26.6 C
Jakarta

Menanam Kesalehan Sosio-Kultural untuk Resistensi Ideologi Kebencian

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenanam Kesalehan Sosio-Kultural untuk Resistensi Ideologi Kebencian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Syawal ialah bulah kegembiraan bagi umat Islam. Bagaimana tidak? Di bulan ini, umat Islam bersuka-cita merayakan Idul Fitri dengan segenap rangkaian tradisinya. Mulai dari mudik, silaturahmi, halal bi halal, ziarah kubur, berbagi THR lebaran, kumpul keluarga, reuni dan sebagainya.

Syawal telah menjadi bulan festival sosial dan keagamaan. Di dalamnya tergambarkan bagaimana watak seorang muslim yang komunal, dalam artian selalu terhubung dengan asal-usulnya dan terkoneksi dengan lingkungan sekitarnya.

Di momen lebaran, nyaris semua pintu rumah umat Islam terbuka lebar. Siap menerima tamu, baik keluarga dekat, saudara jauh, rekan, sejawat dan handai-taulan yang barangkali telah berpuluh tahun tidak bersua. Meja-meja selalu penuh dengan kudapan. Senyum tuan rumah pun terkembang lebar saban kali menerima kunjungan. Sungguh indah pemandangan di bulan Syawal. Maka, relevan kiranya menyebut bulan Syawal sebagai bulan kegembiraan.

Di satu sisi, Syawal ialah bulan dimana umat Islam mengekspresikan kesalehan kulturalnya. Seperti kita tahu, Islam tidak hanya kental dengan nuansa spiritual, namun juga identik dengan dimensi sosial-kulturalnya. Islam sebagai agama yang inklusif dikenal mampu beradaptasi dengan ekosistem sosial dan budaya masyarakat.

Islam juga mengajarkan bahwa ketauhidan tidak semata diwujudkan dengan kesalehan spiritual (hablum minallah). Namun, juga diekspresikan dalam kesalehan sosio-kultural (hablum minannas).

Bulan syawal ialah momen paling tepat untuk umat Islam mengintensifkan dan mengekspresikan kesalehan sosio-kulturalnya. Di bulan Syawal, kita bisa mempererat tali silaturahmi, atau menyambung kembali relasi persaudaraan yang sempat merenggang bahkan putus karena berbagai konflik kepentingan. Bulan Syawal ialah momen tepat untuk melebur segala ego pribadi, individualisme dan nalar pragmatisme.

Di dalam Islam, kesalehan sosio-kultural ini sama pentingnya dengan kesalehan spiritual. Islam mengajarkan bahwa penghambaan pada Allah yang mewujud pada pelaksanaan ibadah mahdhah (sholat, puasa, zakat, dan haji) tidak akan bermakna apa-apa tanpa didukung oleh komitmen sosial yang kuat. Bahkan, pada titik tertentu ibadah-ibadah mahdhah itu bertujuan untuk menguatkan komitmen sosial.

BACA JUGA  Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Sholat misalnya, bertujuan untuk menghindarkan manusia dari bertindak zali pada sesame. Puasa mengajarkan nilai simpati dan empati. Zakat erat kaitannya dengan agenda pemberdayaan sosial. Sedangkan haji mengandung makna kebersamaan dan inklusivisme. Ringkas kata, dimensi hablum minallah dan hablum minannas merupakan satu kesatuan tunggal yang tidak bisa dipisahkan.

Menumbuhkan Kesalehan Sosio-Kultural, Melawan Ideologi Kebencian

Di sisi lain, bulan syawal juga menjadi momentum umat untuk melakukan resistensi (penolakan dan perlawanan) terhadap ideologi kebencian. Ideologi kebencian ialah paham yang mengajak manusia bersikap curiga dan benci pada individu atau kelompok lain yang berbeda identitas dan pandangan hidup.

Ideologi kebencian merupakan patologi (penyakit) sosial yang menggerogoti relasi sosial-kemasyarakatan dan jika ditoleransi akan menimbulkan perpecahan bahkan konflik.

Resistensi ideologi kebencian tidak selalu harus dilakukan dengan mengedepankan pendekatan hukum. Di titik tertentu, pendekatan kebudayaan yang berbasis pada kearifan lokal justru kerap kali lebih efektif dalam mendegah diseminasi ideologi kebencian.

Dalam konteks inilah, ritual atau tradisi bulan Syawal seperti silaturahmi, halal bi halal, dan sebagainya kiranya bisa menjadi satu mekanisme sosio-kultural untuk mencegah dan melawan ideologi kebencian.

Bulan Syawal telah menjadi semacam melting-point alias tempat meleburnya berbagai identitas, kepentingan, dan strata sosial dalam satu titik. Seperti dalam filosofi Jawa, Idul Fitri identik dengan empat hal penting, yakni lebaran, leburan, laburan, dan luberan.

Lebaran dalam artian kita sudah selesai menjalani bulan suci Ramadan. Leburan bermakna bahwa seluruh dosa umat Islam sudah dilebur dan kembali suci seiring datangnya Idul Fitri.

Luberan berarti bahwa Idul Fitri membawa limpahan maaf dan ampunan baik dari Allah kepada manusia maupun dari manusia kepada sesamanya. Sedangkan laburan bermakna penyucian diri baik lahir maupun batin dari segala dosa vertikal (kepada Allah) maupun dosa sosial (kepada sesama manusia).

Akhiran, mari kita manfaatkan sisa-sisa hari di bulan Syawal ini semaksimal mungkin untuk menumbuhkan kesalehan sosio-kultural dan melawan ideologi kebencian.

Siti Nurul Hidayah
Siti Nurul Hidayah
Peneliti pada “Center for the Study of Society and Transformation”, alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru