26.3 C
Jakarta

Mayoritarianisme Keagamaan: Asal-Muasal Intoleransi yang Mesti Dibenahi

Artikel Trending

Milenial IslamMayoritarianisme Keagamaan: Asal-Muasal Intoleransi yang Mesti Dibenahi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kata kunci tulisan ini adalah ‘mayoritas’. Letak problemnya ada di kata tersebut. Tetapi problem itu sendiri tidak berada di ruang hampa. Ia terjalin berkelindan dengan mindset merasa lebih kuat, lebih berkuasa, berdasarkan persentase keagamaan di suatu daerah. Yang mayoritas menjadi predator, dan keagamaan adalah sarangnya. Kira-kira seperti itu. Mayoritarianisme yang dimaksud dalam judul ini berkenaan dengan berbagai gesekan masyarakat akibat kemayoritasan itu sendiri.

Dalam bahasa Inggris, ini disebut sebagai religious-based majoritarianism. Penyakit ini merupakan sisa-sisa proyeksi kekuasaan di masa lalu di satu sisi, dan doktrin keagamaan itu sendiri di sisi lainnya. Tragedi kerusuhan di India, antara Hindu dan Muslim, adalah bukti religious-based majoritarianism ini. Hindu sebagai mayoritas kerap bertindak semena-mena. Di Indonesia, kasus serupa juga tidak jarang terjadi. Sama, pelakunya juga pihak mayoritas, yaitu Muslim.

Label nasionalis Hindu sama buruknya dengan label nasionalis Islam: menjadikan nasionalisme seakan bertentangan dengan persentase keagamaan. Padahal tidak. Nasionalisme segaris dengan kesetaraan, kemanusiaan, dan keagamaan itu sendiri. Siapapun yang nasionalis, pasti toleran-inklusif. Sehingga jika disematkan dengan pelaku kerusuhan, maka nasionalisme menjadi luntur. Artinya, label Islam pun sudah nasionalis. Tidak perlu embel-embel lagi.

Mayoritarianisme keagamaan menjadi musuh besar dalam setiap negara yang plural. Sebab, di negara plural, kesetaraan menjadi elemen paling niscaya. Prinsip kesetaraan adalah tiadanya dominasi agama tertentu, apapun alasannya, dan seperti apa pun ia berkuasa di antara agama-agama lainnya. Hindu di India tidak boleh congkak karena mayoritas. Umat Islam di Indonesia juga tidak boleh sesumbar. Keagamaan tidak boleh jadi tolok ukur mayoritarianisme.

Begitu juga, Barat tidak lantas boleh mensupremasi Kristen, sebagaimana India seharusnya tidak mensupremasi Hindu dan menindas Islam. Di Indonesia, di mana Islam adalah mayoritas, tidak menjadi legitimasi bahwa ia harus di atas, melalui gagasan Indonesia Bersyariah misalnya, atau bahkan Hasrat mendirikan khilafah. Semua harus dipotong rata, bahwa di atas konsensus berbangsa: kerukunan adalah yang paling utama.

Karena mayoritarianisme keagamaan adalah musuh besar dari cita kerukunan, memeranginya menjadi tugas kita bersama. Tidak hanya di Amerika Serikat. Tidak hanya di India. Tidak hanya di Indonesia. Tetapi semua bangsa. Semuanya harus saling berpangku tangan mewujudkan keteguhan diri dalam kesadaran berbangsa dan bernegara. Tidak ada sekat minoritas atau mayoritas, apalagi jika agama jadi patokan. Tujuannya satu: meminimalisir intoleransi.

Musuh Besar Toleransi

Islam tidak pernah mengajari pemeluknya untuk bersikap intoleran. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, nasnya sudah jelas, bahwa perbedaan adalah sunatullah. Tidak ada hak untuk setiap Muslim berseteru lantaran berbeda. Apalagi perbedaan dengan outsider, bahkan perbedaan sesama umat Islam pun, atau dikenal perbedaan insider, tak patut untuk dipolemikkan. Hindu dan Kristen juga demikian. Hakikatnya, tidak ada agama yang mengajarkan perpecahan.

Kristen, sebagai contoh, tidak pernah mendoktrinkan intoleransi. Kitab suci mereka mengajarkan belas kasih antarumat manusia. Sehingga bila ada peristiwa seperti di Minahasa Utara, yang bermasalah bukan agama Kristen, melainkan umat pemeluknya. Begitu juga di India. Gandhi adalah pemeluk Hindu sejati, dan ia menjadi pelopor belas kasih antarumat manusia. Lalu umat beragama dibuat heran, apa sebenarnya yang membuat mereka bersikap intoleran?

BACA JUGA  Agresi Wahabi dalam Kamuflase Salafi, Awas Jangan Tertipu!

Untuk menjawabnya, kita perlu menelisik beberapa hal penting. Pertama, fanatisme umat antaragama. Kedua, kecemburuan sosial. Ketiga, kesenjangan ekonomi. Kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi barangkali tidak signifikan. Sebab, intoleransi tersebut tidak terjadi dalam solidaritas mekanik, juga dalam ekonomi setara: sama-sama menengah ke bawah, misalnya. Tapi jika dibilang efeknya tidak besar, tampaknya susah diterima.

Kendati demikian, fanatisme benar-benar menjadi problem utama. Dalam contoh intoleransi yang terjadi, ketika merasa terganggu dengan peribadatan orang lain, maka ada yang absen dalam diri kita: kemanusiaan. Kemanusiaan itu tak akan hadir, kecuali fanatisme keberagamaan sudah hilang dari dalam diri kita. Menghilangkan fanatisme artinya kita mengharapkan kemanusiaan. Sedang mengharapkan kemanusiaan, itu artinya kita mengedepankan toleransi.

Musuh terbesar toleransi adalah fanatisme. Fanatisme sendiri tidak inheren dalam agama, melainkan murni penyakit para pemeluk agama. Fanatisme tadi memantik rasa mayoritarianisme keagamaan, dan melahirkan arogansi kolektif. Dari situ kemudian konflik antarumat beragama di sejumlah negara terjadi. Masih ingat demo bakar Al-Qur’an di Swedia, dan aksi balasan Muslim di Irak? Itu juga termasuk bukti konkret betapa mayoritarianisme keagamaan sangat mengerikan.

Intoleransi dalam Masyarakat

Telah banyak contoh intoleransi. Banyak kasus menyiratkan masyarakat tidak siap menghadapi perbedaan keagamaan. Nuansa keberagamaan cenderung masih hitam putih. Yang berbeda maka salah, yang seragam dipaksa tegakkan. Umumnya, rumah ibadah menjadi pelampiasan. Rumah Tuhan menjadi sasaran dari egoisme keberagamaan pelaku intoleransi. Di berbagai masyarakat dunia, keagamaan masih menjadi factor tertinggi konflik horizontal.

Melihat kasus-kasus yang ada, jelas masyarakat melakukan aksi intoleran juga dipengaruhi motif balas dendam. Setiap ada kasus intoleransi umat Islam, umat Kristen juga mengalami, meski di lain tempat dan di waktu yang tepaut jauh beda. Yang terakhir ini cukup rumit. Sebab, terjadinya bergantung pada seberapa kecil perilaku intoleran terjadi. Kapan konflik Hindu-Islam reda di India? Susah. Kapan konflik Islam dan non-Islam selesai di Indonesia? Sama susahnya.

Untuk itu, sebagai musuh besar bersama, langkah-langkah strategis sangat krusial. Ternyata tak hanya radikalise-ekstremisme yang mengusik keberagamaan kita, melainkan juga intoleransi. Jika ekstremisme menuntut perombakan sistem pemerintahan atau delegitimasi, intoleransi justru menuntut keseragaman yang jelas mustahil. Dan ternyata, asal-muasal semua itu adalah mayoritarianisme keagamaan.

Ini yang mesti dibenahi. Konflik semacam itu wajib disudahi. Apa yang menimpa saudara setanah air perihal peribadatan mereka, sejujurnya adalah masalah kita juga. Intoleransi adalah PR kita. Ia adalah cobaan semua umat beragama. Untuk membenahi, ia tidak bisa biarkan. Kita perlu saling berpangku tangan dan tidak memberikan ruang intoleransi mencatut keagamaan, juga tidak boleh membiarkan keagamaan dipreteli mayoritarianisme dengan segala konfliknya.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru