27.8 C
Jakarta

Soft Approach Kontra-Teror VS Soft Approach Teroris

Artikel Trending

EditorialSoft Approach Kontra-Teror VS Soft Approach Teroris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pendekatan lunak (soft approach) yang pemerintah gunakan dalam menanggulangi radikal-terorisme merupakan pendekatan yang fokus pada upaya pencegahan, deradikalisasi, dan rehabilitasi. Soft approach menempatkan urgensi kontra-terorisme hingga ke akar. Selama satu dekade terakhir, pendekatan tersebut berhasil menjinakkan sejumlah eks-teroris. Para stakeholder menggunakan prinsip 3-H, yakni Heart, Head, dan Hand, dalam komunikasi interpersonal dengan napi terorisme.

Soft approach menyasar tiga aspek kontra-terorisme. Pertama, pencegahan. Ini bergerak di ranah pendidikan, sosial, dan ekonomi. Stakeholders bekerja sama dengan lembaga pendidikan, pemimpin agama, dan komunitas masyarakat untuk mempromosikan paham agama, nilai-nilai kebangsaan, dan pluralitas. Pencegahan dimaksud mencakup pemberdayaan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan penciptaan lapangan kerja bagi eks-teroris, untuk mencegah mereka kembali terjebak terorisme.

Kedua, deradikalisasi. Soft approach juga mencakup program deradikalisasi. Tujuannya, mengubah pemikiran keberislaman para teroris, terutama yang mendekam di penjara. Deradikalisasi melibatkan konseling, pendidikan, dan pelatihan untuk membantu eks-teroris meninggalkan pemikiran ekstrem mereka. Program deradikalisasi juga mencakup reintegrasi sosial bagi eks-teroris, dan di sinilah prinsip 3-H di atas memainkan perannya. Teroris didekati secara emosional.

Ketiga, rehabilitasi. Soft approach juga memberikan perhatian serius terhadap rehabilitasi eks-napi terorisme. Ia melibatkan pendidikan, pelatihan keterampilan, bimbingan, dan dukungan psikososial. Semuanya diproyeksikan untuk membantu mereka mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat secara positif dan berkontribusi sebagai warga negara yang baik. BNPT, misalnya, memiliki Kawasan Terpadu Nusantara (KTN), sebagai wujud dari program jangka panjang rehabilitasi eks-teroris.

Efektivitas soft approach dalam kontra-teror terlihat dari beberapa hasil yang dicapai. Pada Rabu (5/7) siang, BNPT merilis terjadinya penurunan signifikan aktivitas terorisme di Indonesia. Ia juga telah mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk mengonter terorisme. Melalui kolaborasi dengan komunitas, pemimpin agama, dan masyarakat sipil, jaringan yang kuat untuk memerangi terorisme berhasil terbentuk. Singkatnya, soft approach kontra-teror telah sukses.

Kendati demikian, tantangan kontra-terorisme masih tetap ada. Upaya pencegahan dan deradikalisasi butuh pendekatan berkelanjutan, peningkatan sumber daya, dan kerja sama pelbagai elemen: pemerintah dan masyarakat. Yang terkini, tantangan soft approach ialah melawan soft approach itu sendiri. Artinya, soft approach kontra-teror kini ada tandingannya, yaitu soft approach teroris itu sendiri. Mereka juga menggunakan cara-cara halus untuk menjerumuskan masyarakat ke dalam terorisme.

BACA JUGA  Napi Narkotika dalam Jeratan Terorisme

Soft approach teroris sebenarnya secara implisit telah disinggung oleh BNPT kemarin. Kepala BNPT RI, Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel mengatakan,

“Saya sampaikan temuan kami, bahwa sel-sel di bawah ini ada pola pendekatan dan strategi yang perlu kita antisipasi. Terjadinya perubahan pola serangan terorisme dari hard menjadi soft, tidak menggunakan serangan terbuka tetapi menggunakan serangan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat mendekati anak-anak dan sekolah-sekolah, pondok-pondok dan medsos.”

Pesan tersiratnya ialah bahwa radikalisasi di Indonesia kini tidak frontal seperti dulu. Para teroris menyebarkan ajaran mereka secara halus, memakai pendekatan soft approach, hingga target tidak menyadari bahwa mereka tengah diseret untuk jadi teroris. Tidak hanya teroris, para radikalis pegiat khilafah juga menggunakan soft approach tersebut. Kini, bersamaan dengan suksesnya soft approach kontra-teror, soft approach teroris juga tak kalah efektif.

Yang terjadi selanjutnya ialah adu kuat. Keduanya tarik menarik ke arah berlawanan, seperti lomba tarik tambang. Siapa yang akan menang dalam pertarungan soft approach kontra-teror melawan soft approach teroris? Yang pertama bergerak untuk menyembuhkan teroris, sementara yang kedua justru bergerak untuk menciptakan teroris. Caranya sama-sama soft dan mudah diterima. Namun hasilnya kontradiktif. Yang satu dapat membangun Indonesia, yang satu lagi menghancurkannya.

Lalu apa solusinya? Ini menarik. Ada satu fakta yang tak dapat disangkal bahwa teroris memiliki sesuatu yang tak dimiliki lawan mereka, yaitu militansi. Mereka memang menggunakan segala cara untuk mendapat uang dan menjalankan kelompoknya, namun mereka tidak melakukan itu demi uang belaka. Bagi mereka, uang hanya alat. Namun bagi pelaku kontra-teror? Ternyata tidak semilitan itu. Gerakan mereka karena ada program, dan program itu ada anggarannya. Tanpa anggaran, ia akan mandek.

Karena itu, perang antara soft approach kontra-teror melawan soft approach teroris membutuhkan jurus baru. Para stakeholders, seperti Densus 88, BNPT RI, dan BIN, perlu membangun militansi ideologi Pancasila. Alhasil, seluruh program dijalankan demi menjaga Pancasila dan Indonesia. Tidak ada modus proyek, tidak ada ada niat mencari keuntungan. Pemerintah tengah mempertaruhkan soft approach; apakah ia akan masih jadi jurus kontra-teror atau justru teroris sendirilah pemenangnya. Bertindaklah!

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru