31.5 C
Jakarta

Membangun Lembaga Pendidikan Ideal Berkultur Moderasi

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMembangun Lembaga Pendidikan Ideal Berkultur Moderasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Pesantren Gen-Z: Re-Aksentuasi Nilai Moderasi Beragama Pada Lingkungan Pendidikan, Penulis: Baehaqi, Penerbit: Deepublish, Tahun Cetak: Cetakan I, Januari 2022, Tebal: 195 halaman, ISBN: 978-623-02-4036-2, Peresensi: Muhammad Muzadi Rizki.

Harakatuna.com – Pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Secara spesifik, sebagaimana dijelaskan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pengadaan pendidikan nasional dimaksudkan agar anak bangsa tidak hanya menjadi pribadi berilmu, tetapi juga memiliki karakter dan sikap yang luhur senafas dengan falsafah negara, Pancasila. Begitulah amanat konstitusi yang termaktub dengan sangat jelas.

Namun ironi. Orientasi Pendidikan di tataran praksis masih terjadi inkonsisten. Lembaga pendidikan tampak belum menunjukkan komitmen kepatuhan dalam mendulang pelajar Pancasila.

Alih-alih steril, tren radikalisme dikalangan pelajar justru semakin mengecambah. Lembaga-lembaga seperti CISForm, Setara Institute, BNPT, Wahid Foundation hingga PPIM telah membuktikan dari hasil risetnya. Mereka saling mengafirmasi bahwa, penetrasi ideologi ekstrim-radikal di dunia pendidikan tengah mengalami eskalasi.

Bahkan, di lembaga pendidikan tertentu terdapati mengimplementasikan kegiatan yang bermuatan eksklusif, intoleran, radikal. Radikalisme di lembaga pendidikan bukan lagi sekadar asumsi. Para pengasong gerakan radikal sukses menyelinap menebar pahamnya, melakukan indoktrinasi pada anak didik.

Peserta didik–mahasiswa menjadi target dan sasaran utama kaderisasi. Mereka dipandang sebagai aset potensial untuk digarap para makelar ideologi transnasional. Sebab merekalah yang kelak meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa.

Buku berjudul Pesantren Gen-Z: Re-Aksentuasi Nilai Moderasi Beragama Pada Lembaga Pendidikan ini hadir mengupas problematika gerakan ekstrem-radikal di dunia pendidikan yang kian menyeruak.

Secara garis besar, scope pembahasan buku terbitan deepublish berupaya memproteksi dunia (lembaga) pendidikan dari gelombang ekstremis-radikalis. Gagasan reformasi penulis menawarkan sebuah konsep pemugaran lingkungan pendidikan ke arah nuansa moderasi.

Ada dua lembaga pendidikan yang menjadi konsen dalam buku ini yaitu, lingkungan Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah; SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK) dan lingkungan Dikti (Pendidikan Tinggi; PTU dan PTKI). Penulis, secara khusus, tidak memasukan pesantren kedalam daftar yang dipugar.

Sebab baginya, pesantren adalah lembaga yang telah teruji dengan baik. Genealogi atau garis silsilah pesantren tidak dibentuk oleh aktor-aktor ekstremisme-radikalisme. Jamak diketahui pula, produk pesantren telah melahirkan generasi moderat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan (hlm 40).

Pertama, lingkungan Dikdasmen. Hal utama yang ditawarkan buku ini dalam menciptakan budaya moderat yakni, maksimalisasi melalui hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) (hlm 61).

Kurikulum tersembunyi, dari berbagai penelitian, terbukti sangat efektif mempengaruhi perilaku, pengalaman, dan pengetahuan peserta didik. Kurikulum tersembunyi dalam konteks ini maksudnya membentuk peserta didik secara tidak sadar agar memiliki sikap moderat, toleran dan inklusif.

Dalam hal pergaulan, peserta didik diintensifkan untuk berbaur dengan siapa saja tanpa memandang status tertentu. Ketika ada kegiatan sekolah yang sifatnya berkelompok, mereka dibentuk secara heterogen.

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Tujuannya supaya saling mengenal, dan terbiasa akan perbedaan. Kemudian, bila berlangsung pemilihan ketua osis, peserta didik dilatih bersikap adil dan demokratis. Kecenderungan memilih kandidat tidak boleh berlatar identitas perorangan, tetapi atas dasar orasi gagasan.

Tak kalah penting, setiap guru, terlebih guru Agama, juga harus memiliki integritas dalam penguatan moderasi beragama (hlm 70). Tindak laku yang dikedepankan setiap guru menampilkan role model bagi peserta didiknya.

Keteladanan, tingkah laku, dan ucapan merupakan suatu hal mutlak dalam menstimulus pembentukan kepribadian peserta didik yang toleran dan inklusif. Mustahil mencetak generasi moderat, bila guru itu sendiri mencerminkan sikap intoleran terhadap selainnya.

Pada saat proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), guru bisa menekankan pada empat pilar pendidikan yaitu, learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk terampil melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama) (hlm 76). Penekanan tersebut supaya guru sadar bahwa, orientasi pembelajaran disamping transmisi keilmuan, juga melatih kesiapan peserta didik hidup di tengah pluralitas yang ada.

Kedua, lingkungan Dikti. Merujuk UU No 12 Tahun 2012 Pasal 35 ayat 2, institusi Dikti berbeda dengan jenjang Dikdasmen, Dikti diberi wewenang lebih luas dalam merumus kurikulumnya. Karena itu, Dikti dapat membuat mata kuliah tersendiri bertajuk mata kuliah ‘moderasi beragama’ (hlm 88).

Mata kuliah moderasi ini begitu penting. Sebab hal tersebut memantik term ‘moderasi’ masif diperbincangkan. Implikasinya, tiap-tiap mahasiswa jadi lebih paham akan pentingnya berperilaku moderat.

Kemudian di setiap mata kuliah, dosen tidak boleh lagi ada yang otoriter, ia harus open minded (berpikiran terbuka). Proses perkuliahan didalamnya melibatkan penyemaian pengetahuan metakognitif. Yakni, sebuah perkuliahan yang mengolah kemampuan dan kesadaran dalam berpikir. Inti dari pengetahuan ini sejatinya mendasar pada semangat multi literacy (hlm 103). Dari bekal literasi inilah, mahasiswa memiliki nalar jernih dengan khazanah pengetahuan luas.

Sementara itu di luar perkuliahan, kampus harus pula terlibat aktif dalam pengawasan. Ia tidak boleh abai melakukan profiling secara berkala terhadap segala Organisasi Kemahasiswaan.

Kampus dapat menggandeng seluruh komponen organisasi kemahasiswaan, intra maupun ekstra, untuk komitmen bersama alias deklarasi anti-radikalisme. Selanjutnya tiap-tiap organisasi diberi asupan tentang wawasan kebangsaan hingga keberagamaan melalui program diklat atau semacamnya.

Buku karya Baehaqi ini menampilkan kajian secara lugas, logis dan komprehensif. Meski masih terdapat kekurangan disatu sisi, akan tetapi itu semua tidak mengurangi isi substansi. Keistimewaannya setiap tulisan diperkuat dengan taburan teori para ahli dan merujuk jurnal bereputasi. Maka dari itu tak perlu ragu. Buku ini sangat cocok sebagai referensi para praktisi pendidikan yang ingin menciptakan budaya moderasi di lingkungan pendidikannya.

Muhammad Muzadi Rizki
Muhammad Muzadi Rizki
Senang berliterasi, membahas persoalan moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru