26.7 C
Jakarta

Relasi Agama dan Kebangsaan Merespons Polemik Intoleran di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniRelasi Agama dan Kebangsaan Merespons Polemik Intoleran di Indonesia
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Agama sebagai manifestasi dari firman-firman Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan kepada manusia sebagai ciptaan-Nya. Firman-firman tersebut didokumentasikan dalam sebuah kitab suci sebagai landasan dalam mengamalkan agama tersebut.

Landasan yang suci tersebut pastinya bertujuan ke arah suci juga. Artinya, agama yang suci tidak akan membimbing atau memerintahkan ke arah yang tidak suci. Agama sendiri menjadi kekuatan spiritual untuk menuju kepada kesucian tersebut. Kesucian dipahami sebagai keadaan di mana rasa kebencian dan sejenisnya sirna dalam diri; jiwa.

Tugas agama sebenarnya bagaimana manusia itu bisa suci agar bisa bertemu dengan Zat Yang Maha Suci. Proses untuk mengarah ke sana ialah dengan menjadikan agama sebagai landasan hidup. Juga menerapkan nilai-nilai yang ada di dalamnya, dan menjadikan ia sebagai benteng di tengah dinamika kehidupan yang terus berubah.

Salah satu perintah yang ada di dalam firman-Nya ialah merawat bumi dan kehidupan yang ada di dalamnya, yang harus dijaga dari berbagai kerusakan, baik kerusakan yang disebabkan oleh alam, tangan manusia atau lainnya.

Kemudian, secara tatanan sosial politik manusia di bumi sudah dibagi secara merdeka sehingga terbentuklah negara-negara yang berdaulat. Masing-masing penduduknya harus secara bersama-sama menjaga dan meneruskan kehidupan yang ada.

Negara menjadi sebuah tempat untuk tinggal, beribadah, berkembang, bersosial, bahu membahu antarsesama, dan sejenisnya. Jika semua dilaksanakan dengan baik, maka kehidupan di negara tersebut dapat damai, dan sejahtera.

Kedamaian serta kesejahteraan merupakan buah dari menjaga ekosistem yang ada di bumi yang merupakan titah langsung dari Allah Swt. Artinya, hal tersebut ada relasi antara semangat beragama dengan semangat kebangsaan.

Relasi keduanya menjadi titik temu antara agama dan negara yang selama ini kadang dipisahkan bahkan dianggap negara musuh agama atau tidak ada hubungannya agama dan negara. Pemahaman yang semacam ini dapat merusak tatanan sosial khususnya di Indonesia, juga tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.

Pemahaman tersebut mendistorsi agama untuk bagaimana “memusuhi” negara, ditambah negara tersebut tidak menganut sistem Islam. Ditambah lagi kultur sosial yang heterogen yang mengusung nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan.

Pemahaman di atas jelas tidak bisa diterima dan menyalahi landasan beragama. Agama tidak melarang atas sebuah pendirian negara dan juga sistemnya. Karena secara dalil baik Al-Qur’an maupun sunah tidak ada perintah untuk mendirikan negara dengan sistem Islam.

BACA JUGA  Memupuk Akar Moderasi Beragama di NKRI

Kemudian secara sejarah peradaban Islam ada perubahan dari sistem Nabi, sahabat sampai Bani Umayyah hingga Abbasiyah dan sampai kekhalifahan Turki Utsmani.

Artinya, yang ditekankan Islam bukanlah sistem pemerintahan atau bentuk kepemimpinannya, tetapi bagaimana negara itu hadir untuk mensejahterakan masyarakatnya, adil, terbuka, memanusiakan manusia, berkomitmen menjaga stabilitas internasional, menjunjung kemerdekaan tiap negara dan semangat menjalin kerja sama antarnegara untuk membangun sebuah peradaban global yang baik guna meraih kemaslahatan secara universal.

Analisis di atas sesuai apa yang disampaikan oleh Dahlan (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”, bahwa negara Islam bukanlah sistem yang diwajibkan oleh Islam. Tetapi bagaimana negara itu bisa “merangkul” dan mensejahterakan rakyatnya sebagaimana Nabi Muhammad saat memimpin negara Madinah.

Hal ini juga dikuatkan oleh kajian oleh Hadi (2018) dengan judul “Relasi dan Reposisi Agama dan Negara”,  yang menegaskan bahwa negara harus menjadi fasilitator terhadap pelaksanaan ibadah-agama, dan juga menjadi sahabat; teman agama.

Hal ini tepat untuk mengharmoniskan hubungan keduanya, dikuatkan fakta yang ada di Indonesia, ia negara Pancasila yang menjadi fasilitator agama-agama yang ada di dalamnya, membebaskan semua beragama sesuai keyakinan dan menjamin pelaksanaan ibadah secara aman dan terbuka. Indonesia berhasil mengharmoniskan konsep bernegara dan beragama.

Di tengah konsep tersebut, pemahaman yang memisahkan negara dan agama menjadi penghalang majunya peradaban. Sehingga muncul sikap intoleran di tengah masyarakat. Sikap ini merusak tatanan sosial masyarakat yang heterogen, akibatnya lahir disharmonisasi yang mengancam stabilitas sosial masyarakat.

Tentu, hal ini dapat merusak ekosistem kehidupan berbangsa dan beragama secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, dalam menangkal sikap intoleran tersebut beserta pemahaman di atas, diperlukan pemahaman yang betul dan mendalam tentang relasi agama dan negara sebagaimana kajian; hasil penelitian di atas.

Masyarakat harus memahami bahwa agama memerintahkan menjaga persatuan dan kesatuan melalui semangat kebangsaan, menghargai kehidupan beragama, menghargai adanya agama-agama dan mempersilahkan umat melakukan ibadah; ritualnya masing-masing secara demokratis.

Oleh sebab itu, kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, kesatuan dan kebersamaan yang ada demi mensukseskan pembangunan masyarakat dan peradaban yang lebih baik.

Dr. Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd
Dr. Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd
Dosen Agama Islam Universitas Dinamika Surabaya

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru