31.2 C
Jakarta

Mengungkap Makna Sufistik Puasa dari Sebatas Ritual Ibadah

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMengungkap Makna Sufistik Puasa dari Sebatas Ritual Ibadah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Pesan Sufistik: Mereguk Pesan-pesan Batin Ibadah Puasa, Penulis: Darmawan, Penerbit: Nuralwala, Tebal: 145 halaman, Terbit: Maret 2022, ISBN: 978-623-96104-2-5, Peresensi: Rofiatul Windariana.

Harakatuna.com – Pergulatan panjang tasawuf sejak abad kedua Hijriah meninggalkan jejak yang dapat dirasakan hingga saat ini. Pada periode awal perkembangannya, terdapat gempuran dan kontroversi yang disematkan pada tasawuf, mulai dari tidak peka sosial, anti kemajuan hingga tuduhan sebagai salah satu faktor kemunduran umat Islam yang turut mewarnai dinamika perkembangan tasawuf.

Meski demikian, tasawuf tidak hadir sebagai satu wajah tunggal untuk digeneralisasikan ke dalam semua babakan pemikiran yang hadir pada periode setelahnya. Berbagai dinamika sudut pandang yang lahir kemudian turut memberikan pemahaman baru terhadap ajaran-ajaran dan praktik ibadah yang selama ini hanya sebatas dipahami sebagai sebuah praktik peribadatan. Salah satu praktik tersebut yakni ibadah puasa.

Puasa sering kali dipahami sebatas menahan lapar dan haus, dan berbagai larangan lainnya. Namun, dengan perspektif sufistik, puasa dipahami sebagai upaya musyahadah (bertemu dengan Tuhan). Beragam pemahaman sufistik tersebut menyentuh lebih dalam terhadap pemaknaan puasa dari sebatas aktivitas fisik.

Kehadiran tasawuf memungkinkan pemahaman baru terhadap hakikat puasa dengan menyingkap dan menelusuri makna-makna yang tersembunyi dari ritual ibadah puasa. Oleh karena itu, kehadiran buku Pesan Sufistik: Mereguk Pesan-pesan Batin Ibadah Puasa karya Darmawan ini menemukan siginifikansinya.

Buku ini mengurai dinamika perkembangan tasawuf mulai dari pertapaan hingga perkotaan, serta pergumulan tasawuf yang pada awalnya hanya sebatas pengalaman spiritual subjektif seorang sufi hingga menjadi teori yang dapat dipahami dan  terkodifikasi dalam berbagai kitab yang lebih teoritis dan sistematis. Selain itu, buku ini juga mengurai pergeseran paradigma terhadap pemahaman masyarakat tentang sufisme yang awalnya personal menjadi bersifat publik.

Hal tersebut menurut Darmawan merupakan bagian dari konsekuensi logis dari pertautan dan dialektika tasawuf dengan realita sosial dan kondisi zaman saat ini. Ia menguraikan dinamika tasawuf secara historis hingga realita sosial yang tejadi di Indonesia (h. 23).

Di sisi lain, buku ini juga turut mengungkap hakikat puasa dan keistimewaannya dibandingkan ibadah yang lain. Ia menyinggung praktik puasa yang juga dipraktikan sebelum Islam, meski dengan istilah yang berbeda, namun hal itu menunjukkan bahwa puasa merupakan syariat yang penting dalam setiap agama-agama, dan telah dipraktikkan sejak umat-umat terdahulu (h. 39).

Puasa dalam Islam, menurut Darmawan, merupakan jalan untuk menempuh kebahagiaan lahiriah yang dapat dirasakan dengan kenikmatan saat berbuka puasa dan kebahagiaan batiniah yakni sebagai jalan untuk melihat keagungan Tuhan serta jalan untuk mencapai maqam musyahadah (h. 41). Dalam menguraikan pemahaman batiniah tersebut, ia kemudian mengambil beberapa pemikiran tokoh besar tasawuf dengan pemahaman sufistiknya.

Setiap tokoh sufi memiliki sudut pandang yang berbeda untuk mencapai maqam tersebut. Adapun terdapat 13 tokoh yang diketengahkan dalam buku ini mulai dari Imam Sahal at-Tustari hingga Kiai Soleh Darat. Meskipun relatif berbeda, beberapa tokoh yang tersebut saling memengaruhi satu sama lain semisal Imam al-Tustari yang merupakan soko  guru dan menginspirasi para sufi setelahnya, adapula Imam asy-Sya’roni yang kemudian menjembatani pemikiran Ibn ‘Arabi.

BACA JUGA  Menyingkap Kesesatan Terorisme, Jalan Tol Ideologis Menuju Surga

Dalam pemikiran al-Tustari, apabila manusia sibuk dengan urusan perut maka ia akan tergiur dengan kenikmatan dunia sehingga terhalang dari hal-hal maknawi. Ia juga menjadikan puasa sebagai model tirakat, dalam sebuah riwayat menyebutkankan bahwa ia berbuka setelah 15 hari berpuasa (h. 47).

Adapula Imam al-Qusyairi dalam kita Ar-Risalah  dalam bab Al-Ju’wa wa Tarku Asy-Shahwat yang memuat tentang Nabi hingga para guru sufi dalam mengurangi makan hingga tampak cahaya Tuhan memancar dari hati dan pikiran mereka (h.53).

Di samping itu, terdapat Imam al-Ghazali yang membagi puasa menjadi tiga tingkatan dalam kitab Asrar al-Shaum yaitu puasa orang yang hanya mencegah perut, kemaluan dan hal yang membatalkannya (shaum al-‘umum), puasa orang yang mencegah dari perbuatan dosa (shaum al-khushush), dan puasa orang yang tidak menyibukkan diri dari hal duniawi dan kepada hal selain Allah swt (shaum khushush al-khushush) (h. 72).

Berbagai tokoh lainnya dikaji hingga sampai pada salah satu tokoh nusantara yaitu Kiai Soleh Darat. Dalam Faidh a-Rahman dengan kekhasan lokalitas bahasanya, ia membagi puasa dalam dua tingkatan yakni puasa lahir dengan menahan diri dari yang membatalkan puasa dan puasa batin dengan menahan agar qalb, ruh dan sirr dari sesuatu yang memalingkan dari musyahadah (h. 106).

Semua tokoh tersebut diuraikan dengan hasil karya dan inti pemikirannya tentang puasa. Meski demikian, mereka memiliki kesamaan dalam memahami puasa sebagai aspek batiniah dan pembersihan jiwa dari selain kepada Allah swt. Garis besar keistimewaan puasa tersebut  juga disinggung penulis, yakni,

“Manfaat yang nyata tentang puasa akan diperoleh bagi manusia yang sungguh-sungguh dalam mengolah batinnya. Inilah yang kemudian dikenal dalam term tasawuf sebagai isti’dād yaitu kesiapan seorang insan untuk menerima pancaran Ilahi ke dalam diri masing-masing. Setiap manusia yang berhasil menaiki level/maqām yang lebih tinggi, maka kesiapan (isti’dād) manusia untuk menjadi lokus (wadah) cahaya Allah akan semakin besar nan luas. Begitu juga tentang puasa” (h. 72).

Pada aspek ini, Darmawan menggarisbawahi bahwa dalam memahami keberagamaan pemahaman para sufi tersebut, terutama dalam praktik puasa perlu menggunakan teori Hudud Muhammad Syahrur sebagai tolak ukur dan pisau analisis  dalam memposisikan diri dengan batas terendah (hadd- al-adna) dan batas tertinggi (hadd al-a’la) dalam persoalan puasa agar setiap orang dapat menyesuaikan dengan kapasitas lahiriah dan spiritual masing-masing.

Dengan bahasan yang cukup padat dan sistematis, buku ini mampu menguraikan dan memberikan gambaran makna puasa dari berbagai tokoh sufi besar meski tidak secara mendalam, namun cukup mengena pada inti pemikirannya dengan narasi yang mudah dipahami. Epilog pada akhir buku ini turut membantu memberikan sudut pandang baru dalam memahami puasa terutama dalam  mengkontektualisasikannya terhadap problematika masyarakat saat ini.

Rofiatul Windariana
Rofiatul Windariana
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat di Simposium.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru