27.4 C
Jakarta

Masa Depan Polri dan Kontra Terorisme

Artikel Trending

EditorialMasa Depan Polri dan Kontra Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dramatisnya penanganan kasus Brigadir J membuat tanda tanya besar. Masyarakat menilai bahwa Polri tidak baik-baik saja. Masyarakat melihat di dalam penanganan kasus terlalu banyak intrik dan drama yang mereka lakukan. Mengapa sebagian masyarakat melihat demikian?

Satu hal, penanganan kasus Brigadir J menjadi bukti. Memang kita lihat Polri sangat lambat dan seakan-akan ditutup-tutupi. Mereka bicara berbeda tiap-tiap siaran pres yang mereka lakukan. Hingga akhirnya, mereka mengaku bahwa merekalah benar-benar yang menskenario pembunuhan Brigadir J lelaki asal Jambi itu.

Atas desakan masyarakat, tabir kasus kematian Brigadir J terkuak. Ternyata dalang di balik pembunuhan Brigadir J adalah Irjen Ferdy Sambo, yakni atasannya sendiri. Atas pengakuan ini, masyarakat menilai bahwa selama ini, Polri ternyata jalannya tidaklah jujur. Tiap kasus ada sandiwara yang Polri mainkan, seperti kasus penembakan Brigadir J. Sandiwara awal, mereka memperlihatkan bahwa terjadi tembak-menembak yang menyeret Bharada E sebagai amaliah pelakunya.

Sandiwara ini kemudian dikaitkan dengan kasus KM50 (pembunuhan 6 laskar FPI). Hampir mirip bagaimana skenario yang berjalan. Ada tembak-tembakan dan kemudian untuk melindungi diri (keamanan), maka tewaslah 6 laskar FPI ini. Tapi apakah benar kasus Brigadir J dan KM50 mempunyai kaitan dalam rongkang otak yang sama? Biarlah Anda mengira-ngira sendiri.

Apalagi, Ferdy Sambo sendiri pernah menangani kasus besar, yang ada sangkut pautnya dengan radikalisme dan terorisme. Seperti insiden bentrok FPI dan Polri di Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 yang menyebabkan 6 orang laskar FPI tewas, dan Bom Sarinah Thamrin (2016).

Dalam penanganan kasus ini memanglah sering terjadi hal dramatis. Hingga akhirnya, kasus-kasus demikian sering tidak lengkap, terpecah-pecah dan tidak ditemukan kejunstrungannya, hingga masyarakat hanya bisa menerima kenyataan seadanya. Tanpa pembuktian utuh dan tanpa kebenaran yang pasti.

Tapi kebenaran tetaplah selalu menang. Kini, dengan terkuaknya sang terduga dalang, kasus yang telah berlangsung lebih dari sebulan dan sudah menyita perhatian publik ini harus bermuara di pengadilan. Dan akhirnya, lewat tekanan publik, polri bisa berbicara bahwa Ferdy Sambo yang menjadi dalangnya beserta teman-teman sekawannya.

Apa yang masih dipertahankan dalam kasus ini? Dan masihkah masyarakat percaya terhadap instansi polisi di Indonesia? Atau masihkah polisi harus ada di Indonesia? Untuk menjawab itu, biarlah kita punya jawaban masing-masing.

Namun satu hal yang kita tidak bisa terima, ternyata ada 31 personel Polri, termasuk perwira tinggi dan menengah, terlibat dalam kasus ini. Mereka sama-sama berperan dalam membantu drama pembunuhan Brigadir J atas suruhan atau perintah Ferdy Sambo.

Dari 31 personel ini tugasnya beragam. Ada yang bagian menjadi sutradara, pemain dan amaliah pengorbanan. Di lapangan, mereka bertindak sebagai menghilangkan barang bukti (CCTV), menjadi tandem, dan hingga menghalangi proses penyidikan. Kejahatan rekayasa yang fantastis! Kejahatan yang sempurna!

BACA JUGA  Tutup Pintu Konten Radikal Melalui Sanksi Hukum

Apa yang sesungguhnya yang dicari oleh pembuat skenario ini? Sudah pasti adalah menghilangnya kasus yang mereka lakukan agar supaya aman. Mereka mencoba merampok dan bahkan membunuh hidup orang untuk alasan kenyamanan hidup pribadi miliknya. Mereka tidak mau bahwa dirinya celaka meski mencelakakan seseorang atau orang lain.

Atas rangkaian kasus ini, mungkinkah polri hari ini masih bisa dipandang bersih? Mungkinkah Polri masih punya masa depan dan masyarakat percaya dan senang atas keberadaannya?

Jika polisi masih bertindak kriminal seharusnya masyarakat tidak sudi atas keberadaan Polri. Tapi jika Polri mau belajar minimal dari kasus hari ini, dan mau transparan dan profesional untuk menjawab semua pertanyaan masyarakat atas misteri kasus ini, masyarakat mungkin masih menerima.

Jika terbukti bersalah tetapkanlah bersalah. Pecat dan hukum seberat-beratnya. Jika bersalah berilah hukuman setimpal dan seadil-adilnya. Ferdy Sambo biarlah menjadi besar dengan namanya. Tapi instansi Polri harus lebih besar dari nama Ferdy Sambo. Jangan sampai Polri lebih kecil daripada Ferdy Sambo.

Terhukumnya Ferdy Sambo, bukanlah akhir dari kasus ini. Melainkan ia adalah permulaan dari semua kasus yang ia eksekusi. Tertangkapnya Ferdy Sambo bukanlah kejahatan telah berakhir. Namun itu adalah semua awalan dari perjalanan yang panjang dari dosa besar Ferdy Sambo yang ia lewati.

Maka demikian, tugas selanjutnya ada di pundak Kejaksaan Agung. Apakah Jaksa Agung akan berdiri di posisi korban (masyarakat), atau ia malah berdiri di posisi Ferdy Sambo. Kita lihat seberapa transparan dan profesional dalam menetapkan dakwaan kepada instansi Polri tersebut.

Jika kemudian, Jaksa Agung tidak memberikan dakwaan yang setimpal, apalagi dilakukan dengan kasus terencana, maka siapakah yang harus menjadi pendakwah di Indonesia? Netizen yang barangkali bisa mendakwahkan kepribadian polri dan jaksa agung. Biarlah mereka tercoreng dengan kasus ini. Biarlah masyarakat semakin tidak percaya kepada institusi hukum di negeri Pancasila ini.

Bila demikian terjadi, maka ke mana masyarakat Indonesia harus mencari hukum yang suci dan benar? Jika aparat hukum yang seharusnya menjaga kesucian hukum, namun malah melecehkan dan memerkosa hukum dengan merekayasa kasus, apalah gunanya negara Indonesia berhukum?

Kini Indonesia bersedih. Indonesia menunggu rasa keadilan atas awan mendung yang menyelimuti hukum aparat polri atas semua kasus sandiwara ini. Masa depan Polri dan hukum Indonesia dilihat dari kasus ini.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru