25.7 C
Jakarta

Membuang Sampah Khilafah

Artikel Trending

EditorialMembuang Sampah Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di negara berkonstitusi Pancasila, bebas menjalankan hak dan bebas dalam memeluk agama sesuai keinginannya. Untuk pilihan-pilihan itu, bahkan hal pilihan privat sekalipun, negara menjamin dan melindungi pilihan bagi tiap masing-masing individu.

Tapi apakah semua pilihan boleh dibebaskan, meski hal tersebut mengancam pada perpecahan sebuah negara? Di sinilah kebebasan perlu dibatasi. Paham keagamaan dan paham lainnya yang menyebabkan ancaman pada negara, tidak boleh melenggang luas. Jika kebebasan diberikan kepadanya, yang ada justru bukanlah kedamaian dan perdamaian yang didapatkan. Tetapi kehancuran dan kemunduran yang bakal dituai.

Kebebasan memang sering terdengar manis. Tapi ia memiliki dua mata: postif dan negatif. Tergantung (mau) dipakai bagaimana. Tapi seringkali kebebasan memang dimanfaatkan kearah yang negatif. Misalnya, orang menyebarkan paham khilafah dan NKRI bersyariah di setiap momen. Mereka memanfaatkan momen atau kebebasan tersebut untuk menyerang negara dan kelompok rentan. Mereka berlindung di ketiak kebebasan untuk menyerang kepada si pemberi kebebasan.

Realitas tersebut terbukti nyata adanya. Hingga hari ini, masih banyak aktivis HTI dan FPI yang bergerilya di bawah tanah. Mereka beraktivitas mengatasnamakan organisasi terlarang tersebut seperti sebelum dibubarkan oleh pemerintah. Mereka menyebarkan gagasan khilafah kepada umat dalam bentuk aksi dan bentuk seminar di media seperti youtube.

Dengan kata lain, kebebasan justru kadang hadir untuk mencambuk Indonesia. Dengan kebebasan yang kebablasan, bukan kedamaian yang didapat, tak jarang kelompok-kelompok atau umat Islam lainnya justru mendapatkan kesengsaraan yang tak terkira. Bahkan mereka yang minoritas justru juga mendapatkan pengekangan untuk menjalankan perintah Tuhannya oleh kelompok yang mengaku paling Islami ini. Atas nama agama, mereka mengekang dan melarang agama lain.

Misalnya, kelompok aktivis HTI dan FPI ini tak jarang melakukan sweeping dan pelarangan terhadap ritual keagamaan oleh kelompok lainnya. Bahkan sekadar mendirikan tempat ibadah atau mendirikan rumah tuhan saja dilarang dan dipersulit oleh mereka. Gangguan demi gangguan minoritas ini diterima. Ironisnya sampai sekarang meski telah dibubarkan masih saja jadi penggangu dan gangguan bagi kelompok yang lain.

BACA JUGA  Kelompok Rentan Harus Jadi Prioritas Utama dalam Pencegahan Terorisme

Kasus terkini terjadi di Bandar Lampung ketika beberapa warga melakukan persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Kemah Daud di Rajabasa. Sekelompok bringas tampak meneriakkan takbir dengan baju putih dan celana cingkrang, sambilalu melakukan persekusi terhadap jemaat gereja. Mereka serasa punya otoritas untuk membubarkan peribadatan dengan alasan gereja yang digunakan belum mendapatkan izin.

Inilah wujud dari ajaran-ajaran sampah khilafah yang memabukkan. Dari ajaran sampah ini, mereka berani mengganggu, mengintimidasi, melarang, atau membubarkan ibadat orang lain. Mereka seperti tidak memiliki salah dan seakan-akan bahwa agamanyalah yang paling benar dan pokonya sangat benar. Padahal itu adalah perbuatan yang sangat bertentangan dengan agama itu semdiri.

Siapa pun yang mengajarkan khilafah tetapi dengan cara memaksa dan berbuat kekerasan terhadap agama yang berbeda itu layak disebut sebagai sampah negara, kalau tidak mau disebut sebagai penjahat keagamaan. Ingat, dalam konteks negara Pancasila, kebebasan beragama adalah non-derogable rights. Berkeyakinan ialah hak dasar manusia yang tidak boleh diintervensi oleh siapa saja. Ia harus dihormati, juga mesti dilindungi.

Atas nama agama, khilafah, atau syariat agama apa pun yang mencoba untuk mengganggu agama lain dan memaksakan paham agamanya adalah sampah peradaban. Sekali lagi, ia tak cuma menjadi sampah, tapi juga ia menjadi penyakit bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian yang sudah manusia nikmati berates-ratus tahun lamanya di Indonesia ini.

Hingga saat ini, ajaran khilafah masih didaur ulang. Bila masih ada ajaran khilafah yang diajarkan kepada umat Islam, itu artinya toleransi dan moderasi di Indonesia masih dan tak akan pernah selesai. Karena tidak selesai, maka negara harus tegas bersikap dan sebisa mungkin mencari alternatif solusi. Benar memang mereka minoritas jumlahnya, tapi kalau negara abai, bukan tidak mungkin negara Indonesia dikuasi oleh mereka.

Khilafah tak cukup hanya ditakar oleh himbauan. Tapi membeberkan khilafah yang bentuknya kekerasan, harus ditindak sesuai amanah konstitusi. Negara jangan larut di dalam kehendak para perusak kedamaian, kebebasan, dan NKRI.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru