27.8 C
Jakarta

Menangkal Radikalisme dengan Mengamalkan Pancasila

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenangkal Radikalisme dengan Mengamalkan Pancasila
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Teror dan kekerasan kerap kali terjadi dengan mengatasnamakan agama. Agama seolah dijadikan tameng untuk membenarkan segala bentuk kebiadaban. Doktrin jihad untuk perjuangan ditafsirkan semaunya sendiri. Tafsir tunggal terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tanpa didasari ilmu dan guru yang sanad dan kapasitas keilmuannya tidak diragukan lagi.

Pantas saja, jihadis-jihadis yang tersebut seolah tak memiliki hati untuk menghalakkan darah sesama muslim.Menutup mata atas kekacauan dan kehancuran yang terpampang jelas di depan pelupuk matanya. Akalnya sudah teracuni virus radikalisme. Bisa jadi hati nuraninya menolak atas aksi brutalnya tersebut.

Namun apalah daya, ilusi surga dan bidadari yang menunggu para teroris tersebut mungkin jauh lebih didambakannya. Nyawa manusia tidak lagi berharga bagi kaum yang dalam otaknya hanya ada tafsir tunggal atas kebenaran. Apalagi sebelumnya belajar agamanya tidak jelas kepada siapa. Dikiranya tafsir atas kebenaran hanya berdasarkan logika atau rasionalitasnya.

Di era gempuran informasi yang kian membeludak, kita dihadapkan pada suatu peluang dan sekaligus tantangan. Yaitu bagaimana semestinya memilah dan memilih informasi yang kredibel dan bermanfaat bagi kehidupan kita. Kita dituntut untuk bisa menyaring mana informasi ‘sampah’ dan mana informasi yang ‘bergizi’.

Begitu pula dengan bibit-bibit radikalisme yang saat ini bisa dengan mudahnya diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan di manapun. Lebih-lebih kaum muda yang menjadi pengguna aktif dan terbanyak internet. Mesti bisa cerdas untuk menyerap dan mengelola beragam informasi yang masuk ke alam pikirannya. Apalagi kaum muda menjadi sasaran strategis untuk didoktrin paham radikalisme sebab mereka masih dalam proses pencarian jati diri.

Seperti diketahui, radikalisme merupakan sikap atau tindakan yang mengatasnamakan  agama yang tidak sejalan dengan dasar atau prinsip dasar kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan terbuka terhadap sesama warga yang majemuk yang terjamin keberadaannya oleh konstitusi, atau yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan.

Selain itu, dalam persepektif ilmu kewarganegaraan, radikalisme menjadi persoalan dalam demokrasi karena radikalisme memiliki paham dan nilai-nilai yang tidak berlandaskan pada nilai demokrasi dan nilai-nilai yang ada dalam kewarganegaraan.

Menurut Irfan, Direktur Peace Generation, dalam diskusi yang dilaksanakan Komnas HAM menyebutkan bahwa ada beberapa narasi dalam perekrutan kelompok-kelompok radikal yang harus dipahami oleh guru dan siswa. Pertama, narasi politik. Ketika anak-anak merasakan ketidakadilan, mereka akan langsung terpanggil untuk jihad.

Kedua, narasi historis. Pendidikan sejarah itu bisa saja bukan membangkitkan wisdom, tetapi justru membangkitkan dendam. Ketiga, narasi psikologis, atau mengglorifikasikan tokoh-tokoh kekerasan menjadi pahlawan. Keempat, narasi instrumental atau menganggap kekerasan itu sebagai solusi memecahkan masalah. Kelima, narasi keagamaan atau menggunakan ayat-ayat untuk merekrut anggota baru kelompok (Rizal et al., 2022).

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Bibit-bibit radikalisme mesti dibasmi sesegera mungkin. Sebab radikalisme akan menjadi ancaman nyata yang sangat potensial untuk membuat warga tercerai berai. Bahkan, perselisihan, permusuhan, dan pertikaian bisa saja terjadi sewaktu-waktu jika bibit-bibit tersebut kita biarkan.

Upaya antisipasi sedini mungkin harus segera dilakukan Terutama oleh pemerintah selaku pemegang mandat yang bertanggung jawab menciptakan kedamaian dan kerukunanan sesamma warga. Kita berhak untuk hidup tenang dari ancaman aksi-aksi terror yang bermula dari paham radikalisme.

Salah satu upaya untuk menangkal radikalisme yaitu dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Sebagian dari kita mungkin hanya hafal di luar kepala kelima sila tersebut tanpa berupaya untuk lebih memahami apa nilai-nilai yang terkandung. Apalagi berupaya untuk mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pancasila bukan sekadar ideologi bangsa dan dasar negara. Lebih dari itu merupakan pedoman hidup bagi segenap warga Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Biasanya, terorisme terjadi sebab kurang memahami Pancasila sebagai jati diri bangsa dan landasan hidup. Padahal di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi acuan utama kita dalam mengarungi kehidupan.

Seperti halnya sila pertama yang berbunnyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Jika kita gali lagi, sebagai warga Indoensia kita mengakui bahwa Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan Tuhan. Seperti halnya umat Islam yang meyakini Allah sebagai Sang Maha Kreator alam semesta dan seisinya.

Lantas apa ada hubungannya dengan upaya penangkalan radikalisme? Tentu saja ada. Karena  dengan memahami bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda, kita bisa lebih bersikap toleran terhadap orang lain. Sebab perbedaaan adalah fitrah dan sekaligus anugerah bagi kita semua. Dengan begitu, kita bisa lebih moderat dalam beragama. Tidak jumud dan ekstrem sehingga gampang membenci dan memusuhi.

Selain itu, untuk pengamalan sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, berarti kita mesti berupaya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sadar betul bahwa kita berkewajiban untuk menghargai dan menghormati harkat dan martabat manusia lainnya. Penerapan sila kedua tersebut juga bisa dengan cara menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Berupaya untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis penuh keadaban dan keadilan. Sehingga antarsesama bisa hidup saling bergandengan penuh dengan kedamaian. Hal ini bisa menjadi salah satu upaya untuk menangkal bibit-bibit radikalisme yang sewaktu-waktu mengancam kerukunan masyarakat.

Kiranya dua sila itu yang bisa saya sedikit jabarkan untuk mencegah terjadinya aksi-aksi teror. Hal itu juga menjadi antispasi kita bersama sebelum radikalisme mengakar dan menyebar di negeri tercinta ini. Ibarat kata pepatah, “Sedia payung sebelum hujan”.

Muhammad Aufal Fresky
Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku. Mahasiswa prodi magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya Malang.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru