29.2 C
Jakarta

Menutup Ramadan dengan Spirit Wasatiah Islam

Artikel Trending

Milenial IslamMenutup Ramadan dengan Spirit Wasatiah Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tidak terasa, Ramadan akan segera berlalu. Idulfitri sudah di depan mata. Sebulan terakhir, umat Islam telah memaksimalkan perannya sebagai hamba, mengoptimalisasi bulan penuh berkah, hingga menjemput malam lailatulqadar. Seiring dengan banyaknya pahala yang telah dilakukan, keberislamannya semakin baik—dalam arti ketaatan dan ketakwaan yang bertambah. Lalu, bagaimana semestinya Ramadan ditutup?

Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, bahwa sepuluh hari pertama Ramadan merupakan rahmat, sepuluh haris kedua adalah maghfirah, dan sepuluh hari terakhir merupakan momentum ‘itq min al-nar, pembebasan dari api neraka. Riwayat tersebut menarik jika diselisik lebih jauh dan dibaca dalam konteks moderasi (wasathiyah). Sebab, wasatiah merupakan esensi keberislaman.

Spirit moderasi adalah keberimbangan antara aspek vertikal (habl min Allah) dan horizontal (habl min al-nas). Selama Ramadan, hubungan dengan Allah sudah tercipta—tentu saja ini bagi yang memanfaatkan Ramadan dan mendapat berkah lailatulqadar. Karenanya, untuk mengakhiri Ramadan, hubungan dengan sesama manusia juga mesti diperbaiki. Menjadi Muslim moderat adalah langkah yang paling niscaya.

Menutup bulan puasa dengan spirit wasatiah dapat dipahami juga sebagai titik tolak menghindari ekstremisme keberislaman. Sebab, dalam baiknya habl min Allah dan habl min al-nas, ideologi ekstrem tidak menemukan tempat. Spirit moderasi dengan demikian dapat dibaca sebagai upaya menghindari paham ekstrem dan sejenisnya, yakni mengembalikan keberislaman ke dalam fitrahnya—yang imanen dan sakral.

Kembali ke Fitrah Berislam

Bersamaan dengan semaraknya paham-paham keislaman yang keras, sering kali ada perasaan teralienasi dari esensi dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan sebagai umat Islam. Ideologi non-moderat mengaburkan pandangan terhadap fitrah berislam yang sejati. Namun Ramadan seolah menjadi panggilan yang menyadarkan untuk kembali kepada akar kebenaran, kembali kepada fitrah berislam yang murni.

Kembali ke fitrah berislam tidak sekedar merujuk pada praktik-praktik ibadah yang rutin, melainkan pemahaman mendalam ihwal ajaran Islam dan implementasi moral dalam kehidupan sehari-hari. Fitrah berislam mengajarkan hidup saling menghormati dan mencintai sesama makhluk—apa pun agamanya. Ini adalah panggilan untuk menjauhkan diri dari dogma ekstremisme dan mempererat habl min Allah dan habl min al-nas.

Dalam konteks hari ini, kembali ke fitrah berislam juga berarti memperkuat identitas keislaman sebagai landasan kokoh menghadapi berbagai tantangan hidup. Identitas keislaman yang kuat menjadi pembimbing dalam mengambil keputusan yang tepat dan bertindak sesuai dengan ajaran, tanpa terpengaruh arus indoktrinasi, misalnya. Bagaimanapun, godaan untuk menjadi radikal-ekstrem tidak bisa disepelekan.

BACA JUGA  Di Tengah Gusarnya Politik, Ada Teroris Bermain Pendanaan dan Intrik

Jadi, mari renungkan kembali esensi dari keislaman masing-masing dan berusaha untuk kembali ke fitrah yang sejati. Mari tinggalkan segala bentuk mindset ekstremisme, lalu mengambil langkah-langkah konkret menuju wasatiah. Kembali ke fitrah berislam bukanlah tawaran yang klise, tapi panggilan mendesak bagi setiap Muslim untuk menemukan kedamaian dalam agama yang mulia ini—tanpa gangguan radikalis-ekstremis.

Pesan untuk Kaum Radikal

Berakhirnya Ramadan dan tibanya Idulfitri dipenuhi dengan aroma ketulusan dan keberkahan, baik masyarakat desa maupun urban. Maka, mari bersama-sama merenungkan esensi sejati dari perayaannya. Idulfitri, selain menjadi momen kemenangan setelah bulan penuh penahanan diri, juga menjadi ajang untuk meneguhkan nilai-nilai kebaikan, cinta, dan perdamaian yang menjadi inti ajaran Islam: wasatiah.

Namun, di balik spirit tersebut, kita tidak bisa menutup mata terhadap ancaman radikal-ekstremisme yang terus mengintai. Para ekstremis bahkan boleh jadi memanfaatkan momentum ini untuk menyebarkan pesan kebencian dan memecah-belah persatuan umat. Karena itu, pasca-Ramadan, mari jadikan Idulfitri sebagai panggilan untuk melawan radikalisme dan ekstremisme.

Kepada para radikal, tobatlah dan tebarkan pesan perdamaian dan toleransi. Idulfitri adalah momen untuk merenungkan kembali jalan hidup yang dipilih. Mari tinggalkan segala bentuk kebencian dan kekerasan, lalu bersama-sama merangkul kebaikan dan kasih sayang dalam bingkai wasatiah. Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian, bukan kebencian dan permusuhan—apalagi aksi teror yang mencederai kemanusiaan.

Saat berkumpul bersama keluarga dan kerabat, berbagilah pesan kebaikan dan moderasi kepada orang-orang sekitar. Ajaklah mereka untuk menemukan kerahmatan Islam sebagai agama yang hak, yang menghargai pluralitas dan menghormati hak-hak asasi. Lawanlah radikal-ekstremisme dan bangun masyarakat yang harmonis. Kaum radikal mesti menyudahi kebiasaannya menyalahkan pihak-pihak yang berbeda. Keragaman adalah sunnatullah.

Mari tutup Ramadan dengan spirit wasatiah tersebut. Dalam suasana menjelang Idulfitri yang penuh berkah, umat Islam mesti bersatu memperkuat nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Kembali ke fitrah Islam: wasatiah, itu perlu jadi komitmen untuk melawan radikal-ekstremisme, menebar keberkahan bagi sesama. Jika tidak, maka Ramadan seolah tidak ada artinya karena radikal-ekstremisme menjauhkan seseorang dari ampunan-Nya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru