32.7 C
Jakarta

Melihat Wacana Khilafah dalam Kacamata Syariat Islam

Artikel Trending

Milenial IslamMelihat Wacana Khilafah dalam Kacamata Syariat Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saudaraku, Muslim Intelektual. Akhir-akhir ini, kita sebagai umat Islam di Indonesia sering berbicara tentang khilafah. Banyak dari kita yang berdebat sesama, bahkan bertengkar sesama, hanya untuk memperebutkan kebenaran tentang khilafah. Saling menyesatkan hingga saling mengafirkan, tidak asing dalam keseharian kita. Hidup kita jadi tidak akur. Kita dipecah-belah sesama umat Muslim. Padahal, kita semua adalah saudara, seperti yang pernah Nabi Saw sabdakan.

Apa itu sebenarnya khilafah? Bagaimana syariat Islam memandangnya? Ini yang ada di benak banyak orang, khususnya umat Muslim. Berbicara tentang syariat, tentu sebagai umat Islam, kita harus memperjuangkannya. Shalat, zakat, dan puasa, misalnya, tidak bisa ditawar. Hukumnya wajib. Akan tetapi, apakah syariat Islam hanya punya satu hukum yakni wajib? Ini sepertinya menarik untuk dibahas. Apakah khilafah hukumnya wajib? Ini lebih menarik lagi.

Di Indonesia, tidak ada larangan shalat, puasa, zakat, dan penerapan syariat lainnya. Negara ini bahkan memiliki lebih dari tiga ratus ribu masjid. Ketika bulan Ramadhan, tadarus Al-Qur’an bergema di mana-mana, dan ketika lebaran, banyak jalan raya bahkan ditutup untuk pelaksanaan shalat ied. Kita pasti belum pernah menemukan maklumat atau undang-undang bahwa suatu kegiatan ibadah dilarang. Presiden kita juga Muslim, wakil presiden kita bahkan ulama besar.

Dengan demikian, rasanya menarik bagi kita untuk menelaah ketika ada wacana bahwa Indonesia adalah negara yang bertentangan dengan syariat Islam. Bagaimana kalau kita kaji bersama, apakah benar Indonesia belum menegakkan syariah. Baiknya kita urutan dari makna khilafah itu sendiri. Apa itu khilafah dan bagaimana hukumnya dalam kacamata syariat Islam. Setelah itu, kita ambil kesimpulan sendiri tentang wacana khilafah yang ada di Indonesia.

Makna Khilafah

Kata khilafah seakar dengan kata khalifah (tunggal) dan khala’if (jamak). Semua derivasi tersebut berasal dari kata dasar khalafa yang artinya menggantikan dan memimpin. Khalifah adalah subjek, khilafah adalah infinitif. Ketika Allah Swt dalam surah Al-Baqarah [2]: 30 berfirman untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, itu artinya Allah menjadikan manusia sebagai pusat semesta. Di antara semua ciptaan Allah; hewan, tumbuhan, dan makrokosmos, manusia adalah pemimpinnya.

Khalifah juga berarti representasi. Ketika Allah berfirman bahwa Dawud diangkat sebagai khalifah, itu artinya Nabi Dawud menjadi representasi-Nya dalam menyampaikan kebenaran kepada segenap manusia. “Maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah,” demikian dalam Shad [38]: 26, yang menunjukkan bahwa khalifah tidak selalu bermakna penguasa politik.

Sementara itu, khilafah adalah pekerjaan/tugas/predikat dari sang khalifah itu sendiri. Ketika khalifah adalah pemimpin, khilafah ada kepemimpinan. Ketika khalifah diartikan raja, khilafah adalah kerajaannya. Dalam konteks ini, khilafah satu makna dengan imarah dan imamah. Kita akan bahas trilogi istilah ini dalam tulisan yang akan datang. Yang perlu kita pahami di sini adalah bahwa khilafah merupakan istilah umum yang mempunyai arti kepemimpinan.

BACA JUGA  Ustaz Felix: Simbol Murtad Massal Aktivis Khilafah Menjelang Pemilu 2024

Lantas, bagaimana syariat memandang khilafah? Perlu kita ingat juga bahwa hukum syariat ada lima, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Kelima hukum tersebut digali menggunakan Ilmu Fikih. Fikih berasal dari bahasa Arab al-fiqh, yang artinya adalah pemahaman—sinonim dengan kata al-fahm. Fikih adalah pemahaman atas syariat sesuai konteks waktu dan tempat. Dalam menafsirkan syariat, Fikih punya empat sumber atau pedoman, yakni Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan qiyas.

Wacana Khilafah

Khilafah, antara makna dengan wacananya, kadang tidak sinkron. Pasti kita sering melihat misalnya bahwa kendati khilafah berarti kepemimpinan secara umum, wacananya tampak menginginkan penerapan satu bentuk pemerintahan tertentu. Apakah dengan demikian Islam merumuskan bentuk kepemimpinan? Jawaban atas pertanyaan ini akan berhasil mengungkap bagaimana syariat Islam memandang khilafah, seiring narasinya yang begitu akrab dengan keseharian kita.

Menelusuri itu, kita bisa menggunakan dua cara. Pertama, menelusuri sumber syariat. Bagaimana Al-Qur’an, hadis, dan ijmak ulama tentang khilafah, menetukan posisi khilafah itu sendiri dalam kacamata syariat. Kedua, menelusuri sejarah. Apakah Nabi pernah mendirikan khilafah dan apakah umat Islam dituntut mendirikan negara Islam akan mendudukkan wacana khilafah ke dalam porsi yang semestinya. Kita, umat Muslim, tidak boleh gegabah mengenai syariat Islam.

Dengan melihat rukun Islam yang lima; syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, jelas khilafah dalam kacamata syariat Islam tidak tergolong perkara wajib. Artinya, sisa hukum syariat yang bisa disematkan kepada khilafah tinggal empat: sunnah, haram, makruh, dan mubah. Sekarang, kita lihat lagi, apakah Nabi pernah bersabda tentang kewajiban negara Islam, atau pernah mencontohkannya di Madinah? Tidak. Maka sisa hukum khilafah hanya tiga: haram, makruh, dan mubah.

Selanjutnya, Islam mengajarkan tentang keadilan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yakni surah Al-Baqarah [2]: 282, Al-Nisa’ [4]: 58, Al-Nahl [16]: 76 dan 90, serta Al-Hujurat [49]: 9. Dalam konteks ini, syariat Islam memandang khilafah atau kepemimpinan mempunyai beberapa kemungkinan hukum: mubah selama tidak bertentangan dengan konsep keadilan, makruh jika keadilan yang diperjuangkannya tidak merata, dan haram jika menentang keadilan itu sendiri.

Lantas, di manakah posisi khilafah yang akrab dengan keseharian kita selama ini? Kalau kita mengamati wacananya, kita akan menemukan beberap istilah mulai dari pengafiran (takfir) hingga pemberontakan (bughat). Seiring bergemanya khilafah, kita jadi suka saling mengafirkan pada sesama Muslim dan kita selalu didorong untuk melakukan makar atau pemberontakan kepada pemimpin. Apakah takfir dan bughat itu memuat prinsip keadilan? Tidak, justru menentangnya.

Maka dengan demikian sangat jelas, khilafah dalam kacamata syariat Islam hukumnya haram mutlak. Jika wacananya terus digemakan, kita berarti menentang hukum syariat. Dan jika kita melanggar syariat dengan melakukan sesuatu yang haram, Allah Swt akan murka. Jika Allah Swt murka dan kita tidak bertaubat, maka kita akan masuk neraka. Kesimpulannya, mewacanakan khilafah tidak lain adalah usaha menaruh diri kita dalam kerak api neraka. Mari kita segera bertaubat kepada-Nya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru