29.2 C
Jakarta

Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Artikel Trending

KhazanahPerspektifRefleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pengalaman kenikmatan ber-Idulfitri akan lebih terasa apabila bisa diperdalam lewat upaya memaksimalkan pemaknaan atasnya. Idulfitri hanya akan menjadi ruang hampa jika sekadar merayakannya sebagai sebuah seremoni makan-makan. Hakikat Idulfitri jauh lebih menyublim daripada sebatas itu. Idulfitri sesungguhnya adalah titik kulminasi sublimasi psikologis manusia menuju ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi setelah sebulan bulan penuh menggodok mental, pikiran dan hati.

Dalam bukunya Tuhan Pun Berpuasa (2012), Emha Ainun Najib memberikan sebuah eskalasi pemaknaan terhadap Idulfitri yang cukup unik dan menarik. Emha mengajak kita semua untuk memaknai kembali esensi Idulfitri, supaya kita semua berkenan memperluas dan memperdalam penghayatan dan kenikmatan Idulfitri melalui sejumlah idiom populer yang selalu kita gunakan saat merayakan Idulfitri itu sendiri. Ini menyangkut soal menumbuhkan kesadaran penghalalan dan pemuliaan hubungan sosial-kemanusiaan dalam diri kita semua. Idiom-idiom tersebut misalnya adalah kata halalbihalal, minal aidin wal faizin, dan istilah Idulfitri itu sendiri.

Kita semua membutuhkan momen Idulfitri dan harus memaknainya secara dalam-dalam, sebab kita semua pasti berpotensi melahirkan hubungan yang tidak baik antar sesama manusia, baik yang sudah, sedang dan akan tercipta. Kita semua pasti pernah menuduh, mengutuk dan berbuat keji terhadap sesama kita yang lain.

Setiap manusia memiliki monster di dalam dirinya, dan kita semua memilikinya. Ini yang disebut Carl Gustav Jung sebagai integration the shadow. Salah satu arketipe diri manusia yang potensial menciptakan destruksi, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Karena itu, urgensi puasa dibutuhkan untuk memanajemen potensi tersebut. Sebuah kemampuan pengendalian diri. Apa yang kita kendalikan dalam hal ini adalah nafsu, hasrat diri, kebodohan, kesombongan, kesembronoan pikiran dan perilaku supaya kita bisa kembali menjadi manusia yang fitri.

Ekstremisme dan Keruhnya Nilai Kemanusiaan

Dalam kegamangan model hidup yang semakin jamak sekarang ini, kita akan selalu dihadapkan pada tantangan yang juga semakin beragam bentuk dan polanya. Banyak sekali aneka macam preferensi pilihan hidup yang justru semakin membuka lebarnya ruang pelampiasan terhadap jenis-jenis nafsu yang merusak. Adanya pemaksaan kepentingan yang terus dipropagandakan misalnya, sehingga memunculkan model-model ekstremisme yang justru membuat mata air kemanusiaan kita semakin keruh.

Ekstremisme sendiri adalah pandangan atau sikap yang ekstrem atau radikal dalam mempertahankan atau mempromosikan suatu ideologi, keyakinan, atau tujuan tertentu. Dalam fenomenanya, ekstremisme justru kerap terjadi dalam hal identitas keagamaan. Hal ini sering kali terjadi karena diwarnai oleh ketidakberanian untuk menerima atau mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda, serta kecenderungan untuk menggunakan tindakan kekerasan atau penggunaan kekuatan untuk mencapai tujuan tertentu.

Ekstremisme dalam konteks sekarang ini menjadi isu yang sangat mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan konflik, kekerasan, dan polarisasi yang membelah kesatuan hidup masyarakat. Ketika individu atau kelompok memilih untuk mengekspresikan keyakinan mereka melalui cara-cara yang ekstrem, jelas ini akan membahayakan kerukunan dan stabilitas sosial dalam kehidupan masyarakat. Ekstremisme juga dapat menyebabkan terjadinya pengucilan sosial, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap individu atau kelompok yang dianggap berbeda.

Salah satu aspek yang membuat ekstremisme menjadi isu yang mengkhawatirkan adalah karena adanya potensi untuk lahirnya tindakan kekerasan dan terorisme. Ini adalah hal yang harus kita terus berikan kontra-narasinya. Karena kelompok-kelompok ekstremis sering kali menggunakan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik, agama, atau ideologis mereka.

BACA JUGA  Pancasila: Fondasi Bangsa untuk Melawan Ideologi Radikal Pemecah Persatuan

Ditambah lagi, mereka juga menggunakan propaganda dan radikalisasi online dalam penyebaran ekstremisme di era digital seperti sekarang ini. Misalnya melalui video-video propaganda yang diproduksi secara profesional untuk mempengaruhi alam pikir penonton. Video-video tersebut kerap kali menampilkan narasi kebencian, olok-olok terhadap kelompok lain, atau penggambaran kehidupan ideal di bawah pemerintahan ekstremis. Ini jelas akan merangsang simpati publik yang kesadarannya masih berada di level awam.

Dalam konteks Indonesia sendiri, ekstremisme sangat berpotensi untuk merusak proses demokratisasi dan komitmen perdamaian karena sangat menyalahi hakikat nilai Pancasila dan nasionalisme. Hal ini dikarenakan ketika kelompok-kelompok ekstremis menggunakan kekerasan atau ancaman untuk memaksakan pandangan mereka kepada masyarakat atau pemerintah tentu akan menghambat upaya-upaya dalam rangka mencapai konsensus, menegakkan keadilan, dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Satu hal lagi, ekstremisme juga dapat memperkuat siklus kekerasan dan balas dendam. Ketika tindakan ekstrem dilakukan oleh satu pihak, hal ini dapat memicu respons yang sama dari pihak lain, menciptakan spiral kekerasan yang sulit untuk dihentikan. Hal ini dapat menyebabkan konflik yang berkepanjangan dan merugikan bagi masyarakat yang terlibat.

Lebih-lebih akan menjadikan kekerasan itu sendiri menjadi sesuatu yang banal. Dengan demikian, ekstremisme bukan hanya akan mengancam keamanan dan stabilitas sosial, tetapi akan juga merusak nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan.

Urgensi Idulfitri: Komitmen Perdamaian

Momen Idulfitri memiliki makna yang sangat penting dalam kaitannya untuk membawa wacana deradikalisasi dan menolak wacana ekstremisme. Secara khusus momen Idulfitri dalam kebudayaan Indonesia punya tradisi halalbihalal yang membawa pesan perdamaian kemanusiaan. Misalnya, halalbihalal yang dilakukan antara A dan B dimaksudkan keduanya sudah sama-sama berkomitmen bahwa tidak ada lagi keburukan, kejahatan, kemungkaran, ketidakbenaran, atau ketidakadilan yang belum terselesaikan.

Idulfitri jelas sangat menekankan akan pentingnya komitmen perdamaian antar kemanusiaan dengan mengajarkan nilai-nilai seperti kesabaran, pengampunan, dan persaudaraan. Dalam konteks deradikalisasi, momen ini dapat digunakan untuk mengampanyekan pentingnya memperlakukan sesama manusia dengan penuh rasa hormat dan empati, serta menghindari sikap dan tindakan yang merugikan.

Idulfitri merupakan momentum untuk memperbaiki hubungan yang retak dan memperbaiki kesalahan masa lalu. Momen tersebut sekaligus dapat menjadi kesempatan untuk menyelenggarakan dan merayakan proses pemulihan, rekonsiliasi, serta membangun kembali hubungan yang dirusak misalnya oleh ideologi radikal.

Dengan memanfaatkan momentum Idulfitri dalam konteks deradikalisasi, kita dapat menggerakkan perubahan positif dalam kehidupan masyarakat dengan mempromosikan perdamaian, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman sebagai sebuah keindahan hidup, serta memperkuat narasi yang menolak ekstremisme dan mempromosikan inklusivitas dalam kehidupan bermasyarakat.

Ini sejalan dengan pesan film “Unfinished Indonesia”, yang menampilkan dakwah Islam inklusif melalui sosok Gus Muwafiq, kiai NU yang cukup terkenal di kalangan masyarakat biasa. Dia melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lain untuk menyampaikan pesan tentang karakter Islam dan Indonesia yang tidak sesuai dengan ideologi negara Islam yang ekstrem.

Pada akhirnya ini sekaligus menunjukkan bahwa Islam dengan Idulfitri sesungguhnya menawarkan sebuah extra cultural and spiritual strategy untuk menerobos kemungkinan dialektika permaafan dalam peta hubungan kemanusiaan yang dibangun secara sistemik, struktural, dan politis yang ruwet. Karena itu, kita mesti terus memperbarui pakaian kemanusiaan kita. Dan itulah “pakaian baru” bagi setiap penikmat hari Idulfitri di setiap waktunya.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru