ISIS yang terjebak, apakah 350, 660, 846, atau bahkan 1.200 orang misalnya. Yang jelas, mereka benar-benar ada di sana.

Gak penting angka… yang penting prinsipnya mau dipulangkan atau engga. Kalau dipulangkan berbahaya gak? Kita berpendapat bahaya. Udah itu saja,” tegas Mahfud, seperti dilansir dari Tempo, di kediamannya, Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan, pada Rabu (12/2) lalu.

Di negeri porak-poranda nan jauh di sana, WNI eks-ISIS terdampar bersama harapan-harapannya. Di negeri kita tercinta, pemerintah sangat peduli dengan keselamatan kita. Kita sendiri, masing-masing, pasti juga bimbang. Jelas ini bukan persoalan sederhana. Ada konsekuensi. Ada manfaat dan mudarat bersamaan. Mana yang benar-benar akan terjadi?

Eks-ISIS dan Harapan-harapan

Bahwa eks-ISIS berbahaya, adalah sesuatu yang wajib kita amini, lalu kita harus mewaspadainya. Tetapi, pada saat bersamaan, WNI tetaplah WNI, entah mereka kita anggap sampah atau lebih buruk lagi sebutannya. Indonesia adalah tempat pulang warga negaranya, sebagaimana orang tua adalah tempat pulang anak, seberapa pun nakalnya.

Tentu saja hanya kepada kita, kepada kebijakan pemerintah, mereka berharap, menggantungkan asa-asanya. Memang, lepas tangan adalah hak asasi kita. Toh kenyataannya simpati kita memang hanya untuk keselamatan masing-masing. Jarang sekali dilandasi empati kemanusiaan. Kita melupakan satu hal, yaitu absen membayangkan, andai kita berada di posisi mereka.

Sebenarnya mereka yang ratusan itu harus kita sebut WNI eks-ISIS, atau eks-WNI ISIS? Itu adalah pertanyaan penting. Jika mereka harus disebut eks-WNI ISIS, lantaran membakar paspornya, maka tidak semua mereka melakukannya. Dan jika mereka sebenarnya adalah WNI eks-ISIS, maka di manakah solidaritas—bukan sekadar dalil kemanusiaan—kepada saudara setanah air kita?

Tetapi alasan Komnas HAM misalnya, bahwa pemerintah mengabaikan kemanusiaan dengan menolak kepulangan mereka, juga kurang benar. Perlu dipahami titik temu dari kebijakan tersebut. Memang wacana ini bukanlah hal yang bisa ditanggapi buru-buru. Misalnya, worldview Komnas HAM untuk memulangkan mereka adalah worldview pejuang hak asasi.

BACA JUGA  Mewaspadai Dampak Serangan Iran-Israel di Indonesia

Sedangkan pemerintah? Jelas tidak. Worldview mereka adalah sebagai negara yang dikhianati warganya sendiri. Maka dari itu setiap kebijakan harus ditemukan worldview-nya. Sekarang kita telisik, sebesar apa peluang mereka menjadi ekstrem jika kembali ke tanah air? Maka tolok ukurnya adalah kebijakan yang kita, dan pemerintah tempuh, hari ini. Itu jelas.

Kalau kita mengedepankan kemanusiaan dan sama sekali mengabaikan kemungkinan terburuk, maka kemungkinan ekstremitas kecil. Sebab, setidaknya, mereka akan berterima kasih, dan tidak lagi akan men-thaghut-kan Indonesia. Tetapi jika kita menolak mereka, jelas ekstremitas juga di persentase nol. Tetapi, catat ini, jika mereka benar tidak bisa balik.

Kalau sampai pemerintah tidak memulangkan, lalu mereka punya peluang dan pulang sendiri, mereka akan beraksi. Jelas, pemerintahlah targetnya.

Pemerintah yang Over-Protektif

Sebenarnya baik pendapat Komnas HAM atau pun kebijakan pemerintah, keduanya sama-sama benar, sekaligus sama-sama perlu dikritik. Yang absen dari keduanya adalah kesadaran bahwa kasus ini tak bisa digeneralisasi. Mengatakan WNI eks-ISIS itu tidak berbahaya, itu perlu dikaji. Karena tidak sedikit memang yang benar-benar terdoktrin ekstremisme ala ISIS.

Tetapi terlalu over-protektif dengan memandang bahwa ratusan WNI berbahaya semua, tidak ada baiknya sama sekali, itu juga berlebihan. Bagaimana dengan korban keangkuhan orang tua misalnya, yang hanya ikut-ikutan saja, tanpa bermaksud berbai’at diri kepada ISIS?

Sikap over-protektif ini jelas tidak baik, dan konsekuensi buruknya lebih tinggi daripada memulangkan mereka, sekali lagi, karena memunculkan dendam. Akhirnya, dilema ini mesti segera diketengahkan. Wacana ini jelas tidak bisa berlarut, sebab ada wacana penting lainnya yang juga mesti kita diskusikan. Pro-kontra pun sebaiknya tak lagi terjadi.

Sebesar apa kemungkinan WNI eks-ISIS adalah berbanding lurus dengan bagaimana kita menyikapi mereka. Itu yang jelas. Mau menolak, mau ngebet memulangkan mereka, semua ada konsekuensinya. Tetapi orang yang pernah ditipu ISIS, maka kemungkinan menjalankan ideologinya sangatlah kecil.

Ibarat orang yang pernah dikecewakan, apakah masih bersimpati kepada mereka yang mengecewakannya? Jelas tidak. Atau contoh bucin-nya: apakah orang yang pernah disakiti satu kali, akan mau bersama, berteman, dengan orang yang menyakitinya? Demikian. Kemungkinan terbesarnya adalah, jika pulang, maka tidak akan menjadi kombatan ISIS di tanah air.

Tetapi sekali lagi, yang seperti ini juga tak bisa digeneralisasi. Yang terang, kalau titik pertanyaannya adalah menimbang ekstremitas mereka jika berhasil pulang, maka kita tidak perlu curiga secara berlebihan. Kalau mengaca kepada WNI eks-ISIS yang berhasil (di)pulang(kan) pada 2017 lalu, justru mereka menjadi duta deradikalisasi. Tetapi, sekali lagi, yang seperti juga tidak bisa digeneralisasi. Membingungkan, bukan? Jelas!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru