26.1 C
Jakarta

Mengajari Generasi Milenial Ihwal Mencintai Tanah Air

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMengajari Generasi Milenial Ihwal Mencintai Tanah Air
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Nasionalisme Ala Milenial: Sebuah Disrupsi?, Penulis: Aulia Hadi dan Tung Ju Lan, Jumlah Halaman: 420 halaman, Tahun Terbit: 2021, Kota Terbit: Jakarta, Penerbit: LIPI Press.

Harakatuna.com – Umar bin Khattab pernah berkata, “Didiklah anak kalian karena mereka akan menghadapi suatu zaman yang jauh berbeda dengan zaman sebelumnya”. Perkataan dari Umar bin Khattab ini merupakan suatu peringatan penting bagi orang tua untuk mendidik anaknya sebaik mungkin. Karena masa yang dihadapi generasi selanjutnya, akan jauh berbeda dengan masa yang dihadapi oleh generasi sebelumnya; baik budaya, kondisi sosial, atau teknologi, semua akan berubah dari masa sebelumnya.

Pada dasarnya, semua perubahan akan membawa dampak signifikan terhadap keutuhan negara. Dijelaskan dalam buku “Nasionalisme Ala Milenial: Sebuah Disrupsi?” karya Aulia Hadi dan Tung Ju Lan, bahwa generasi milenial yang kini melanjutkan estafet perjuangan sangat rentan mengubah segala hal, termasuk dasar negara. Perubahan yang mereka gagas, lebih disebabkan oleh anggapan kuno dan tidak relevan [hlm. 8].

Maka dari itu, karakter dan kesukaan dari generasi milenial harus dibimbing ke arah persatuan. Tidak melupakan konsep-konsep penting untuk mendirikan suatu negara, sehingga warisan yang telah digagas Pahlawan terdahulu terus abadi [hlm. 16]. Seperti apa yang telah diwejangkan oleh Ir. Soekarno “Jasmerah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah)”.

Telah banyak contoh generasi yang hancur akibat melalaikan sejarah. Seperti yang diceritakan dalam Al-Qur’an di Surat Al-An’am ayat 6. “Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”. (Q.S. Al-An’am: 6).

Dalam ayat tersebut diceritakan jika kaum Nabi Luth juga hancur akibat meninggalkan sejarah. Sebelumnya, kaum Nabi Luth telah diperingatkan tentang bagaimana umat Nabi Nuh ditenggelamkan. Kaum Nabi Nuh ditenggelamkan karena mereka mengabaikan peringatan Nabi Nuh itu sendiri, dan memilih jalan kemaksiatan. Pun saat Nabi Nuh membuat kapal, mereka mengolok-oloknya, dan pada akhirnya mereka menyesal dan tenggelam dalam banjir besar.

Kisah-kisah seperti ini seharusnya juga menjadi pelajaran, agar generasi milenial tidak sembarangan meninggalkan sejarah. Karena walau bagaimanapun, sejarah adalah warisan yang telah lama digodok dan dibentuk untuk kemaslahatan jangka panjang. Apabila seseorang meninggalkan suatu sejarah, berarti dirinya telah kehilangan identitas diri. Dan itu berarti kehancuran akan segera dimulai.

BACA JUGA  Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Dalam hal nasionalisme, kita bisa mengambil contoh dari negara-negara Timur Tengah yang habis dengan peperangan. Mereka meninggalkan makna sebenarnya dari agama Islam itu sendiri, yaitu perdamaian untuk semua orang. Ada beberapa kelompok di sana yang berpaham bahwa kedamaian baru bisa dicapai apabila semua orang bersatu dalam satu keyakinan [hlm. 35]. Apabila mereka menolak suatu keyakinan, boleh hukumnya untuk menghabisi nyawanya.

Hasilnya bisa ditebak, orang yang berbeda keyakinan tersebut, lebih memilih untuk dihabisi daripada mengganti keyakinannya. Menurut mereka, keyakinan bukanlah barang dagangan yang bisa ditukar sesuai kebutuhan. Sehingga peperangan dan perpecahan terjadi dimana-mana. Banyak manusia mati sia-sia hanya karena berbeda keyakinan [hlm. 45]. Dan yang lebih parah, negara yang mereka perjuangkan habis-habisan, rusak tak bersisa dan tidak bisa dimanfaatkan.

Kesalahan mendasar yang mereka lakukan adalah tidak berpikir panjang dengan serangkaian peperangan. Yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana menyatukan keyakinan semua orang, agar bisa membentuk tatanan negara yang cemerlang. Meskipun sekilas pemikiran ini bagus, namun jika diselisik, pemikiran ini adalah hasil dari keegoisan diri sendiri.

Sebuah pemikiran yang menandakan bahwa kepercayaan dirinya lebih hebat dan lebih benar dibandingkan kepercayaan liyan. Pemikiran ini juga mengamini jika kepercayaan liyan tidak pantas ada dalam suatu negara tersebut. Sehingga menghilangkan suatu keyakinan menjadi hukum wajib yang harus dilakukan. Dan tentu saja, proses ini akan melibatkan adu kekuatan antar pihak yang berseberangan.

Suatu pelajaran penting tentunya untuk generasi milenial agar tidak melupakan sejarah. Tidak melupakan bagaimana rintisan Pancasila, UUD 1945, dan konsep-konsep kenegaraan lainnya. Semua konsep yang telah dirancang oleh pendahulu, sebenarnya adalah konsep dasar bagi terbentuknya negara yang ideal dan menuju kemakmuran. Penting, untuk mengingat dan mempertahankan konsep yang telah digagas oleh pahlawan [hlm. 54].

Perihal perubahan, boleh saja dilakukan oleh generasi milenial. Pun perubahan tersebut tidak bisa dihindari karena bergesernya teknologi dan media ke arah modernisasi. Maka satu hal penting yang harus diingat dalam suatu perubahan adalah penerapan konsep-konsep luhur yang telah dirancang oleh tokoh-tokoh sejarah.

Karena dengan begitu, bangsa Indonesia akan tetap utuh dan terjaga kesejahteraannya. Tetap menjadi bangsa yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Dengan banyaknya keyakinan yang hidup di Indonesia, bangsa ini tidak akan hancur karena nalar keberagaman yang telah bersemayam di hati penerusnya. Mereka selalu meyakini, bahwa umat yang berbeda sebenarnya mempunyai tujuan yang sama untuk menjadikan Indonesia lebih baik di masa depan.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru