28.4 C
Jakarta

Menelaah Hizbut Tahrir dalam Peta Politik Islam Kontemporer

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenelaah Hizbut Tahrir dalam Peta Politik Islam Kontemporer
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat Islam sesudah Muhammad Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti Nabi yang akan memimpin umat dalam kapasitas sebagai kepala negara, atau yang lazim disebut persoalan imamah.

Sedangkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai acuan utama tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya. Sehingga tidak mengherankan jika dalam pentas sejarah umat Islam pasca Nabi sampai abad modern ini, umat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk pemerintahan. Mulai dari bentuk khilafah yang demokratis sampai ke bentuk yang monarkhi absolut.

Keragaman dalam praktek mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam. Perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama dengan negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik.

Terjadinya keragaman praktek dan keragaman konsep dan pemikiran tersebut, bukan hanya dipengaruhi oleh penafsiran terhadap ajaran Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan peradaban dan intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing. Artinya, baik faktor intern maupun faktor ekstern sama-sama mempengaruhi keragaman tersebut. Selalu ada tarik menarik antara ketentuan-ketentuan normatif dan kenyataan sosial politik dan historis.

Kenyataan ini bisa dilacak pada masa pemerintahan Islam seperti Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Kedua pemerintahan ini di samping dipengaruhi ajaran Islam juga dipengaruhi oleh model pemerintahan Romawi dan Persia. Atau dalam alam pemikiran, terlihat bagaimana para tokoh pemikir politik Islam Sunni klasik dan pertengahan misalnya sangat dipengaruhi oleh kenyataan historis dan kondisi sosial politik di masa mereka.

Seperti dikatakan oleh H.A.R. Gibb bahwa teori politik Sunni hanya merupakan rasionalisasi terhadap sejarah masyarakat dan preseden-preseden yang diratifikasi oleh ijma’. Akibatnya tidak ada di antara para yuris Sunni yang berusaha membuat ‘lompatan pemikiran’ tentang teori-teori politik dan kenegaraan untuk mengantisipasi perkembangan peta kehidupan sosial politik umat Islam di masa datang.

Tampaknya mereka terlalu yakin bahwa sistem pemerintahan di zaman mereka akan bertahan. Tidak seperti dalam pembahasan mereka di bidang fikih yang banyak melakukan pengandaian, dengan mengemukakan beberapa kasus yang peristiwanya belum terjadi, lalu menetapkan hukumnya. Sumbangan pemikiran politik mereka kepada usaha perbaikan kehidupan politik umumnya terbatas pada saran-saran tentang kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh kepala negara.

Baru menjelang akhir abad XIX pemikiran politik Islam mulai mengalami pergeseran yang signifikan dan berkembanglah pluralitas pemikiran yang menurut Munawir Sjadzali disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam karena faktor internal. Kedua, tantangan negara-negara Eropa terhadap integrasi politik dan wilayah dunia Islam yang berujung pada penjajahan. Ketiga, keunggulan negara-negara Barat dalam sains, teknologi dan organisasi.

Peta kecenderungan tentang hubungan agama dan negara sendiri terdapat tiga kelompok pemikiran. Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan sekaligus lembaga politik. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi mempunyai fungsi politik, karenanya kepala negara mempunyai kekuasaan agama yang berdimensi politik.

Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama, karenanya kepala negara, hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa dunia saja.

Pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik juga terdapat tiga golongan. Golongan pertama menyatakan bahwa dalam Islam terdapat sistem politik dan pemerintahan, karena Islam adalah agama yang paripurna. Golongan kedua menyatakan dalam Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, namun mengandung ajaran-ajaran dasar tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sedangkan golongan ketiga berpendapat Islam sama sekali tidak terkait dengan politik dan pemerintahan, dan ajaran agama hanya berkisar tentang tauhid, ritual, pembinaan akhlak, dan moral manusia.

BACA JUGA  Matikan Islam Radikal, Hidupkan Islam Moderat

Sejalan dengan itu, M. Din Syamsuddin mengemukakan paradigma yang sedikit berbeda tentang hubungan agama dan negara. Pertama, hubungan integralistik, yaitu agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik. Dengan kata lain, negara merupakan lembaga politik dan sekaligus lembaga keagamaan.

Penyelengaraan pemerintahan atas dasar kedaulatan Tuhan, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan. Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah, dan juga oleh kelompok revivalis Islam yang di antara pemimpinnya adalah al-Maududi dengan Jemaat al-Islamiyah-nya di Pakistan, serta Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb dengan Ihwanul Muslimin-nya.

Kedua, paradigma simbioistik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan dan etika moral. Paradigma ini dipakai oleh kebanyakan pemikir politik Islam abad pertengahan seperti al-Mawardi dan al-Ghazali, dan Ibn Taimiyah.

Din juga merumuskan konsep ideal, dengan mengambil contoh kasus negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Model negara seperti Indonesia secara subtantif adalah negara Islami. Din mengajukan argumen bahwa Pancasila itu sendiri mengandung substansi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti tauhid, kemanusiaan, persaudaraan, demokrasi, dan keadilan. Selain itu, menurut Din agama dalam negara Pancasila menempati rating yang tinggi.

Ketiga, paradigma sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Bahkan mengajukan gagasan pemisahan agama dan negara secara ketat, dan menolak pendasaran negara kepada Islam. Salah satu pelopornya adalah Ali Abd al-Raziq. Menurut paradigma ini, Islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan dan kekhalifahan, termasuk Khulafa’ al-Rasyidin bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman tetapi sistem duniawi.

Jika melihat polarisasi pemikiran politik Islam kontemporer dengan berbagai nuansanya, maka konsep khilafah yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir dapat dikelompokan pada kecenderungan integralistik. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk, yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Menurut Hizbut Tahrir, untuk mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu bahkan tidak boleh meniru pola lain, dan supaya kembali pelaksanaan yang murni dari ajaran Islam, yaitu kembali kepada pola zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Hizbut Tahrir menganggap implementasi syariat sangat penting bagi pemulihan cara hidup Islami dan negara merupakan syarat yang niscaya untuk mencapai tujuan ini.

Sesuai karakteristik Islam yang universal itu, maka pemerintahan Islam harus supra nasional, dan tidak mengakui pengkotak-kotakan yang berdasarkan faktor geografis, suku, etnik dan kebangsaan. Dibanding dengan pemikir politik Islam lain, Hizbut Tahrir telah berhasil menyajikan suatu sistem politik Islam yang mandiri dan lengkap yang sepenuhnya bersumber dari ajaran Islam dengan merujuk pola politik semasa generasi pertama Islam.

Dengan demikian, Hizbut Tahrir merupakan gerakan modern Islam dari berbagai negara yang bertujuan mewujudkan kembali Khilafah Islamiyah sebagaimana terjadi pada awal-awal Islam setelah Nabi wafat.

Semakin ramainya masyarakat Islam menyuarakan formalisasi syari’at, sangat menggembirakan Hizbut Tahrir, dan mereka akan ikut andil dalam mendorong kristalisasi ide itu dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Syari’at Islam bagi Hizbut Tahrir tidak hanya harus berlaku dalam wilayah private yang mengurus masalah-masalah sekitar rumah tangga seperti nikah, waris, dan rujuk, tetapi juga harus melebar ke wilayah publik termasuk urusan politik kenegaraan. Pelaksanaan syariat Islam dipandang sebagai pengejawantahan kepatuhan manusia terhadap Islam secara kaffah.

Referensi

Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993.

M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.

Abdur Rahmad
Abdur Rahmad
Santri Pesantren Nurul Jadid, pelayan para pelayannya kader biru kuning, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam di Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Probolinggo, yang tidak lain hanyalah seorang anak pulau Giligenting di seberang pulau Madura.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru