27.2 C
Jakarta

Film Buya HAMKA: Minus Gagasan

Artikel Trending

KhazanahResonansiFilm Buya HAMKA: Minus Gagasan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejak 19 April 2023, dua hari menjelang Idul Fitri, publik Muslim Indonesia disuguhkan tontonan film mengenai Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Film jilid I yang bergenre drama/biografi ini dibintangi Vino G. Bastian yang berperan sebagai Buya HAMKA dan Laudya Cynthia Bella yang berperan sebagai Sitti Raham, istri Hamka.

Pemeran lainnya adalah Desy Ratnasari sebagai ibu Hamka, Safiyah, dan Donny Damara yang berperan sebagai ayah HAMKA, Abdul Karim Amrullah. Produksi film ini dilakukan oleh Falcon Pictures dan Starvision Plus, bekerja sama dengan MUI sebagai penasihat pembuatan film, dengan produser Ir. Chand Parwez Servia.

Yang menjadi penulis naskah adalah Alim Sudio dan sutradara Fajar Bustomi, yang sebelumnya sukses menggarap Dilan (1990). Lokasi pengambilan gambar film terutama dilakukan di Sumatera Barat, kampung HAMKA, khususnya Danau Maninjau, Lembah Harau, Bukik Takuruang, dan Bukik Bulek.

Sinopsis Film

Sebagaimana diungkapkan Alim, penulis naskah, film ini merangkum kecintaan Buya HAMKA yang amat besar terhadap Indonesia, terhadap Islam, terhadap keluarga, dan terhadap kemanusiaan, sebagai satu kesatuan, tanpa dibagi. Karenanya, film ini mencerminkan visi Islam HAMKA sebagai kaum modernis Islam, sebagai penulis sekaligus aktivis pergerakan Muhammadiyah, dan juga media massa Islam.

Film ini kental dengan budaya Sumatera Barat, terutama dialog-dialog dalam bahasa Minang yang cukup fasih, paling tidak dilihat dari orang non Minang seperti penulis. Sesekali disisipkan dialog dalam bahasa Arab juga, di mana Vino pemerannya sempat belajar bahasa Arab selama dua bulan, meski tetap saja tampak kurang fasih.

Film dibuka dengan adegan HAMKA sedang berada di penjara karena pemenjaraan yang dilakukan Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya. Dalam film, tampak Buya HAMKA yang ringkih, sakit-sakitan, dan berdialog dengan istri dan keluarganya dalam suasana sedih/menangis.

Suasana dramatis sangat terasa dari sejak pembukaan film yang mengharubirukan, membuat air mata penonton bisa bercucuran, karena film dari awal agaknya ditampilkan dengan beraliran romantis, di mana perasaan menjadi basis pembuatan film. Tentu saja adegan ini debatable, karena yang diketahui umumnya akademisi, HAMKA saat berada di penjara menikmati hidup juga.

Meski penjara membuatnya terkekang dan terpisah dengan keluarga dan jamaahnya, HAMKA girang, karena ia bisa menulis tafsirnya yang terkenal, Tafsir al-Azhar, sebagai magnum opus-nya.

Lalu, film menampilkan HAMKA saat berada di Makassar sebagai aktivis dakwah Muhammadiyah di setting waktu sekitar dekade tahun 1930-an, saat Indonesia masih di bawah cengkraman Kolonial Hindia Belanda. Di plot ini, HAMKA sukses menjadi ustadz dan aktivis Muhammadiyah dan berhasil menulis novel Islam pertamanya, Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Di plot film ini, HAMKA sempat ditawari oleh seorang jemaahnya untuk berpoligami dengan menikahi putrinya yang masih gadis. HAMKA lalu menolak, karena meski poligami boleh, uraiannya, ayat setelahnya harus dibaca, bahwa poligami harus disertai sikap adil dan itu sulit.

Tawaran untuk menjadi pemimpin redaksi Majalah Pedoman Masyarakat membuat HAMKA hijrah ke Medan. Selain bisa membuat majalah itu oplahnya terbesar se-Hindia Belanda kala itu, HAMKA juga menjabat sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sumatra Timur.  Lewat majalah ini, HAMKA menampilkan visi Islam modernisnya dan menjadikannya sebagai medan perjuangan untuk membuat Indonesia merdeka. Ia pun karenanya sempat bertemu dan bersahabat dengan Soekarno sebagai tokoh kunci kemerdekaan di Bengkulu.

Di plot film dengan setting Medan  ini ada dua hal yang membuat penonton mengharu biru. Anak pertamanya meninggal dunia, saat istrinya dan anaknya, tinggal di Padang Panjang, terpisah dengan HAMKA, karena alasan ekonomi. Karena tanggung jawab sebagai pimpinan redaksi, HAMKA tidak langsung pulang ke Padang Panjang, tetapi menunda kepulangannya. Di plot ini juga, HAMKA dimusuhi masyarakat dan sebagian elite ulama Medan.

Ada dua hal yang membuatnya mengalami hal itu. Permusuhan sebagian ulama atas aktivitasnya sebagai novelis. HAMKA di plot ini berhasil menulis Novel Tenggelamnya Kapal Van Derwijk. Ia dianggap mereka tidak sesuai, karena seorang ulama tidak layak menulis novel percintaan, apalagi berbasis khayalan, bukan kenyataan. Sementara bagi HAMKA, novel adalah media untuk berdakwah juga.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Di plot ini, juga HAMKA dipecat sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan dimusuhi masyarakat Muslim, karena dianggap sebagai ulama yang menjilat Pemerintahan Jepang saat berkuasa setelah mengalahkan Belanda tahun 1942. Bagi HAMKA, kehadiran Pemerintahan Jepang yang sangat militeristik berbahaya bagi umat Islam, jika tidak diterima kehadirannya. Pasalnya, akan melahirkan banyak ulama dan masyarakat terbunuh, minimal dipenjara. Asalkan, mereka tidak mencampuri urusan agama Islam.

HAMKA pun terusir dari Medan dan pulang ke Padang Panjang dengan merasa menjadi seorang ulama yang gagal dalam berjuang. Namun, ternyata, di kampung halamannya, HAMKA diterima sebagai ulama, yang membuat dakwahnya kembali berjalan, meski mengalami kesulitan ekonomi. Saat Indonesia merdeka tahun 1945, HAMKA tampil sebagai pejuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Barat.

Kurang Bergagasan

Sebagai kebudayaan popular, film agaknya dibuat serenyah/semudah mungkin, sehingga  bisa diakses semua kalangan, tidak hanya mereka yang terpelajar saja. Tujuannya untuk memenuhi selera penonton, yang dengan itu, motif komersial mengembalikan modal film bisa terpenuhi. Juga tentu saja motif untuk menghibur. Karenanya, film ini tampak sebagai film yang kurang bergagasan.

Meski ada MUI sebagai penasehat pembuatan film, novel kurang berbasis riset atas karya-karya HAMKA yang mendalam. Literatur seperti Ayahku karya HAMKA dan literatur yang membahas HAMKA agaknya kurang/tidak dirujuk. Misalnya dalam soal poligami, baginya,  beristri satu orang adalah jalan sedekat-dekatnya untuk hidup tidak menganiaya (bersikap adil).

Bukan hanya menerapkan keadilan dalam rumah tangga poligami sangat sulit (QS. 4: 29) yang dikutip dalam novel, tetapi juga, bagi HAMKA, poligami acapkali melahirkan sikap saling membenci antara para istri, dan juga antarsesama anak-anak, sebagaimana yang dialaminya sendiri. Sebab itu,  HAMKA berkesimpulan bahwa prinsip pernikahan dalam Islam adalah monogami dan poligami adalah jalan darurat saja.

Meski novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (novel keagamaan satu-satunya yang terbit di Balai Pustaka, 1936), isinya sama sekali tak disinggung dalam film. Novel ini oleh kalangan yang kurang suka sering disebut sebagai novel dengan tema cinta tak sampai dengan membawa-bawa Ka’bah. Namun, di antara yang menarik dari novel ini adalah plot-nya yang mendekati cerita berbingkai dan isinya mengenai informasi penting tentang keadaan para jemaah haji Indonesia di Mekah pada periode pra-kemerdekaan.

Yang paling menarik adalah plot sebelum Hamid naik haji yang berisi visi Islam modernis HAMKA. Baginya, pertimbangan kemanusiaan (humanisme) seperti menjaga nyawa seseorang (hifzh an-nafs) harus lebih didahulukan ketimbang melanggar aturan agama yang tidak parah. Dalam bahasa Ushul Fikih (metodologi hukum Islam), akhaff adh-Dhararin [kedaruratan yang lebih ringan]) boleh dilanggar jika darurat.

Dan itu tampak pada plot yang tindakan Hamid, tokoh utamanya, yang memberi napas buatan kepada Zainab, kekasihnya, melalui mulut saat Zainab hanyut dan hampir mati karena tenggelam di kali. Namun, tindakan itu malah membuatnya terusir dari kampung, karena Hamid dipandang para tokoh agama seniornya  telah melakukan tindakan cabul/nista (mencium lawan jenis, kekasihnya).

Seolah HAMKA lewat novel itu bicara pertentangan antara tokoh tuo yang beragama literal dan tokoh mudo yang menekankan Islam baru yang berkemajuan.

Demikian juga dengan buku Tasawuf  Modern dan visi Islam moderatnya. Dalam film memang disebut bahwa tasawuf tradisional tidak tepat menggambarkan Islam terlampau menekankan sisi ruhaniah saja. Padahal, kemapanan ekonomi ditekankan Islam. Hanya saja, kurang dikontraskan.

Misalnya dalam Islam, yang ideal adalah menjadi seorang yang kaya, yang tanpanya seorang Muslim tak bisa berzakat dan berhaji, meski hidup miskin juga sebagai ujian untuk bisa masuk surga. Juga pandangan HAMKA bahwa bertasawuf tidak berarti uzlah, meninggalkan hiruk pikuk dunia, juga tak tampak.

Dalam menggambarkan HAMKA yang bekerjasama dengan Jepang juga kurang ditekankan visi Islam moderat HAMKA sebagai Sunni. Tepatnya HAMKA yang berprinsip menolak kurasakan seperti banyaknya umat Islam yang terbunuh harus didahulukan ketimbang mengejar keadilan tertentu sebagaimana ulama Sunni lainnya seperti al-Ghazali. Wallah a’lam.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru