27.3 C
Jakarta

Mengapa Hijrah Menjadi Babak Baru dalam Beragama?

Artikel Trending

KhazanahTelaahMengapa Hijrah Menjadi Babak Baru dalam Beragama?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Muharram adalah bulan istimewa yang dimiliki oleh umat Islam dengan beberapa ritual tertentu yang dijalankan. Term “hijrah” semakin banyak mengemuka menjadi tema-tema kajian dalam pengajian yang diusung oleh beberapa komunitas hijrah ataupun remaja masjid yang mengadakannnya. Saya yang sudah melihat berbagai flyer pengajian dengan tema hijrah berseliweran di Tiktok, Instagram, semakin penasaran dengan term hijrah yang menjadi famous di kalangan anak muda Muslim. Ustaz seleb yang menjadi idaman netizen, menjadi salah satu potret yang diperjual belikan sehingga menarik minat masyarakat dalam mengikuti kajian yang diselenggarakan.

Saat ini, di era media sosial, di mana setiap orang memiliki otoritas atas keilmuan yang ditampilkannya di akun media sosial pribadinya, sangat mudah untuk mengajak massa sesuai banyaknya followers yang dimiliki oleh suatu figur tertentu. Saya yang masih berada di pemahaman bahwa, hijrah adalah urusan personal yang hanya bisa dilakukan oleh diri sendiri karena ini berurusan dengan hubungan personal dengan Tuhan, ternyata tidak semudah itu ferguso.

Narasi yang biasa kita konsumsi bahwa, anjuran agama untuk mengajak kebaikan kepada sesama manusia, juga mengakar dalam ajakan hijrah. Artinya, memberitahu kepada orang lain bahwa kita sedang hijrah, juga menjadi sebuah upaya untuk mengajak kebaikan kepada orang lain. Ini juga menjadi penegasan bahwa, keberadaan komunitas hijrah adalah sesuatu keniscayaan karena, orang yang hijrah membutuhkan support system untuk istikamah dalam menjalankan kehidupannya.

Fenomena Hijrah Masa Kini

Hijrah semacam babak baru yang dijalankan oleh setiap Muslim dalam menjalankan spiritualitasnnya sebagai seorang Muslim. Mengapa hal ini bisa terjadi? Saya melihat ada beberapa faktor, di antaranya: pertama, fenomena ini adalah turunan dari kebijakan pemerintah di masa lalu. Ariel Heryanto, dalam bukunya yang berjudul, ”Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015)” menjelaskan bahwa, kebangkitan Islamisasi menjelang runtuhnya kekuasaan orde baru.

Kelompok Islam yang sebelumnya tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan keberislamannya, dirangkul dan dijadikan sekutu oleh pemerintahan Soeharto untuk memperkuat posisi politiknya yang saat itu melemah dan hampir punah. Pada masa tersebut, penggunaan jilbab yang semula dilarang, menjadi tidak dilarang. Kelompok-kelompok Muslim mulai menyuarakan aspirasi politiknya secara terbuka tanpa takut dipersekusi ataupun ditindas oleh rezim. Hijrah, menjadi salah satu turunan atas kebijakan yang dilakukan oleh Soeharto.

BACA JUGA  Melihat Fenomena Takut Menikah, Benarkah Akibat dari Sistem Liberal?

Kedua, gerakan hijrah adalah gerakan yang mendapatkan sponsor dari industri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa, insdustri mengkomodifikasikan apapun yang bisa diperjualbelikan, termasuk persoalan agama. Sebelum kampanye hijrah dilakukan secara masif oleh setiap tokoh/influencer yang memiliki banyak massa, industri sudah terlebih dahulu mengkooptasi ketaatan beragama yang dimiliki oleh masyarakat untuk kepentingan komersil.

Hadirnya produk kecantikan untuk muslimah, serta kontes-kontes untuk perempuan Muslim yang berjilbab, serta label halal, menjadi salah satu nuansa baru dalam perkembangan keberagamaan masyarakat Muslim sebagai produsen terbesar di Indonesia. Fenomena ini bisa kita kritisi sebagai perjalanan baru masyarakat Muslim dalam menyikapi agama yang tampil di masyarakat, sehingga kita tidak mudah untuk mengeliminasi atau mengkritis bahkan mencela orang-orang yang tidak berperilaku sesuai standart masyarakat dalam mendefinisikan sebagai seorang Muslim.

Hijrah: Gerakan Perubahan atas Kekecewaaan

Dalam sebuah terori politik, dijelaskan bahwa kebangkitan gerakan sosial seringkali dipicu oleh perubahan besar yang terjadi dalam struktur kesempatan politik. Hijrah yang saat ini sedang digandrungi oleh sebagian umat Muslim tidak hanya dipahami sebagai sebuah ajaran agama yang menyerukan melakukan kebaikan atas umatny, akan tetapi bisa dikatakan gerakan perubahan.

Jika banyak narasi yang tampil dari kelompok hijrah adalah perubahan atas tatanan sosial, utamanya tatanan pemerintahan untuk menghendaki perubahan dengan atas nama Islam, maka bisa dipastikan bahwa hijrah adalah gerakan perubahan atas kekecewaan terhadap fenomena sosial yang menyebabkan ketidakadilan, ketimpangan, kemiskinan, dll.

Dalam konteks ini, agama yang dibingkai dengan sikap perlawanan terhadap musuh menjadikan tujuan luhuriyah dan sakral bergeser menjadi sebuah gerakan politik keagamaan. Sampai di sini, mampukah kita membuktikan bahwa hijrah yang kita lakukan sebagai seorang umat Muslim tidak dicampuri oleh dengan politik keagamaan? Mari berefleksi diri! Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru