34.3 C
Jakarta

Media Massa dan Perannya terhadap Program Deradikalisasi

Artikel Trending

Milenial IslamMedia Massa dan Perannya terhadap Program Deradikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Deradikalisasi. Istilah ini kerap muncul dalam pemberitaan. Setiap hari, BNPT menggandeng pers untuk memberitakan tentang kegiatan mereka menanggulangi terorisme. Secara logika, harusnya seluruh masyarakat sudah menyadari pentingnya program tersebut. Namun, mengapa pemberitaan terkait deradikalisasi bak lalu lalang saja? Bagaimana media massa memegang peran untuk memasyarakatkan deradikalisasi?

Selama ini, deradikalisasi menjadi tugas eksklusif para stakeholder, seperti BNPT, Densus 88, bahkan MUI. Di dalamnya, eks-napiter jadi mitra mereka untuk menyadarkan para napiter di Lapas, dengan asesmen tertentu hingga yang bersangkutan layak diikutkan ikrar NKRI. Media massa hanya berperan ketika mereka bebas, atau saat mereka mengucapkan sumpah ikrar. Bagaimana deradikalisasi itu berlangsung, khalayak tidak banyak mengetahuinya.

Padahal, opini publik memainkan peran krusial dalam kesuksesan program deradikalisasi. Artinya, semestinya, media massa dilibatkan sejak awal hingga kegiatan, sejak deradikalisasi berlangsung hingga mereka kembali ke NKRI. Apakah itu mungkin? Bisa saja. Transparasi menjadi kunci kepercayaan masyarakat di satu sisi dan napiter di sisi lainnya. Itu juga akan memeprmudah proses ketika mereka terjun ke masyarakat lagi—pulang kampung.

Dengan demikian, media massa dan perannya untuk deradikalisasi tidak dapat diabaikan. Para stakeholder mesti menyadari bahwa selain menyadarakan para teroris di Lapas, program deradikalisasi mesti menciptakan kesadaran masyarakat agar mereka terhindar dari jeratan terorisme. Jangan sampai yang di Lapas sembuh, justru yang di luar Lapas jadi teroris. Itu hanya akan jadi lingkaran setan terorisme.

Deradikalisasi dan Framing

Media massa, sebagai salah satu kekuatan besar dalam membentuk opini publik, memiliki peran krusial dalam mengedukasi masyarakat tentang deradikalisasi. Tiga aspek kunci yang perlu dieksplorasi adalah framing berita terorisme, pemberitaan tentang kegiatan deradikalisasi, dan studi kasus yang mengungkapkan pengaruh media massa dalam situasi nyata—sebagai mitra para stakeholder.

Framing berita terorisme sangat bermanfaat menciptakan point of view tertentu. Pilihan kata, penonjolan aspek tertentu, dan struktur narasi dapat memengaruhi pemahaman masyarakat akan ancaman terorisme, juga langkah yang perlu mereka ambil untuk selamat darinya. Misalnya, apakah berita menekankan aspek keberhasilan atau kegagalan program deradikalisasi, itu akan memengaruhi persepsi masyarakat.

Sebagai contoh, sebuah berita yang memilih judul “Program Deradikalisasi Berhasil Menurunkan Indeks Terorisme” akan memberikan framing positif daripada judul “Program Deradikalisasi Gagal Mencegah Serangan Teror”. Dalam pemberitaan deradikalisasi, framing negatif justru akan semakin meningkatan apatisme masyarakat terhadap terorisme dan segala isu tentangnya.

BACA JUGA  Menutup Ramadan dengan Spirit Wasatiah Islam

Selain itu, studi kasus mendalam tentang pengaruh media massa, dalam kejadian tertentu, memberikan wawasan yang lebih jelas tentang peran mereka. Bagaimana media melaporkan perkembangan suatu kasus terorisme, juga bagaimana hal itu memengaruhi pandangan masyarakat, mesti dianalisis secara spesifik. Contoh, bagaimana pemberitaan tentang aksi teror memengaruhi sikap masyarakat terhadap deradikalisasi.

Upaya Pembenahan

Media massa, sebagai arsitek utama dalam membentuk pandangan masyarakat, juga punya tantangan dan kontroversi dalam melaporkan isu deradikalisasi. Sebagian besar tantangan melibatkan kesenjangan antara sensasionalisme dan pendekatan edukatif, kritik terhadap perlakuan media terhadap deradikalisasi, juga upaya untuk meningkatkan kualitas pemberitaan mereka, baik yang dari pemerintah maupun non-pemerintah.

Beberapa media, terutama media keislaman yang tendensius, suka memilih judul yang menarik perhatian, clickbait, bahkan menyajikan informasi dengan sudut pandang yang dramatis. Hal itu harus dibenahi, sebab memunculkan ketakutan dan ketidakpastian di masyarakat. Contoh, judul “Serangan Teroris Mengancam Nyawa Warga! Apakah Program Deradikalisasi Hanya Ilusi?” itu efeknya buruk untuk psikis masyarakat.

Pemberitaan yang hiperbola, terlalu mendramatisasi, sering kali mengorbankan sisi edukatif yang diperlukan untuk memahami kompleksitas deradikalisasi. Masyarakat perlu informasi yang membimbing dan memberikan pemahaman yang lebih dalam, bukan untuk views belaka. Penyajian cerita eks-napiter yang berhasil direhabilitasi melalui deradikalisasi untuk memberikan contoh positif dan edukatif, itu harus dimasifkan.

Untuk itu, media massa, baik media lokal keislaman maupun media mainstream, wajib hukumnya meningkatkan kualitas pemberitaan dengan melibatkan ahli deradikalisasi dan tokoh masyarakat, bergandengan di antara mereka, untuk menyukseskan program deradikalisasi itu sendiri. Pelatihan khusus jurnalis tentang isu deradikalisasi dapat jadi alternatif, untuk mempersatukan persepsi dulu.

Setelah itu, media massa mesti berperan mempromosikan narasi positif tentang para eks-napiter yang berhasil direhabilitasi, program yang berhasil, dan kontribusi positif terhadap masyarakat. Harakatuna sudah bergiat dalam hal ini, melalui rubrik Inspiratif yang tayang setiap Jum’at siang. Itu semua menjadi ikhtiar sebagai media massa dalam memasyarakatkan kontra-terorisme dan deradikalisasi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru