29.5 C
Jakarta

Memahami Perempuan sebagai Khalifah yang Disalahpahami

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMemahami Perempuan sebagai Khalifah yang Disalahpahami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Perempuan dan Al-Qur’an: Membincang Wanita dalam Terang Kitabullah, Penulis: Dr. Ahsin Sakho Muhammad, Penerbit: Penerbit Qaf, Cetakan: Ke-1, Agustus 2019, Tebal: 205 halaman, Peresensi: Muhammad Ryan Romadhon.

Harakatuna.com – Menjadi perempuan di zaman kita membutuhkan stamina fisik, mental, dan spiritual. Dalam diri seorang wanita terkumpul multi-identitas; sebagai pribadi, istri, ibu bagi anak-anaknya, dan anggota keluarga lain serta masyarakat.

Belum lagi, kiprah di dunia kerja dan ranah publik. Oleh karena itu, Islam memberikan wawasan tentang jati diri dan peran perempuan serta tuntunan agar mereka berhasil menjalankan peran-peran tersebut.

Buku “Perempuan dan Al-Qur’an” karya KH. Ahsin Sakho ini menyajikan wawasan dan tuntunan al-Qur’an bagi perempuan. Mulai dari bagaimana al-Qur’an memerdekakan dan menghormati perempuan, apa saja karakter, gaya hidup dan keistimewaan perempuan yang diungkapkan oleh al-Qur’an.

Lalu, bagaimana tuntunan al-Qur’an bagi wanita sebagai pemudi, sebagai istri, sebagai ibu dan pendidik generasi baru, serta sebagai pilar peradaban dan khalifah Allah di muka bumi, dan persoalan-persoalan lainnya terkait perempuan serta kitab sucinya. Semua dirangkai secara tematik oleh beliau KH. Ahsin Sakho Muhammad, sang pakar ilmu al-Qur’an dan tafsir, untuk kita.

Perempuan sebagai Khalifah yang Disalahpahami

Salah satu pembahasan menarik dalam buku ini adalah mengenai makna perempuan sebagai khalifah yang sering disalahpahami oleh kebanyakan orang akhir-akhir ini.

Dalam mengawali pembahasannya, beliau memaparkan makna khalifah secara bahasa, yakni berkisar pada sesuatu yang berada di belakang sesuatu yang lain. Oleh karena itu, sebutan “khalifah” untuk Abu Bakar ra. karena datang setelah Nabi Muhammad Saw. dan menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin kaum muslimin. Empat pengganti Nabi juga disebut sebagai khulafa’ al-rasyidin.

Lalu, menurut beliau, konteks makna khalifah dalam al-Qur’an tentang siapa yang digantikan, mengutip para ulama, terbagi menjadi tiga pendapat.

Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia sejak Nabi Adam As. menggantikan makhluk sebelumnya, yaitu makhluk yang berjuluk “al-Bunn” dan “al-Hinn” atau “ath-Thimm” atau “ar-Rimm”.

Kedua makhluk itu telah berbuat kerusakan di bumi sehingga mereka diusir oleh Allah dan dibinasakan. Demikian papar Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh dalam karya tafsir mereka. Jadi menurut pendapat pertama ini, manusia adalah makhluk yang menggantikan mereka yang telah binasa itu.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa manusia dalam kiprahnya di dunia, menggantikan posisi manusia sebelumnya. Inilah yang bisa dipahami dari kata “khalaif fi al-ardh” atau kata “khalaif al-ardh”. Kita mengenal kaum-kaum terdahulu yang menghuni bumi seperti kaum Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud dan lainnya. Mereka yang telah tiada digantikan oleh generasi setelahnya (al-A’raf: 69).

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa manusia menggantikan Allah dalam melaksanakan titah-Nya untuk sekalian makhluk-Nya, manusia dijuluki “khalifatullah” atau pengganti Allah. Hal ini bisa tercermin dari firman Allah Swt,

يدَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَكَ خَلِيْفَةً فِي الْأَرْضِ

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi”.

Agama adalah pesan-pesan Allah Swt. Untuk dilaksanakan di bumi. Manusia diserahi tugas oleh Allah Swt. untuk menyosialisasikan pesan-pesan ini. Istilah “khalifatullah” digunakan juga oleh para sultan di Yogyakarta yang bergelar “khalifatullah”.

Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa tugas manusia sebagai khalifah adalah ketika mereka masih hidup di bumi saja. Setelah hari kiamat, atau setelah manusia meninggal, manusia tidak lagi menjadi khalifah. Tugas-tugas kekhalifahan manusia telah berakhir (hlm. 16-19).

Implementasi Tugas Kekhalifahan

Secara garis besar, tugas-tugas kekhalifahan manusia di dunia ini ada tiga yaitu:

  1. Harmoni dengan Allah Swt.

Manusia harus mengakui bahwa Allah Swt. adalah pencipta mereka dan pencipta alam semesta. Manusia adalah hamba-Nya. Kehidupan manusia sangat bergantung kepada-Nya. Manusia harus memahami bahwa hanya kepada-Nya lah semua makhluk bergantung.

Oleh karena itu, sebagai implementasi dari ketergantungan ini, manusia harus mengabdi kepada-Nya, melaksanakan titah-Nya. Semua pesan keagamaan dalam bidang akidah, syariat, maupun akhlak merupakan tugas kekhalifahan manusia di bumi ini.

  1. Harmoni dengan manusia

Semua manusia adalah makhluk Allah yang harus hidup bersama-sama dalam satu kerukunan dan keharmonisan. Perbedaan agama, keyakinan, ras, bahasa, dan perbedaan-perbedaan lainnya bukanlah faktor terjadinya permusuhan.

  1. Harmoni dengan alam

Sebagai makhluk yang diserahi tugas untuk mengelola alam semesta, manusia diserahi tugas untuk memanfaatkan semua yang ada di alam semesta untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia di bumi ini.

Agar kekayaan alam tidak habis oleh satu generasi, manusia harus betul-betul menjaga alam semesta dengan baik. Manusia tidak boleh merusak alam dalam berbagai macam bentuknya. Merusak alam adalah salah satu bentuk kemungkaran yang harus dicegah (hlm. 29-30).

Kontribusi Buku

Buku ini memberikan jawaban kepada kita bahwa makna khilafah dalam konteks kekhilafahan manusia di bumi, khususnya kaum perempuan, tidak identik dengan pembentukan ‘daulah khilafah’ yang banyak didengungkan akhir-akhir ini.

Selain itu, buku ini juga memberi pengetahuan kepada kita bahwa makna khilafah, khususnya bagi perempuan adalah berupa tugas keagamaan yang telah dituangkan oleh Allah Swt. dalam al-Qur’an dan menjadikannya sebagai nilai-nilai yang hidup dalam pribadi masing-masing umat manusia dan masyarakat.

Muhammad Ryan Romadhon
Muhammad Ryan Romadhon
Mahasantri Ma'had Aly Ponpes Al-Iman Bulus Purworejo Jawa Tengah

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru