27.8 C
Jakarta

Meminimalisir Kesalahan Tafsir Tentang Jihad

Artikel Trending

Milenial IslamMeminimalisir Kesalahan Tafsir Tentang Jihad
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Makna jihad masih problematik. Tak jarang term jihad dijadikan gerakan kekerasan atas nama agama dan Tuhan. Kekerasan demi kekerasan mengacu ke pikiran, fisik dan wacana yang disakralkan.

Penafsiran Tekstual

Di bagian kecil kelompok muslim Indonesia, Jihad diartikan sebagai pekerjaan untuk meninggikan kalimat Allah dan mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Karena arti itu, meninggalkan jihad di sini secara umum dimaknai tidak lagi berpegang pada ketentuan agama atau meninggalkan dakwah.

Aktivis khilafah menganggap bahwa meninggalkan jihad bentuk dari kelalaian dalam beragama. Karenanya, katanya, banyak orang merasa terhina dan hidup dalam keharaman, kesengsaraan, karena meninggalkan jihad. Baginya jihad adalah hierarki dari segala hierarki.

Dari situ, Aksin Wijaya dalam buku Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia: Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan melihat latar belakang ayat-ayat jihad ditafsir dengan tekstual. Ayat jihad dipahami sebagai tindakan kekerasan. Jihad diartikan perang melawan musuh Islam. Sehingga kekerasan terhadap semua yang dianggap musuh Islam, merupakan perbuatan jihad yang mulia. Akibatnya, kata jihad menjadi sesuatu yang mengerikan dan mengakibatkan Islam tertuduh teroris.

Jihad sering dimaknai sebagai perjuangan fisik, antara lain diakibatkan oleh terjemahan yang kurang tepat atas ayat Quran yang berbicara jihad dengan anfus. Kata anfus sering diterjemahkan sebagai jiwa (nyawa) yang kemudian dikesankan sebagai pengorbanan nyawa (fisik).

Keluasan Makna Jihad

Padahal, jihad tidak bisa diidentikkan dengan perang (fisik). Perang selalu merujuk kepada pertahanan diri dan perlawanan yang bersifat fisik, sementara jihad memiliki makna yang kompleks.

Keluasan makna jihad telihat di beberapa ayat-ayat Quran. Sebagaimana Asma Asfaruddin dalam buku Tafsir Dekontruksi Jihad & Syahid (2018), jihad yang terdapat dalam Qur’an adalah perjuangan untuk mewujudkan as-salam, as-salamah, al-salah, dan al-ihsan, yakni perjuangan untuk mewujudkan perdamaian dan perbaikan kualitas hidup sesuai ajaran Al-Quran.

BACA JUGA  Menutup Ramadan dengan Spirit Wasatiah Islam

Dengan kata lain, jihad adalah kesungguhan hati untuk mengerahkan segala kemampuan untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pada tataran ini, pengabdian (ibadah) yang tulus dan penuh kesungguhan serta hubungan sesama manusia yang dilandasi kejujuran keluhuran, dan ketulusan adalah bagian dari jihad.

Jihad untuk mewujudkan itu semua disebut jihad fi sabilillah (perjuangan di jalan Allah).

Jihad Fi Sabilillah

Jadi jihad fi sabilillah bukan untuk membela Tuhan, karena tidak ada dalil atau argumen apa pun yang mendukung bahwa agama dan Tuhan perlu dibela, dan demi membela agama dan Tuhan, harus menghancurkan manusia lian yang tidak sepaham, apalagi manusia yang masih se-Iman dan se-Islam.

Tuhan yang Maha Kuasa tidak membutuhkan pembelaan manusia. Justru tuhan hadir dengan mengirimkan agama dan Nabi untuk membela kemanusiaan manusia. Jihad bukan untuk membela Tuhan, melainkan untuk membela kemanusiaan manusia (Aksin Wijaya (2017).

Dengan demikian, sejatinya kita ubah jihad fisabillah yang menebar teror ke jihad fisabillah yang menebar kedamaian dan ketentraman. Dengan kata lain, berjihad mengubah keislaman kita, dari nalar Islam teosentris (serba melegalkan kekerasan atas nama Tuhan) ke nalar antroposentris (serba menolak kekerasan dan menawarkan kedamaian atas kemanusian).

Jika demikian bisa dilakukan, maka potongan-potongan tafsir jihad tidak akan berdampak pada kesalahan memahami agama dan jihad. Selanjutnya, umat Islam tidak akan tersesat pada jalan yang sesungguhnya.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru