29.1 C
Jakarta

Menemukan Moderasi Beragama dalam Bingkai Religion of Twenty

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenemukan Moderasi Beragama dalam Bingkai Religion of Twenty
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pluralitas merupakan sebuah keniscayaan yang memang Allah kehendaki pada ciptaan-Nya, tak terkecuali pluralitas yang juga melekat pada dinding negara ini sebagai label dari realita Nusantara yang tersusun dari beberapa elemen.

Pluralitas di Indonesia tidak hanya mencakup satu hal, ia terbagi ke beberapa elemen seperti agama, bahasa, budaya, suku, dan ras yang di bawah masing-masing tersebut hidup beragam kelompok yang berdampingan.

Bisa dilihat misalnya dalam wujud keanekaragaman budaya, yang dipadu dengan keterpisahan geografis sebagai ruang hidupnya, menjadikan bangsa ini menjadi satu-satunya bangsa dengan tingkat keunikan tertinggi di dunia.

Berbanding terbalik dengan pluralitas dalam hal agama. Indonesia dengan karakteristiknya yang plural, selama kurun waktu awal milenium kedua tidak henti-hentinya diguncang aksi kekerasan atas nama agama.

Data terakhir yang dikeluarkan oleh Global Terrorism Index (GTI) pada 2022, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan rentetan kasus terorisme ketiga terburuk Asia Pasifik, dan menempati posisi ke-24 dalam skala global.

Persis di titik ini, posisi agama tampak abu-abu. Di satu sisi, agama lahir sebagai petunjuk dan pedoman hidup umat manusia. Di sisi yang lain, sangat disayangkan sekali ketika kekerasan sosial berangkat atas nama agama.

Rais Syuriah PBNU Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur), dalam berbagai kesempatan sering menyatakan bahwa kerukunan hidup umat beragama merupakan hal yang mutlak bagi keutuhan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk ini.

Gus Ghofur sendiri juga pernah mengisi seminar di gereja, sebuah hal yang tidak lazim dilakukan oleh seorang kiai di lingkungan pesantren pada umumnya. Ia diminta oleh Gereja St. Petrus dan Paulus di Kota Rembang menyampaikan tentang bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang Maryam.

Sikap atau pemahaman yang dicerminkan oleh Gus Ghofur setidaknya diperoleh dari ayahnya sendiri yaitu KH. Maimoen Zubair (Abdul Ghofur, 2019). 

Hal ini menunjukkan bahwa rukun dalam beragama merupakan kunci mutlak bagi utuhnya bangsa Indonesia. Lantas kemudian, siapakah yang memiliki keharusan mengatur semua demi terwujudnya keseimbangan dalam tatanan sosial bangsa? Apakah kemudian akan dibiarkan begitu saja dengan mengikuti alur waktunya sampai habis dikikis oleh waktu itu sendiri?

Tarmizi Taher (mantan Menteri Agama RI 1993-1998) dalam sambutannya pada Konsultasi Gereja Injil Asia (Asia Church Consultation) di Bogor 21 November 1943 silam, menyatakan bahwa kerukunan umat beragama bukanlah suatu yang terjadi begitu saja (taken for granted), tetapi merupakan kondisi dinamis yang dihasilkan oleh kerja keras berbagai pihak, baik pemerintah, tokoh-tokoh agama maupun umat beragama itu sendiri (Wakhudin, 2003).

Melalui penyataan Taher itulah ditemukan titik terang bahwa konflik di tanah air tak akan lenyap oleh waktu. Diperlukan upaya berbagai pihak salah satunya dengan melibatkan pemuka agama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Selaras dengan itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa waktu lalu mengadakan forum Religion of Twenty (R20) di Bali sebagai usaha untuk melibatkan para pemuka agama dan sekte dalam konflik dunia international dan mencari pemecahannya bersama (Suaedy, 2022).

Pluralitas dalam Islam

Dalam Islam, pengakuan akan pluralitas atau perbedaan sebagai sebuah keniscayaan di dunia bisa dilacak melalui banyak ayat di dalam Al-Qur’an, salah satunya seperti yang terkandung dalam Surah al-Baqarah ayat 62:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.”

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, Al-Mishbah, juga tidak menampik bahwa ayat tersebut menjadi salah satu dalil terhadap wujud pluralitas atau keberagaman yang ada di dunia, termasuk pluralitas agama. Oleh karena itu, lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan dan merupakan tuntunan agama (Quraish Shihab, 2012).

BACA JUGA  Sekolah Mengonter Radikalisme, Bagaimana Caranya?

Selain itu, al-Baqarah ayat 62, Islam yang mengakui akan adanya pluralitas atau keberagaman juga terkandung di dalam Surah al-Hujurat ayat 13:

 يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Syu’ūb berarti orang non-Arab, dan Qabāil adalah orang Arab (Ibnu Katsir, 1999). Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Imam At-Thabari dalam tafsirnya yang mengatakan bahwa Syu’ūb ditafsirkan sebagai keturunan jauh (nasaban ba’īdan) dan Qabāil adalah keturunan yang dekat (nasaban qarīban) (At-Thabari, 2000).

Melalui dua ayat di atas, ditemukan titik terang bahwa pluralitas dalam hal apa pun merupakan sunnatullah untuk terjadi. Itu artinya, tidak ada alasan untuk menjadikan pluralitas sebagai sesuatu yang harus dipermasalahkan, apalagi harus dihancurkan karena adanya sifat bengis manusia terhadap setiap hal yang berbeda dengannya.

Karena bagaimana pun, pluralitas diciptakan untuk menjadikan manusia saling mengenal satu dengan yang lainnya. Atas dasar ini, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk membendung konflik salah satunya dengan penanaman kembali akan pentingnya sikap moderat di tengah tamsil keberagaman yang ada.

Moderasi dan Perdamaian Dunia

Beberapa bulan yang lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berhasil menyelenggarakan Religion of Twenty (R20). Tujuan forum ini untuk mendorong para pemuka agama untuk bisa ikut berkontribusi dalam memecahkan berbagai masalah global, seperti: sekularisasi, kemiskinan, polarisasi, sosial politik, serta pembahasan mengenai solusi perang antara Rusia dan Ukraina yang dapat mengancam krisis energi dan pangan global.

Tak tanggung-tanggung, total ada 32 negara dengan peserta yang hadir sebanyak 464 orang dari lima benua dengan latar belakang agama dan sekte yang berbeda (Suaedy, 2022).

Forum R20 yang digagas oleh KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum PBNU ini sebagai bukti konkret dan representasi Nahdlatul Ulama dalam rangka mendorong para pemuka agama untuk terjun secara langsung dalam memecahkan masalah global, mengingat selama ini agama hanya berperan di posisi pinggiran dan hanya bisa berkontribusi di ruang privat tanpa bisa masuk di ruang publik.

Terselenggaranya event R20 tersebut jelas menandai bagaimana agama dapat hadir dalam mengatasi permasalahan global yang sejak abad ke-14 agama selalu dipinggirkan, karena terkesan otoriter dan dianggap menyebabkan kemunduran di bidang teknologi, ilmu pengetahuan dan sains modern.

Meskipun hal tersebut juga tidak terlepas dari bagaimana strategi untuk memisahkan antara agama dan negara termasuk dalam bidang keilmuan yang oleh Jurgen Habermas (1929) diistilahkan dengan public sphere, yaitu ruang yang bebas dari hegemoni agama (Adnin Armas, 2005).

Tentu, terobosan yang dilakukan PBNU melalui Forum R20 menjadi manifestasi konkret tentang bagaimana pluralitas tidak selamanya melahirkan konflik, tetapi justru akan menjadi tali perekat manusia sebagai makhluk sosial untuk menciptakan kedamaian dan peradaban dunia yang bebas dari kekerasan.

Lebih penting dari itu, kaum milenial harus bisa memahami akan nilai-nilai moderasi beragama yang tersimpan di balik Forum R20, bahwa aktualisasi nilai moderasi di era saat ini tidak cukup pada ranah sikap saja, tetapi juga harus bisa diaktualisasikan dengan adanya dialog lintas agama untuk kemudian memecahkan masalah secara bersama.

M. Faidh Fasyani
M. Faidh Fasyani
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang/Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang. Beberapa tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru