32.5 C
Jakarta

Kurban, Cinta Ibrahim, dan Tunduknya Rasionalitas

Artikel Trending

Milenial IslamKurban, Cinta Ibrahim, dan Tunduknya Rasionalitas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Salah satu bukti kontinuitas Islam dengan agama (millah) sebelumnya ialah adanya adopsi ajaran agama sebelumnya ke dalam Islam. Ini, umpamanya, dapat dilihat dalam perayaan Hari Raya Idul Adha yang akan berlangsung sepekan lagi; 29 Juni 2023.

Setiap tanggal 10 Dzulhijjah merupakan momentum mengingat kembali ketulusan cinta Ibrahim sang khalilullah, dalam mengorbankan putranya Ismail demi perintah Allah SWT melalui mimpinya.

Di sini tidak hendak membahas bagaimana penanggalan peristiwa penyembelihan Ibrahim terhadap Ismail jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah sedangkan ketika itu kalender Hijriah belum ada, juga tidak akan membahas persoalan diskursif seputar apakah yang disembelih (al-dzabih) Ismail atau Ishak.

Namun fokus tulisan ini ialah bagaimana kemudian spirit kecintaan seorang manusia terhadap Rabb-nya mampu menundukkan rasionalitas yang melekat dalam dirinya. Manusia tersebut tidak lain ialah bapak para nabi, Ibrahim.

Ihwal Rasionalitas

Berbicara tentang rasionalitas, kita pasti akan terpikirkan pada sederetan nama bapak logika seperti Thales (624-548 SM), filsuf asal Yunani yang telah meletakkan dasar-dasar berpikir logis atau kepada Abu Nashr al-Farabi (873-950 M), filsuf Muslim yang mendapat gelar ‘Sang Guru Kedua’ karena telah menyalin logika Yunani Aristoteles dan memberikan ulasan serta komentar.

Padahal jauh sebelum itu, sekitar lima belas abad sebelum filsuf-filsuf tersebut muncul, Nabi Ibrahim telah menjadi manusia dengan dengan nalar rasional yang menakjubkan. Demikian karena menurut Karen Armstrong, Nabi Ibrahim hidup pada abad kedua puluh sebelum Masehi.

Pendapat atas rasionalitas Nabi Ibrahim terekam dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Dalam pembuktian empiris tentang bagaimana Allah menghidupkan yang mati, misalnya, terekam jelas dalam surah al-Baqarah ayat 260. Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar Dia memperlihatkan kepadanya bagaimana cara Allah menghidupkan sesuatu yang mati.

Tuntutan Ibrahim di sini bukanlah menampakkan bahwa intuisi seorang nabi seperti dirinya tidak mampu meyakinkan kekuasaan Allah, namun lebih tepat merupakan penjabaran secara implisit bahwa di samping intuisi sebagai hujjah kenabiannya, Ibrahim tidak mengesampingkan pikiran rasional-empiris. Allah pun mengabulkan permintaan Nabi Ibrahim, sebagaimana dalam ayat tersebut.

Kecerdasan nalar rasional Ibrahim tidak hanya itu. Al-Qur’an melukiskan bagaimana perdebatannya dengan seorang raja yang mengaku Tuhan. Dalam beberapa kitab tafsir raja yang mendebat Nabi Ibrahim tersebut adalah Namrud bin Kan’an al-Jabbar. Ketika perdebatan berlangsung, Namrud meminta Ibrahim membuktikan ketuhanan Allah.

Nabi Ibrahim menjawab bahwa Dialah Allah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Sang raja merasa menang melawan hujjah Nabi Ibrahim dengan membunuh orang di sampingnya, membuktikan bahwa dia juga bisa membunuh.

BACA JUGA  Idulfitri: Keistimewaan Islam dan Momentum Kerukunan Universal

Namun kemudian Ibrahim mengatakan bahwa Allah yang menerbitkan matahari dari arah timur ke barat dan meminta Namrud menerbitkannya dari barat. Ketika itu pun sang raja kalah hujjah. Cerita ini Allah lukiskan dalam surah al-Baqarah ayat 258.

Di samping kedua kisah tersebut, kisah pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim merupakan bukti paling gamblang bahwa nalar rasionalnya tidak mudah ditundukkan. Ini dilukiskan al-Qur’an secara panjang dalam surah al-An’am ayat 74-78.

Bermula dari ketidakterimaan akalnya melihat Azar—nama panggilan ayahnya, dalam sebagian literatur dikatakan bahwa dia adalah paman Ibrahim—menyembah berhala (ashnam) yang tidak bisa berbicara dan tidak bisa memberi manfaat atau pun mudarat.

Nabi Ibrahim akhirnya mantap diri menemukan Tuhannya, Sang Pencipta langit dan bumi, dan menganut teologi monoteistik (hanif) setelah rangkaian peristiwa rasional yang terekam secara indah pada ayat 76, 77 dan 78.

Ketajaman pikiran rasional Nabi Ibrahim dalam beberapa ayat al-Qur’an di atas tidak lantas menjauhkan dirinya dari kebenaran, tetapi justru membawanya ke dalam imanensi akan yang Haqq. Juga, rasionalitas Nabi Ibrahim tidak melenyapkan kemantapan terhadap kebenaran yang transenden seperti sebuah mimpi.

Suatu ketika Nabi Ibrahim bermimpi (ru’yah) menyembelih putranya. Putra kesayangannya, yang merupakan hasil doa Ibrahim kepada Allah harus dikorbankan. Karena khawatir putranya tidak mau melaksanakan cobaan berat ini, dia mencoba meminta persetujuan terlebih dahulu.

Putra Nabi Ibrahim setuju dan sabar, namun ketika hendak disembelih Allah mengganti putra Nabi Ibrahim dengan domba. Imam al-Thabari berpendapat bahwa domba yang menjadi pengganti adalah domba yang dikurbankan Habil, putra Nabi Adam, yang Allah menyimpannya di surga.

Cinta Ibrahim

Jika muncul pertanyaan, bagaimana mungkin sosok nabi yang rasionalis bisa langsung percaya dengan validitas sebuah mimpi (ru’yah), lebih-lebih untuk menyembelih putra kesayangannya? Maka jawabannya adalah; cinta Ibrahim.

Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah jauh melebihi kecintaan kepada putranya. Cinta tersebut yang telah menundukkan rasionalitasnya demi membenarkan mimpi yang sama sekali irasional. Pengorbanan Nabi Ibrahim dalam membenarkan mimpi adalah manifestasi kecintaan kepada Allah yang tidak tertandingi apa pun.

Putra Nabi Ibrahim adalah simbol dari sesuatu yang paling dicintai, tetapi jika demi rida Allah Swt., maka apa pun mesti dilakukan, sekalipun harus kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

Namun dalam konteks sekarang, kecintaan seringkali malah membuat enggan untuk mengorbankan sesuatu yang dicintai. Tidak heran, ketika sebagian orang yang secara finansial mampu untuk berkurban enggan melakukannya.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru