29.2 C
Jakarta

Manifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?

Artikel Trending

KhazanahOpiniManifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pemahaman tentang istilah toleransi belakangan, selalu disinggungkan dengan upaya menciptakan perdamaian dan kesepahaman dalam kebaikan perspektif kelompok-kelompok lintas agama, Muslim dan non-Muslim. Menguraikan dan mengupayakan perdamaian di antara kelompok lintas agama sangat urgen, terlebih di saat paham radikal yang menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia masih tumbuh subur.

Namun, meskipun begitu terdapat hal urgen lain yang tidak boleh dilupakan, yakni upaya menciptakan toleransi di antara golongan atau mazhab di internal umat Islam tidak kalah pentingnya. Terlebih di bulan Ramadan yang setiap tahunnya selalu saja terjadi perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal.

Sebenarnya perbedaan penetapan awal bulan kalender Hijriah tidak hanya terjadi saat memasuki Ramadan dan Syawal saja. Pada setiap awal bulan Hijriah selalu terjadi perbedaan karena standar dan metode penetapannya yang berbeda. Perbedaan mereka didasari pada perbedaan penafsiran terhadap hadis yang sama.

Di Indonesia banyak sekali perbedaan metode dalam penetapan awal bulan khususnya Ramadan, mulai dari pengikut metode penetapan Imam Ja’far Shadiq, tarekat Naqsabandiyah, Nadziriyah, Syatiriyah, Islam Kejawen Aboge, kelompok Sunni di Maluku, hingga dua kelompok keagamaan Islam terbesar di Indonesia; Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berbeda dalam menetapkan awal Ramadan.

Namun tahun ini kemungkinan besar pemerintah, NU dan Muhammadiyah menetapkan hari raya Idulfitri di hari yang sama, sekalipun perbedaan di antara kelompok umat Islam bukan berarti usai. Sebab, masih terdapat beberapa kelompok lain yang mungkin akan menetapkan Idulfitri lebih awal, misalnya kelompok pengikut metode Imam Ja’far al-Shadiq di Jember dan jemaah tarekat Naqsyabandiyah di Padang.

Kedua kelompok ini menetapkan awal bulan Hijriah berdasarkan pada keyakinan dan kemantapan hati mereka. Kedua kelompok ini berpegang teguh pada ajaran guru-guru yang mereka yang danggap wali, di mana sumber pengetahuannya berasal dari Allah langsung.

Metode Imam Ja’far misalnya, dijelaskan dalam kitab Nuzhatu Majelis, kitab tasawuf karya Syaikh Abdurrahman bin Abdussalam. Sedang metode penetapan tarekat Naqsabandiyah menggunakan metode hisab munjib yang diperkenalkan oleh Syekh M. Thalib, seorang sufi pada awal abad kedua puluh.

Maka tidak heran jika di saat Kemenag telah mengupayakan penyelarasan penetapan awal bulan kalender Hijriah, baik Ramadan, Syawal maupun Zulhijah, dengan diaksanakannya sidang itsbat yang menghadirkan berbagai elemen perwakilan dari setiap kelompok, muncul pertanyaan, “Apakah masih relevan mengikuti pendapat para sufi dalam penetapan awal bulan?”.

Jawabannya, tentu secara logika tentu sudah tidak lagi relevan. Sebab, tujuan pemerintah melibatkan diri dalam penetapan awal bulan Hijriah adalah untuk menghilangkan perbedaan yang rentan konflik. Juga metode yang digunakan pemerintah merupakan metode paling ilmiah di antara beberapa metode yang ditawarkan.

Namun begitu, pemerintah dan kelompok mayoritas juga tidaklah berhak memaksakan kebenaran pendapatnya untuk diterima demi menghilangkan perbedaan. Sebab keyakinan dan kebenaran yang bersifat relatif dalam konteks furu’iyah memang tidak mungkin untuk diselaraskan.

Juga, dalam konteks ijtihad penetapan hukum Islam, setiap pendapat dan keputusan yang dimunculkan oleh para ulama yang memiliki kompetensi tetap selalu memiliki nilai. Bahkan penting bagi setiap ulama menghormati pendapat lain yang berbeda dengannya.

Dalam satu hadis riwayat Amr bin Ash disebutkan, “Idza hakama al-hakim fa ijtahada tsumma ’ashaba falahu ajrani, waidza hakama fa ijtahada tsumma ’akhto’a falahu ajrun”. Artinya, apabila seseorang berijtihad merumuskan satu hukum lalu hasil rumusannya benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang siapa berijtihad merumuskan satu hukum, lalu hasilnya keliru maka ia mendapatkan satu pahala.

Pendapatku benar yang memiliki kemungkinan untuk keliru, dan pendapat mereka salah yang memiliki kemungkinan untuk benar” merupakan perkataan Imam Syafi’i yang sampai saat ini menjadi pedoman dalam bertoleransi dalam konteks furu’iyah.

Dari pandangan Syafi’i tersebut, menjadi jelas keharusan untuk meyakini bahwa pendapat yang diikutinya sebagai sebuah kebenaran, namun tidak menutup adanya kemungkinan untuk keliru. Sehingga berkonsekuensi bahwa pendapat selainnya merupakan kekeliruan. Meskipun begitu pendapat yang keliru tetaplah harus dihormati sebab pendapatnya tetap terhitung sebagai satu hasil perumusan hukum (ijtihad) yang bernilai.

BACA JUGA  Bahaya Brainwashing Radikalisme di Dunia Maya dan Strategi Penanganannya

Rambu-rambu Praktik Toleransi di Internal Umat Islam

Selanjutnya, terlepas dari perbedaan di atas, pada bagian ini penulis hendak menekankan pentingnya setiap kelompok bersikap toleran. Sebab, meskipun perbedaan di antara kelompok di atas telah berlangsung puluhan tahun lamanya, namun masih saja ada individu atau kelompok yang sangat fanatik buta dengan keyakinannya. Sehingga mereka tidak segan untuk mencela kelompok lain yang berbeda dengannya.

Selain pudarnya sikap toleransi di antara kelompok, belakangan di masyarakat akar rumput juga banyak terjadi kesalahpahaman dalam praktik toleransi antara golongan atau mazhab, yang berdampak pada tidak sah atau batalnya ibadah yang telah atau akan mereka lakukan. Sebab mereka mencampuradukkan implementasi pendapat ulama berbeda, yang seharusnya tidak dapat dicampur adukkan.

Adapun aturan dalam bermazhab dalam konteks penetapan awal Ramadan dan Syawal ialah, seseorang telah meyakini penetapan awal Ramadan dengan metode A (yang menetapkan hari awal bulan Ramadan lebih awal), tidak boleh beralih mengikuti metode B (yang menetapkan hari awal bulan Ramadan lebih akhir) dalam penetapan awal bulan Syawal, begitu pun sebaliknya. Sebab jika hal itu dilakukan, maka akan memiliki beberapa konsekuensi hukum sebagaimana contoh studi kasus berikut;

Pertama, misalnya jika si fulan dalam penetapan awal bulan Ramadan mengikuti metode A (lebih awal) dan dalam penetapan awal bulan Syawal mengikuti metode B (lebih akhir). Jika ia melakukannya karena mengubah keyakinannya, maka puasa pertamanya dihukumi haram sebab hari itu baginya merupakan hari syak (tanggal yang diragukan).

Namun, jika dilakukan karena mengikuti nafsu atau kebodohannya maka salat Id yang dilakukannya tidak sah. Sebab sudah dilakukannya di tanggal 2 Syawal menurut keyakinannya dengan metode A.

Kedua, misalnya jika si fulan dalam penetapan awal bulan Ramadan mengikuti metode B (lebih akhir) dan dalam  penetapan awal bulan Syawal mengikuti metode A (lebih awal). Jika ia melakukannya karena mengubah keyakinannya, maka ia wajib mengganti puasa di hari pertama yang ditinggalkannya.

Namun, jika dilakukan karena mengikuti nafsu atau kebodohannya maka salat Idulfitri-nya tidak sah dan ia memiliki kewajiban mengganti puasa satu hari. Sebab, dalam keyakinannya hari di mana ia melakukan salat Id merupakan hari terakhir dari bulan Ramadan.

Kedua contoh studi kasus ini berlaku dengan asumsi semua metode sama dalam menetapkan jumlah hari di bulan Ramadan. Berbeda jika kedua metode tidak sama dalam menetapkan jumlah hari di bulan Ramadan. Jika metode A menetapkan jumlah hari bulan Ramadan 30 dan metode B menetapkan jumlah hari bulan Ramadan 29, maka sudah sepatutnya hari raya Idulfitri dilakukan bersamaan. Dan jika yang berlaku sebaliknya, maka tentu metode A melaksanakan salat Idulfitri dua hari lebih dahulu dari metode B.

Terakhir, jika di satu daerah terdapat dua atau lebih kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan dalam penetapan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal, sehingga berdampak pada terjadinya perbedaan waktu pelaksanaan salat Id.

Maka, sudah sepatutnya pemuka agama atau tokoh masyarakat di wilayah tersebut mempersilakan dilakukannya salat Idulfitri dalam dua hari berbeda, meskipun di satu tempat. Hal itu sebagai bentuk toleransi dan membuka celah kemungkinan kebenaran dan kekeliruan dari pendapat masing-masing kelompok, yang merupakan bentuk rahmat dari Allah Swt.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Muhammad Izul Ridho
Muhammad Izul Ridho
Alumni Pascasarjana UIN Khas Jember, Pengajar di PP. Mahfilud Duror II Suger Kidul Jember.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru