29.2 C
Jakarta

Politik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang

Artikel Trending

Milenial IslamPolitik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam sebuah diskusi, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi menegaskan bahwa negara Indonesia hari ini tengah mengalami pembajakan demokrasi. Menurut Cak Islah, iklim perpolitikan tanah air sedang berada di titik terendah. Pasalnya, ada indikasi jelas bahwa politik dinasti tengah dibangun. Untuk itu, ia mengingatkan para Gen Z untuk melek politik—menjaga Indonesia dari pembajakan tersebut.

Mengapa politik dinasti dianggap membajak Islam dan demokrasi? Jawabannya adalah karena ia mendekonstruksi keadilan dan hak-hak berpolitik. Suksesi kepemimpinan yang turun-temurun merupakan tradisi abad pertengahan di seluruh dunia, yang tidak lagi relevan untuk diterapkan di Indonesia. Jika ia dipaksategakkan, maka kemunduran adalah sesuatu yang niscaya. Dan tentu, itu harus ditentang.

Tidak ada ruang untuk politik dinasti. Dilihat dari aspek apa pun, kolusi dan nepotisme tidak boleh ditoleransi. Jika wacana khilafah ala HTI harus dilawan, maka wacana politik dinasti juga harus ditentang. Islam melarang praktik semacam itu karena jauh dari nilai-nilai syariat dan juga kontradiktif dengan sistem demokrasi NKRI. Pembajakan Islam dan demokrasi, jika dibiarkan, sama persis dengan penghancuran negara itu sendiri.

Lantas, bagaimana menyelamatkan NKRI dari kehancuran yang tak diinginkan? Ada dua hal yang dapat diupayakan. Pertama, penguatan prinsip-prinsip demokratis dalam Islam. Beberapa kalangan tidak setuju bahwa Islam sangat demokratis, yang kemudian menjadi jalan pembenaran atas politik dinasti. Kedua, memusuhi politik dinasti dalam bingkai NKRI. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kerajaan.

Islam dan Prinsip Demokratis

Dalam sejarah Islam awal, suksesi kepemimpinan merupakan persoalan pelik yang hampir memecahkan persatuan kaum Muhajirin dan Anshar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sejak semula, realitas politik selalu terikat erat dengan sifat manusiawi, seperti keserakahan dan intrik kejam yang memantik pertikaian sesama. Karenanya, Nabi tidak melakukan suksesi melalui penunjukan karena akan memperparah potensi perpecahan.

Ketika Abu Bakar hingga Ali memimpin, kondisi sosial-masyarakat berada dalam kesejahteraan karena pemimpin yang adil dan amanah. Suksesi dilakukan secara demokratis, melalui musyawarah mufakat dan tidak dengan cara yang otoriter. Namun setelah kekuasaan berada di tangan Muawiyah, suksesi dilakukan secara kedinastian. Nilai-nilai demokratis sejak saat itu dilanggar dan kembali ke dinasti.

Para aktivis khilafah di seluruh dunia tidak menolak Dinasti Umayyah hingga Utsmani sebagai pemerintahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam. Mereka bahkan meyakini era kejayaan Islam waktu itu sebagai bukti kehebatan khilafah, sembari mereka mengabaikan fakta bahwa khilafah yang mereka maksud tidak lain dan tidak bukan adalah kedinastian itu sendiri. Di sinilah, umat Muslim terjebak dalam bayang-bayang kemajuan.

BACA JUGA  Serangan Moskow dan Bukti Kekejaman Teroris di Bulan Ramadan

Akhirnya, hari ini setelah marak upaya pendinastian politik, mereka tidak bisa bergerak untuk menentang. Bahkan sekalipun sudah jelas bahwa politik dinasti merupakan upaya pembajakan Islam dan demokrasi yang harus ditentang bersama, mereka justru memilih berkomplot di dalamnya. Politik dinasti yang merupakan bibit otoritarianisme didukung, padahal sudah jelas itu merupakan musuh bersama. Benar-benar naif.

Dinasti Adalah Musuh

Politik dinasti, yang ditandai dengan dominasi keluarga atau individu tertentu dalam jalur kekuasaan politik, menjadi musuh bersama bagi prinsip-prinsip demokrasi yang didasarkan pada keadilan, partisipasi, dan akuntabilitas. Kekuasaan politik yang berbasis dinasti sarat dengan upaya-upaya nir-etis yang tidak hanya bertentangan dengan idealisme Islam, melainkan menyalahi prinsip negara-bangsa (nation state).

Mengapa demikian? Ada sejumlah alasan. Pertama, sentralisasi kekuasaan. Politik dinasti menciptakan konsentrasi kekuasaan di tangan keluarga atau orang tertentu. Ia mengabaikan prinsip dasar demokrasi yang menuntut partisipasi merata yang egaliter dan distribusi kekuasaan yang seimbang. Kedua, nepotisme dan korupsi. Dalam politik dinasti, keluarga mendapat keuntungan atas dasar hubungan keluarga, bukan kapabilitas dan kualifikasi.

Hari ini kasus semacam ini disaksikan bersama ketika seorang paman membantu keponakannya dengan menabrak konstitusi dan seorang bapak melakukan segala cara agar anaknya berkuasa. Itu jelas korupsi yang mesti ditentang total. Ketidaksetaraan akses terhadap politik itu salah kaprah. Puncak terburuknya ialah diskriminasi dan sulit untuk bersaing secara adil di arena politik praktis.

Ketiga, pemilihan yang curang. Ini yang akan menimpa Indonesia pada tahun-tahun mendatang jika politik dinasti berhasil duduk di kursi kekuasaan. Dalam dinasti, pemilihan pasti tidak mencerminkan persaingan yang adil. Kekuatan finansial dan jaringan politik keluarga dapat mendominasi, mengurangi ruang bagi kandidat independen atau dari lapisan masyarakat yang lebih luas. Berharap keadilan pada dinasti adalah kekonyolan belaka.

Keempat, menganganya ketidakadilan sosial. Politik dinasti merupakan penghalang perubahan dan reformasi ketidakadilan sosial. Ia mempertahankan status quo yang menguntungkan keluarga atau sosok tertentu. Kelima, tumpulnya prinsip demokratis di ruang publik. Loyalitas lebih ditempatkan pada keluarga daripada terhadap kebenaran. Sehingga maraklah persekusi dan ketidakadilan sosial.

Islam tidak mengajarkan dinasti dan justru menentangnya. Karenanya, melawan politik dinasti memerlukan keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat dan aktivis demokrasi. Hanya dengan bersatu dan menolak dominasi politik dinasti, demokrasi tetap hidup, dinamis, dan melayani kepentingan bangsa di atas segalanya. Jangan sampai Islam dibajak dan demokrasi dikorupsi. Lawan!Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru