27.6 C
Jakarta

Mengakhiri Ideologi Jihad Teroris Abu Bakar Ba’asyir

Artikel Trending

Milenial IslamMengakhiri Ideologi Jihad Teroris Abu Bakar Ba’asyir
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Tokoh teroris yang paling besar dalam sejarah terorisme di Indonesia mungkin hanya ada tiga hingga sekarang. Mulai dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Abu Bakar Ba’asyir, dan Aman Abdurrahman.

Genealogi Teroris Indonesia

Kartosoerwirjo, bisa dianggap bapak teroris di Indonesia. Ia memulai karirnya dalam aktivitas politik Islam di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan, lalu Orda Lama, hingga meninggal.

Ia juga pernah bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Di masa itu, ia sangat tertarik dunia politik dan ingin mendalaminya. Oleh karena itu, Kartosoerwirjo, sangat intim dengan dunia politik dan buku-buku politik. Bahkan pada tahun 1927, ia dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.

Kemudian ia tumbuh dewasa dan menjadi salah satu aktivis muslim paling berpengaruh di masanya. Hingga suatu saat, karena kekecewaannya terhadap negara Indonesia, karena memilih dasar negara Pancasila (meski sempat ditawari menteri), Kartosoerwirjo, melakukan pemberontakan lewat pendirian Negara Islam Indonesia, pada 7 Agustus 1949. Hingga saat ini, NII telah menghasilkan pecahan dan cabang teroris paling kejam di Indonesia yang berlandaskan syariat Islam.

Doktrin paling ampuh dalam NII ini adalah mendirikan negara Islam. Negara yang berhukum pada syariat Islam. Dan tidak boleh negara Indonesia berideologi selain Islam. Ideologi dan hukum selain Islam adalah ideologi dan hukum kafir.

Abu Bakar Ba’asyir

Kemudian diteruskan oleh Abu Bakar Ba’asyir. Ia meneruskan ideologi yang sama seperti doktrin bapak teroris Indonesia: Kartosoerwirjo. Abu Bakar Ba’asyir di dunia internasional disebut-sebut sebagai kepala spiritual Jemaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi teroris militan Islam yang mempunyai kerjasama dengan Al-Qaeda. Ji dan Al-Qaeda bekerjasama dalam aktivitas terorisme untuk misi dan haluan yang sama: mendirikan negara Islam.

Ustaz Aman Abdurrahman

Kemudian Aman Abdurrahman. Berbeda dengan Abu Bakar Ba’asyir, Aman lebih condong kepada ISIS. Namun demikian, dalam melihat konsep negara, Aman sama dengan Kartosoerwirjo, dan Abu Bakar Ba’asyir. Bahwa negara demokrasi (Pancasila) saat ini adalah negara yang berkiblat pada kekafiran (berhala). Jika menyembah barang yang kafir, dapat membatalkan keislaman seseorang.

Hingga saat ini, Aman terkenal dengan julukan bapak ideologi teroris, yang paling ampuh di antara semua tokoh teroris di Asia. Bahkan banyak orang menyebut, bahwa Aman lebih andal daripada Abu Bakar Ba’asyir dalam “memengaruhi” ideologi seseorang. Terbukti, ia juga bisa mempengaruhi dan meremot orang dari balik jeruji besi, dan kemudian dijalankan oleh “murid-muridnya” yang berada di luar tahanan.

Dipertemukan Pada Satu Misi

Ketiganya, mereka dipertemukan di dalam jalan misi yang sama, yakni ingin mengganti NKRI kepada Negara Islam yang berlandasan hukum Al-Qur’an dan Hadist. Mereka tidak melihat para pahlawan non-Muslim juga terlibat dalam kemerdekaan Indonesia. Mereka juga mengesampingkan sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk yang beririsi oleh perbedaan etnik, budaya, dan agama.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Pemuda Jadi Target Teroris

Mereka melihat dunia dengan kacamata tauhid kaffah. Mereka tidak segan menganggap bahwa di luar tauhid adalah kafir. Hingga saatnya, mereka menggelorakan jihad fi sabilillah, menghalalkan aksi-aksi kekerasan untuk mendirikan negara Islam.

Dulunya, ketiganya menganggap bahwa hakekat bertauhid yang benar ialah, di samping beriman kepada adanya Allah, beriman kepada Rububiyah, juga harus disempurnakan dengan kesediaan untuk taat kepada syariat Allah secara kaffah. Bagi Ba’asyir, termasuk Aman dan Kartosoerwirjo, ini berlaku juga untuk bernegara.

Tauhid harus menjadi landasan bernegara secara total dan tidak sebagian-sebagian. Karena hanya tauhid yang akan menjadi penangkal semua kemurtadan dan perilaku berdosa manusia. Oleh sebab itu, menurutnya, Negara Islam Indonesia menjadi niscaya. Mengapa?

Karena tegaknya negara Islam bagi mereka adalah bukti bahwa Islam menang. Sebuah negara yang berdiri atas dasas hukum Islam (daulah Islamiyyah atau khilafah), maka ia sebaik-baiknya sebuah negara. Sebuah negara menurutnya, adalah memberlakukan undang-undang hidup yang haq (benar), sebagai “manhajul hayah, jalan kehidupan yang membentangkan peraturan dan undang-undang hidup yang lengkap, syumul (menyeluruh) untuk kebaikan agama.

Strategi Mengamalkan Negara Islam

Untuk menerapkan syariah Islam itu, menurut mereka harus melalui cara sebagai berikut: Pertama, diamalkan secara murni, dan tidak dicampur-aduk dengan hukum produk manusia. Kedua, diamalkan secara komprehensif dan kaffah, tidak sepotong-potong; dan Ketiga, Wajib diamalkan secara berdaulat, berpemerintahan, dengan kekuasaan, bukan secara individual ataupaun kelompok.

Berangkat dari pengertian tauhid yang sangat rigid dan kemudian menekankan pentingnya mendirikan negara Islam, sebagai sarana melaksanakan syari’ah Islam secara kaffah. Maka sesungguhnya hal demikian sangat membahayakan kepada kepentingan umat muslim di Indonesia.

Seolah-olah dan Kita Harus Melihat di Baliknya

Meski ustaz Abu Bakar Ba’asyir, seolah-oleh menerima Pancasila dengan memberikan tafsir kepada Pancasila agak longgar, sesungguhnya yang menjalankan tafsir Abu Bakar Ba’asyir yang dulu masih banyak.

Saya kira, bila pun ustaz Ba’asyir hari ini agak berubah pandangannya dalam melihat negara dan Pancasila, karena alasan berbagai hal, tapi yang pasti murid-murid fanatiknya sudah paham mengapa ia mengatakan dan mereka akan tetap mempertahankan tafsiran yang dulu: Pancasila adalah berhala, Indonesia toghut, dan NKRI harus diganti negara Islam, yang berhukum kepada Al-Qur’an dan Hadist. Titik.

Oleh sebab itu, dengan tafsiran Pancasila Abu Bakar Ba’asyir yang viral beberapa hari lalu (seakan menerima Pancasila), bukanlah akhir dari radikalisme, terorisme, dan konfrontasi terhadap tafsir antara Islam dan negara Pancasila.

Melainkan itu hanyalah awal dari mereka yang akan menghujam durjana bagaimana ekstremnya melihat, mempropagandakan, dan mempraktikkan secara fanatik, dengan terbalik dari tafsir sang tokoh ideolog teroris untuk Indonesia. Abu Bakar Ba’asyir dan Aman Abdurrahman, dan Kartosoerwirjo, tidaklah mati. Bagaimana mengakhiri ideologi jihad teroris abu bakar ba’asyir, Abdurrahman, dan Kartosoerwirjo, tunggu tulisan selanjutnya.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru