32.1 C
Jakarta

Kerancuan Ijtihad Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang Radikal

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKerancuan Ijtihad Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang Radikal
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang keberlangsungan pernikahan artis Rizky Febian dengan penyanyi populer Mahalini membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) melontarkan bahwa nikah beda agama itu tidak sah secara agama. Pernyataan MUI ini muncul karena kedua artis yang bakal melangsungkan pernikahannya itu memang beda agamanya; Rizky Febian beragama Islam, sementara Mahalini beragama Hindu.

Komentar MUI memang kurang pantas dilontarkan di negara Indonesia yang di dalamnya terbentang beragam agama, mulai Islam hingga Konghucu. Artinya, negara tidak mempersoalkan pernikahan beda agama. Yang terpenting mereka tidak ateis dan paganisme alias bertauhid (percaya kepada keesaan Tuhan). Sehingga, pernikahan beda agama tetap sah selagi beberapa syarat pernikahan terpenuhi.

Saya tidak ingin memperdebatkan soal hukum sah atau tidaknya pernikahan beda agama. Bicara hukum itu secara tidak langsung bicara fikih. Lagi-lagi Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara demokrasi yang terbuka terhadap perbedaan agama, termasuk pernikahan beda agama. Tapi, yang saya persoalkan di sini adalah sikap ketertutupan MUI dalam melihat pernikahan beda agama. MUI mulai tertutup melihat kemajemukan di negara ini.

Saya kurang mengerti ijtihad yang digunakan MUI itu menggunakan metode dan pendekatan apa. Yang jelas, hasil ijtihad MUI selalu eksklusif, sehingga susah diterima oleh banyak orang. Malahan, hasil ijtihad MUI cenderung banyak ditolak. Termasuk kemarin ijtihad MUI seputar haram golput pada Pemilu 2024. Ada banyak kepentingan politik yang menolak hasil ijtihad seperti ini, karena ijtihadnya terburu-buru.

Ketertutupan MUI dalam berijtihad sejatinya tidak membawa manfaat sedikit pun. Malahan, ijtihad merugikan banyak orang dan menguntungkan kelompoknya sendiri. Bayangkan ijtihad MUI soal tidak sahnya nikah beda agama dan haram golput secara tidak langsung membenarkan bahwa agama yang benar hanya Islam. Padahal, kebenaran itu tidak terbatas. Orang non-muslim pun punya kebenaran juga.

BACA JUGA  Momen yang Tepat Kelompok Radikal Refleksi di Malam Lailatul Qadar

Kerancuan ijtihad MUI tersebut bisa jadi karena kekurangan pakar hukum berkemajuan di sana. Saya masih ingat dulu ulama sekaliber Prof. Quraish Shihab dianggap keliru argumentasinya oleh MUI bahwa mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada orang Kristen itu haram. Padahal, Prof. Quraish Shihab menyampaikan argumentasi itu disebabkan kemajemukan di Indonesia di mana tidak ada soal berbagi kegembiraan ketika saudara beda agama kita gembira.

Dari sekian banyaknya kerancuan ijtihad MUI semestinya mereka melakukan evaluasi bahwa ijtihad yang mereka kemukakan rapuh dan ketinggalan zaman. Bila meminjam istilah Prof. Quraish Shihab, ijtihad yang ketinggalan zaman adalah terlambat lahir. Semestinya, mereka mengemukakan ijtihad itu pada zaman dulu di mana Islam masih bersitegang dengan agama lain. Sekarang semua agama sudah berdamai dan bergandengan tangan. Lalu, mengapa MUI masih suka mempersoalkan persatuan agama-agama itu?

Sebagai penutup, MUI hendaknya menarik semua ijtihad yang cenderung eksklusif karena ijtihad semacam ini tidak bermanfaat sedikit pun. Malahan, menghadirkan mudarat: perselisihan dan perpecahan. Islam sangat tidak senang perpecahan. Masihkah MUI suka melakukan hal semacam itu? Saya percaya MUI masih sangat mungkin untuk mengembalikan marwah ulama yang inklusif.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru