29.2 C
Jakarta

Menguatkan Peran Perempuan sebagai Benteng Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenguatkan Peran Perempuan sebagai Benteng Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Rabu (29/3) lalu, Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) mengadakan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT). Forum koordinasi yang dilaksanakan di Universitas Udayana, Bali, itu mengangkat tema ”Perempuan Teladan Optimis dan Produktif (TOP) Cerdas Digital Satukan Bangsa”.

Kegiatan itu sengaja menyasar kelompok perempuan karena perempuan dinilai memiliki peran penting dan strategis untuk mencegah perkembangan radikalisme. Di mana, selain punya peran strategis mencegah radikalisme di kalangan kelompok perempuan, perempuan juga punya peran strategis untuk mencegah radikalisasi anak.

Belakangan ini keterlibatan anak atau generasi muda dalam sejumlah tindakan pidana radikalisme-terorisme semakin mengkhawatirkan. Yang bukan hanya memiliki kecenderungan dan pola pikir yang radikal dan intoleran, tetapi juga menjadi pelaku sejumlah aksi terorisme dan radikalisme. Sebut saja seperti SE (24) yang hendak melakukan aksi terornya di Istana Negara pada 26 Oktober 2022 lalu, misalnya. Atau, seperti Zakia Aini (25) yang menyerang Mabes Polri pada 31 Maret 2021 karena menganggap Indonesia sebagai negara toghut.

Jauh sebelum itu, sejumlah aksi terorisme yang melibatkan anak muda juga sudah sering terjadi. Misal, aksi bom bunuh diri di Mapolresta Medan yang melibatkan nama Rabbial Muslimin (18), penyerangan pos lalu lintas Cikokol, Tanggerang oleh Sultan Azizah (22) dan pengeboman Hotel JW Mariot, Jakarta oleh Dani Dwi Permana (18). Aksi teror oleh sejumlah anak muda ini adalah bukti bahwa fenomena radikalisme di kalangan anak muda tidak bisa disepelekan begitu saja tanpa ada tindakan pencegahan berarti.

Perempuan Adalah Pohon: Pencegahan Dini Berbasis Keluarga

Keluarga adalah lingkungan yang paling dekat dengan keseharian dan dunia anak. Karena itu, penulis kira penting bagi setiap keluarga untuk juga ikut terlibat dalam mencegah anak-anak muda terpapar dan terpengaruh oleh paham-paham radikal intoleran. Khususnya oleh para perempuan yang merupakan ibu dari anak-anak itu sendiri.

Ibu adalah pohon. Dan anak adalah buah itu sendiri. Kata pepatah: buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jika pohon besar itu berada di sisi selatan, maka kecil kemungkinan buahnya jatuh di bagian sisi utara, sisi yang jauh dari sisi utara. Anak, sebagai buah, juga tidak akan lahir dan tumbuh melainkan dari ibu—selaku pohon itu sendiri.

BACA JUGA  Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Jika ibu sebagai pohon mampu meruwat diri, mendidik dan mengasuh anak dengan baik, dan mampu memberi asupan teladan yang baik bagi anak-anaknya, niscaya anak-anaknya akan menjadi generasi emas yang berkarakter, dan berbudi pekerti baik. Tidak sombong, angkuh, dan juga tidak mudah terbawa oleh arus paham-paham radikal intoleran.

Menurut Psikolog Keluarga Alisa Wahid (2023), hal penting yang bisa dilakukan perempuan dalam mencegah anak muda berpikiran intoleran adalah menentukan model pengasuhan yang dijalankan bagi anak-anaknya. Sebab, menurut Alisa, model pengasuhan anak sangat berpengaruh terhadap kecerdasan dan pola pikir anak ketika dewasa.

Secara lebih spesifik lagi, Pakar Psikologi  Arijani Lasmawati (2018) juga menjelaskan bahwa pola asuh yang intoleran, seperti membatasi diri dengan lingkungan, tertutup dan asosial,  maka hal tersebut dengan sendirinya akan membuat anak bersikap intoleran ketika telah mencapai usia dewasa meski tidak diajarkan untuk bertindak intoleran.

Sebaliknya, apabila anak-anak dididik dan diasuh untuk membuka diri terhadap lingkungan sosial dengan segala perbedaan yang ada, saling toleransi kepada sesama dan tidak menanggap dirinya eksklusif hal itu akan membuat anak lebih inklusif, toleran, dan terbuka dengan berbagai kondisi sosial yang akan dihadapinya di masa dewasanya.

Menurut Founder Lembaga Psikologi Laksita itu, hal itu akan terjadi secara otomatis karena kebiasaan di masa kecil  akan terbawa dengan sendirinya ke dalam kehidupan dewasanya. Jadi, jika anak-anak sejak kecil terbiasa diasuh dengan model pengasuhan yang intoleran, maka dengan sendirinya ketika dewasa anak tersebut akan cenderung intoleran.

Jadi, keluarga secara umum dan ibu secara khusus sangat berpengaruh terhadap sikap, kepribadian dan karakter anak di masa dewasanya. Karena itu, hal ini harus disadari dengan penuh oleh para perempuan sebab, bila salah menentukan model pengasuhan dan memberi pengaruh buruk pada anak, intoleran dan ekslusif, misalnya, hal itu akan berakibat fatal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga masa dewasanya.

Rusdiyono
Rusdiyono
Alumnus PP. Annuqayah. Mukim di Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru