33.5 C
Jakarta

Menegaskan Kembali Urgensi Kontra-Narasi Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamMenegaskan Kembali Urgensi Kontra-Narasi Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari-hari ini topik seputar radikal-terorisme bak mati dan tidak lagi populer. Apakah benar ia sudah tidak mengancam tanah air? Ini menarik. Padahal radikalisme dan terorisme merupakan masalah serius yang jadi tantangan banyak negara di seluruh dunia. Tindakan-tindakan radikalis-teroris memiliki dampak negatif yang luas, seperti perpecahan sosial, ketakutan, dan kerugian ekonomi. Namun, mengapa adem ayem?

Untuk melawan radikalisme dan terorisme, kita harus fokus pada kontra-narasi. Tujuannya, memengaruhi keyakinan yang salah dan memerangi ideologi mereka. Karenanya, menjelajahi berbagai tema terkait kontra-narasi terkait sangatlah urgen. Penegasan ulang mungkin perlu agar masyarakat tetap waspada. Pemerintah juga demikian, mesti melakukan kinerja berkelanjutan. Urgensi kontra-narasi tidak dapat disangkal.

Sebenarnya, mengapa seseorang bisa terpengaruh paham radikal atau bahkan terlibat tindakan terorisme? Ini adalah pertanyaan lama. Faktor-faktor lingkungan, sosial, dan psikologis memegang porsi besar dalam suksesnya radikalisasi. Keterlibatan pada radikal-terorisme terjadi karena usaha dua pihak; para aktan tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena indoktrinasi mereka juga berkat izin atau afirmasi korban itu sendiri.

Ketika itu terjadi, dampak sosial yang ditimbulkan relatif dahsyat. Perpecahan dalam masyarakat, kebencian antarumat beragama, dan cederanya marwah Islam, adalah yang terburuk. Demikian karena di tengah negara majemuk seperti Indonesia, konflik horizontal merupakan pantangan terbesar. Dalam konteks itulah, kontra-narasi radikalisme dan terorisme merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak—harus dilakukan.

Peran Media

Sebelum-sebelumnya telah diuraikan tentang bagaimana pemerintah dan otoritas pendidikan memiliki peran penting dalam melakukan kontra-radikalisme dan terorisme. Maka di sini perlu digarisbawahi bahwa media juga memiliki potensi peran yang sama. Di era digital seperti sekarang, radikalisasi juga banyak terjadi secara daring. Karenanya, upaya melawan mereka juga wajib menggunakan cara yang sama.

Prinsipnya, jika new media rentan menjerumuskan seseorang ke dalam radikal-terorisme, dengan intensitas dan militansi yang sama new media juga bisa menjadi sarana pengentasan ideologi radikal-teror. Kekalahan kontra-narasi selama ini hanya soal kemasifan—kalah masif. Uraian media juga terlampau normatif, sehingga peran mereka melakukan kontra-narasi nyaris tidak terlihat sama sekali.

Untuk itu, kesadaran akan pentingnya peran media dalam memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab terhadap kontra-narasi radikalisme dan terorisme merupakan keniscayaan. Media mainstream tidak semestinya terlalu pragmatis; menyajikan berita-berita yang tidak perlu demi cuan belaka, dan mengabaikan posisi strategis mereka dalam melakukan kontra-narasi radikalisme dan terorisme.

BACA JUGA  Idul Fitri: Meraih Satu Bulan Kemenangan, Tetapi Mengotori Sebelas Bulan Lainnya?

Tindakan yang dapat dilakukan media untuk mencegah penyebaran narasi radikal, paling dasarnya, ialah menghindari sensasionalisme dan memberikan kesempatan bagi suara yang beragam. Mengedukasi masyarakat melalui konten pemahaman konstruktif tentang bahaya radikalisme adalah salah satunya. Selebihnya sekadar soal militansi, seberapa konsisten upaya tersebut dilakukan sekalipun tidak lagi populer.

Peran Agama dan Tokohnya

Selain ngomong-ngomong soal politik, apa yang telah dilakukan oleh para tokoh agama selama ini? Di NU misalnya, selain konsistensinya membentengi umat dari Wahabisme, apakah pernah ada keterlibatan intens dalam gerakan kontra-narasi radikalisme terorisme? Jawaban atas pertanyaan ini subjektif. Secara formal, tentu saja iya. NU punya media, NU Online, atau Islami.co yang concern di bidang terkait.

Barangkali yang mesti ditingkatkan ialah peran ‘non-formal’ mereka. Peran yang tidak populer, tidak didukung dana pemerintah, dan tidak profit-oriented. Dan tidak hanya NU, ini merupakan tantangan bersama dalam melakukan kontra-narasi radikalisme dan terorisme. Kerja-kerja bawah tanah inilah, sebagai upaya tokoh agama dalam mengedukasi publik agar tidak terpengaruh oleh narasi radikal, yang belum banyak tersentuh.

Faktanya, hari ini, kerja sama antarpemimpin agama dalam membangun pemahaman yang benar dan mempromosikan dialog perdamaian sudah paten di atas kertas. Namun terorisme masih terus terjadi, kecuali mengalami sedikit penurunan. Dalam konteks itulah, agama dan tokohnya mesti lebih giat lagi, segiat para tokoh radikalis-teroris dalam gerakan militan mereka. Dengan cara itu, pertandingan jadi impas.

Kontra-narasi diorientasikan untuk membangun toleransi dan inklusivisme. Baik media maupun tokoh masyarakat, keduanya tidak dapat mengabaikan tugas urgen ini. Melawan narasi radikalisme dan terorisme adalah sesuatu yang mengharuskan peran aktif seluruh pihak: pemerintah, non-pemerintah, keluarga, pendidikan, media, dan tokoh agama. Perlu pengakuan ihwal pentingnya memahami akar permasalahan dan berupaya aktif menghadapinya dengan strategi yang beragam.

Dalam upaya membangun harmoni dan keamanan dalam masyarakat, kontra-narasi yang menyajikan nilai-nilai toleransi, dialog yang terbuka, dan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan radikal-terorisme harus terus dipromosikan. Dengan begitu, kita dapat membentuk generasi yang kuat dan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi tantangan radikalisme dan terorisme. Sekali lagi, ini urgen.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru