27.4 C
Jakarta

Mencegah Pemuda-pemuda Teroris Masa Depan

Artikel Trending

Milenial IslamMencegah Pemuda-pemuda Teroris Masa Depan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam banyak obrolan, banyak saya temukan orang yang memikirkan nasib Indonesia hari-hari ini. Mereka berbicara soal degradasi moral dalam sosial dan politik. Maraknya intoleransi, membengkaknya polarisasi, misalnya. Sering kali, proyeksnya sekadar sampai tahun 2024. Di sisi lain, saya juga kerap menemukan obrolan tentang Indonesia Emas 2045—dua dekade mendatang. Pertanyaannya, apakah di tahun tersebut negara ini benar-benar mencapai era keemasan?

Jawabannya bisa iya dan tidak. Saya pikir, Indonesia Emas 2045 merupakan agenda yang kompleks. Ada tiga aspek penting yang menentukan, yaitu sosial, ekonomi, dan politik. Agama tidak memiliki peran secara langsung. Namun demikian, kondisi sosial-politik berkaitan erat dengan keberagamaan itu sendiri. Artinya, jika aspek keberagamaan kita tak beres, imbasnya adalah sosial dan politik. Masyarakat akan bertengkar sesama, dan politik memperburuk citra agama itu sendiri.

Saya akan fokuskan agama yang dimaksud pada Islam. Hari ini, realitas sosial umat Muslim berada dalam keprihatinan. Dari segi sosial, intoleransi dan eksklusivisme masih semarak. Banyak saudara Muslim kita yang kerap cekcok; sesama Muslim maupun dengan non-Muslim. Yang diperebutkan adalah kebenaran. Sementara dari segi politik, Islam bahkan dieksploitasi untuk mencapai tujuan politis tertentu. Politik identitas menjadi contoh nyata dari itu.

Jika kondisi sosial-politik masih belum beres, bagaimana Indonesia Emas akan tercapai? Solusi memperbaiki itu adalah memperbaiki keberislaman kita. Wasatiah Islam harus menjadi acuan seluruh umat. Inklusivisme dan toleransi wajib hukumnya, sehingga masyarakat Indonesia yang plural bisa maksimal untuk memperbaiki sektor ekonomi dan IPTEK. Dan yang terpenting, untuk merealisasikan Indonesia Emas 2045, generasi muda jangan sampai ada yang terjerat terorisme.

Yang terakhir ini sebagai antisipasi. Faktanya, para teroris generasi tua, alias eks-napiter, tengah melakukan regenerasi teroris. Mereka mendirikan lembaga pendidikan, yang orientasi ajarannya mendukung Daulah ISIS. Selain itu, banyak juga pemuda yang terjerat HTI dan khilafahnya. Itu semua menunjukkan bahwa masa depan negara ini tidak akan semulus yang kita kira—untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Karenanya, kolaborasi menjadi keharusan.

Urgensi Upaya Kolaboratif

Upaya kolaboratif menyelamatkan pemuda masa depan, yang dalam hal ini berkenaan dengan kontra-terorisme, adalah urgen untuk menghadapi ancaman yang kompleks tersebut. Kolaborasi yang dimaksud mencakup kerja sama nasional dan internasional. Di tataran nasional, perlu adanya tindakan tegas untuk memberantas para pendukung Daulah dan aktivis khilafah yang berkeliaran di tengah-tengah kita. Sementara di tataran internasional, kerja sama antarnegara adalah jawabannya.

Misalnya, pertukaran informasi dan intelijen. Sekalipun sifatnya underground, kolaborasi untuk saling sharing informasi dan intelijen antarnegara relatif penting. Radikalisasi mesti disterilkan bersama-sama, dengan cara mengidentifikasi ancaman dan mengantisipasi serangan mereka. Informasi berkualitas dan akurasi waktu membuat misi penyelamatan generasi bangsa semakin efektif. Kolaborasi tersebut misalnya antara BIN, CIA, dan Mossad. Juga Densus 88, BNPT, dan lainnya.

Upaya kolaboratif lainnya ialah koordinasi operasional. Ini juga merupakan kunci  kunci dalam menangani ancaman terorisme, terutama di kalangan pemuda. Negara-negara perlu bekerja bersama untuk mengungkap dan menangkap teroris, serta memutus sumber pendanaannya. Koordinasi yang baik akan meningkatkan efektivitas. Sementara jika koordinasinya lemah, pemuda akan terus dicekoki ideologi teror, hingga mereka siap jadi teroris masa depan.

BACA JUGA  Politik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang

Bagaimana dengan pertukaran pengalaman dan pelatihan antar-stakeholder? Boleh jadi, masyarakat akan memandangnya sebelah mata dan dianggap hanya menghabiskan anggaran. Padahal, melalui kolaborasi, negara-negara dapat saling sharing pengalaman menangani terorisme, baik dalam hal kebijakan, strategi, maupun taktik operasional. Artinya, ia membantu memperkuat kapabilitas stakeholders itu sendiri dalam melawan terorisme.

Sama halnya juga dengan pendekatan multidisiplin. Faktanya, terorisme tidak sekadar soal keamanan, tetapi juga aspek sosial, ekonomi dan politik. Upaya kolaboratif harus mencakup para ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk akademisi, peneliti, dan pemuka agama, untuk mengembangkan strategi komprehensif menyelamatkan pemuda-pemuda dari ideologi teror. Apa yang harus dikembangkan, contohnya? Yaitu pemahaman ihwal pencegahan ekstremisme.

Pada saat yang sama, pemuda-pemuda kita membutuhkan dukungan psikososial dan tersedianya rehabilitasi. Negara-negara dan lembaga internasional mesti bekerja sama menyediakan layanan yang memadai, dalam rangka pemulihan trauma dan sejenisnya. Segala upaya kolaboratif tersebut, pada waktunya, akan mencegah lahirnya pemuda-pemuda teroris di masa yang akan datang. Sehingga, cita-cita Indonesia Emas 2045 akan benar-benar tergapai.

Dampak Abadi Terorisme

Selanjutnya, jika kolaborasi tersebut tidak pernah ada, apa yang akan terjadi? Jelas, dampak abadi teroris akan masyarakat rasakan. Dampak-dampak tersebut berlangsung jangka panjang dan bertahan lama. Pertama, bagi korban dan keluarganya. Terorisme menimbulkan trauma dan penderitaan yang mendalam bagi keluarga korban. Dampak emosional dan psikologis akan semakin sulit sembuh, melahirkan dendam kesumat yang tak ada akhirnya.

Kedua, ketakutan dan gangguan psikologis. Terorisme memantik ketakutan dan kecemasan kolektif pada masyarakat. Ia bahkan bisa menyebabkan stres kronis, gangguan kecemasan, dan trauma psikologis. Ketiga, kerusakan infrastruktur dan ekonomi. Ketersediaan layanan publik, pertumbuhan ekonomi dan investasi, semuanya anjlok. Rekonstruksi pun memakan waktu dan sumber daya signifikan. Bagaimana Indonesia akan masuk era keemasan sementara ekonominya buruk? Mustahil.

Ketiga, kerusakan sosial dan politik. Perpecahan dan polarisasi memengaruhi relasi antarmasyarakat, memantik konflik dan kekerasan sipil, dan menjerumuskan Indonesia sebagai negara gagal, seperti Afghanistan. Terorisme merusak tatanan sosial-politik. Para pemuda yang hidup di tengah rusaknya tatanan tersebut juga kena pengaruh buruk. Dan jika masyarakat dan politik sudah sama-sama berada di titik nadir, alih-alih menggapai keemasan, Indonesia justru bisa kolaps kapan saja. Menakutkan.

Intinya, dampak abadi terorisme mencakup sejumlah aspek; fisik, psikologis, sosial, ekonomi, dan politik. Memahami dampak-dampak tersebut urgen dalam rangka merancang strategi pencegahan terorisme serta memperkuat ketahanan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap ancaman tersebut. Boleh jadi teroris atau eks-napiter pada 2045 sudah banyak yang wafat. Namun, bagaimana anak-anak mereka yang hari ini masih muda; jika dibiarkan, bukankah merekalah pemuda-pemuda teroris masa depan?

Wallahu A’la bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru