27.5 C
Jakarta

Mendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i

Artikel Trending

KhazanahOpiniMendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di balik setiap intelektual besar yang meninggalkan jejak di masa lalu, selalu ada figur yang tak terlupakan: seorang ibu. Sorang tokoh senantiasa diperkaya sentuhan hangat dan arahan bijak dari ibu yang mendidiknya. Imam Syafi’i, seorang cendekiawan Muslim terkemuka dan pendiri salah satu dari empat mazhab utama dalam Islam, adalah salah satu contoh nyata dari pengaruh mendalam seorang ibu dalam membentuk kepribadiannya.

Namun demikian, kerap kali yang tersorot selama ini adalah kisah-kisah tentang ayah Imam Syafi’i. Untuk itu, mari kita juga mengenal siapa sosok di balik keberhasilan dan kesuksesan Imam Syafi’i. Sebagai ulama masyhur yang alim dan imam besar yang mazhabnya menjadi rujukan orang Islam di dunia, ia selalu menarik dikaji.

Adalah ibunda Imam Syafi’i, Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah, yang akan diulas di sini. Menurut Al-Baihaqi, nasab Fatimah adalah dari suku Al-Azd di Yaman. Sejarawan lain mengatakan, Fatimah adalah ahlulbait, keturunan Nabi Muhammad dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Madrasah Pertama Imam Syafi’i

Fatimah adalah madrasah pertama sekaligus orang tua tunggal yang membesarkan Imam Syafi’i. Demikian karena, sejak umur dua tahun, ayah Imam Syafi’i meninggal di Gaza. Meski begitu, kesalehan Fatimah tidak menjadikan dirinya mengeluh—kendati tidak sedikit pun harta yang diwarisi sang suami.

Dengan kondisi yang serba kekurangan tersebut, Fatimah tetap gigih dan berusaha keras agar Imam Syafi’i menjadi figur yang hebat dan bermanfaat bagi semua. Semangat juang Fatimah yang begitu kuat demikian juga mengalir dalam tubuh Imam Syafi’i dalam mencintai dan menimba ilmu. Tanggung jawab moralnya sebagai seorang ibu laik diteladani bersama.

Fatimah adalah sosok yang cerdas dan seorang hāfizhah, penghafal Al-Qur’an, sekaligus ahli ibadah. Tak heran, saat menginjak usia tujuh tahun, Imam Syafi’i sudah hafal Al-Qur’an dengan baik. Tiga tahun berikutnya, ia sudah hafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.

Kemiskian dan hidup sebagai anak yatim tidak menjadi penghalang bagi Imam Syafi’i untuk menimba ilmu dan menggapai kedudukan yang tinggi. Semua hal ini tentunya merupakan kehendak dan karunia Allah Swt., serta keinginan yang kuat dari ibundanya. Sebagaimana diceritakan Imam Nawawi, betapa besar peran ibu di belakang penguasaan Imam Syafi’i terhadap fikih.

Saat Imam Syafi’i berusia sepuluh tahun, Fatimah membawanya untuk pindah dan tinggal di Makkah. Ia khawatir nasab beliau yang mulia akan hilang dan dilupakan, yaitu nasab yang masih bersambung dengan Nabi Muhammad Saw. Di Makkah, Imam Syafi’i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu Al-Khaif.

Imam Syafi’i juga berguru fikih kepada mufti di sana, yaitu Muslim bin Khalid Az-Zanji, hingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia lima belas tahun. Kemudian, beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’i, dan menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Kesalehan dan Kecerdasan Fatimah binti Ubaidillah

Ada cerita menarik yang membuktikan kecerdasan Fatimah binti Ubaidillah. Suatu ketika Fatimah binti Ubaidillah diminta oleh hakim untuk menjadi saksi di pengadilan. Ia pun mengajak seorang temannya untuk ikut menjadi saksi.

BACA JUGA  Manifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?

Sesampainya di pengadilan, hakim itu berkata, “Yang boleh bersaksi hanyalah kamu (Fatimah binti Ubaidillah), temanmu tidak boleh!”. Mendengar perkataan sang hakim, ibunda Imam Syafi’i kemudian menjawab “Wahai hakim! Anda tidak bisa berkata seperti itu! Allah Swt. berfirman, “… Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) agar jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannnya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

Hakim pun terdiam dan mengakui kecerdasan Fatimah binti Ubaidillah. Tak heran jika kecerdasannya menurun kepada putranya yang juga cerdas luar biasa dan luas ilmunya. Imam Syafi’i sulit ditandingi oleh generasi setelahnya.

Bahkan Imam Nawawi mengatakan bahwa, ibu Imam Syafi’i merupakan seorang perempuan yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Ia adalah seorang yang kompeten dalam urusan agama dan memiliki kemampuan istinbath.

Refleksi Kisah Fatimah binti Ubaidillah

Sebuah pepatah mengatakan bahwa baiknya suatu negara itu ketika masyarakatnya baik. Baiknya suatu masyarakat itu ketika keluarganya baik, dan baiknya suatu keluarga yaitu ketika seorang perempuan itu baik.

Pepatah Timur Tengah mengatakan, “Perempuan adalah tiang negara”. Maka apabila perempuan itu baik, akan baik pula negaranya, dan apabila perempuan itu rusak, maka rusak pula negaranya. Perempuan sebagai tiang negara dalam rumah tangga maksudnya bahwa dia adalah pribadi yang menjadi kiblat etika dan intelektual anak-anaknya.

Hal itu sejalan juga dengan apa yang pernah dikatakan Soekarno, Presiden pertama RI, bahwa “jika perempuan itu baik, maka jayalah negara, tetapi jika perempuan itu buruk maka runtuhlah negara”.

Meski demikian, tanggung jawab moral dan etika terhadap bangsa adalah tanggung jawab bersama baik laki-laki maupun perempuan. Tiang yang dikatakan sebagai penyangga dalam suatu bangunan juga membutuhkan fondasi, dinding, dan atap yang mendukung.

Penyebutan perempuan menjadi tiang negara adalah istilah bagi siapa pun. Terutama bagi pihak yang diberi amanah untuk mengelola negara, agar memastikan perempuan kuat, berdaya, dan tidak dilemahkan secara kultural dan struktural. Begitulah kiranya penjelasan Nur Rofiah dalam bukunya, Nalar Kritis Muslimah.

Dari kisah ibunda Imam Syafi’i, tentu banyak sekali pelajaran penting yang bisa kita jadikan pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Terlebih, peran sebagai seorang ibu. Fatimah binti Ubaidillah benar-benar telah mencontohkan bagaimana peran seorang ibu dalam membentuk dan mendidik etika-moral anak agar menjadi generasi penerus bangsa yang unggul.

Kemiskinan dan kesempitan tidak menjadi halangan dan alasan untuk meninggalkan ibadah dan upaya dalam mencari ilmu. Semangat dan tekad yang luar biasa juga selalu Fatimah berikan dan tularkan kepada putranya.

Tentu semua itu menjadi motivasi dan kekuatan yang besar bagi seluruh generasi agar selalu semangat menimba ilmu dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Baik untuk agama maupun negara, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat. Wallahu a’lam.

Fatmi Isrotun Nafisah
Fatmi Isrotun Nafisah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru