26.1 C
Jakarta

Kontra-Etnisitas Ekstremis: Memasyarakatkan Islam Rahmat di NKRI

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKontra-Etnisitas Ekstremis: Memasyarakatkan Islam Rahmat di NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Secara faktual, Islam sebagai agama rahmat lahir di Jazirah Arab. Arab dan Islam kemudian menjadi bagian integral yang selalu identik. Keterkaitan keduanya memunculkan premis bahwa identitas Arab dianggap simbol keislaman dan kesalehan. Tampilan atribut kearaban diartikan sebagai penanda tersublim maqam kedekatan dengan Tuhan (habluminallah) dan paling nyunnah.

Judgement tersebut lahir karena scope Arab sebagai asal muasal Islam, disisi lain juga keberadaan tanah suci Mekkah-Madinah serta bangunan Ka’bah, episentrum kiblat umat Islam seluruh dunia.

Syahdan, sebagian masyarakat secara salah juga menggeneralisasi bahwa orang Arab (Hadramaut) atau berwajah Arab merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw dan mutlak harus ditaati, dihormati dan diikuti. Cak Islah Bahrawi menyebut contoh konkretnya yakni orang Madura. Intensitas pendoktrinan mereka terbalut sikap cinta & apresiatif. Prasangka baiknya bergulir secara kontinyu dan selalu diakhiri kesimpulan yang baik.

Dari torehan benefit sosial di atas, hal inilah penyebab menyeruaknya fenomena kemunculan habib-habib. Cukup dengan bekal personality berparas nuansa Arab ataupun berdiaspora dari Hadramaut, seketika itu juga dianggap & dipercaya seorang habib. Begitu mudahnya meraup titel habib tanpa perlu silsilah empiris. Sungguh suatu previllage tersendiri bukan?

Fenomena Hegemonik Arabness

Alasan mengapa hegemoni kearaban (arabness) begitu kokoh di masyarakat kita, karena masyarakat kita mengaplikasikan “madzhab mahabbah” terhadap orang-orang beridentitas Arab. Masyarakat menaksir di dalam identitas tersebut terkoneksi genealogis Nabi Muhammad Saw. Karena itu, gairah masyarakat sangat bergelora memanifestasikan tindak kasih kepada keturunan Nabi yang dijumpai.

Mereka meleburkan antara penghormatan dan sikap taat menjadi satu padu. Padahal menghormati dan mentaati adalah dua hal berbeda. Perihal menghormati dan menta’dzimi para habib tentu perbuatan wajib dalam situasi dan kondisi apapun. Afirmatif, seluruh elemen keagamaan sepakat dengan qoul tersebut.

Namun hal itu juga harus dibarengi dengan nalar kognitif sehat dan sikap kritis. Jangan sampai ketika gelagat akhlak habib tidak mencerminkan akhlak sang datuk–sering mencaci, mengumpat, menghardik liyan. Alih-alih beralih pada fatwa habib lain yang menampilkan kesejukan & perdamaian, massa justru tetap mengikuti hingga terperosoklah ke lembah provokasi.

Trend habib dalam tilikan saat ini menjadikan dirinya mudah diterima, punya posisi terhormat dan dimuliakan di masyarakat. Tak ayal, ia juga langsung mendapat otoritas keagamaan, intelektual dan kesalehan tanpa melacak rekam jejak kehidupan serta background pendidikan keagamaan. Dengan keyakinan penuh bahwa habib adalah gelar prestisius sekaligus entitas agung, sebagian masyarakat menanggalkan fitur-fitur rasio akal dan mempertajam antusias fanatisme terhadap identitas Arab–kehabiban.

Habib berpenetrasi menjadi “jajanan” paling laku dikonsumsi publik. Daya magisnya begitu kuat dan kentara. Pemberian bumbu-bumbu dogmatis membuat masyarakat semakin terlena, terbius, dan terobsesi. Habib rujukan paling efektif dalam mengkapitalisasi pelbagai kepentingan, termasuk meraup otoritas kepemimpinan sosial kemasyarakatan. Masyarakat secara halus diberi stimulus untuk taat mengikuti serta meneladani segala tutur kata dan tindak laku guna masuk pada poros kepentingannya.

Rahmat-Nya Menjangkau Semua

Dengan realitas previllage identitas Arab–habib, ini memantik pertautan dimana rahmat-Nya mengalami degradasi etis di dalam keagungan Islam. Identitas Arab–habib dirasa lebih “berjaya” dalam ruang stratifikasi sosial dibanding identitas Pribumi meski sama-sama berilmu (alim), religiusitas tinggi, mengedepankan akhlak dan budi pekerti luhur.

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Padahal, dalam firman-Nya termaktub sangat sharih dan shahih, wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin” (QS. al-Anbiya: 107). Kedatangan Islam melalui Nabi Muhammad Saw membawa kerahmatan bagi semua yang ada di semesta. Panji ajarannya bersifat universal, menembus lintas zaman, suku maupun etnis tertentu.

Disisi lain kita tahu, setiap personal –apapun suku, etnis, rasnya– mempunyai kedudukan setara, tidak ada yang lebih unggul maupun utama. Menakar suatu keunggulan atau keutamaan hanya bisa dilihat dari ketakwaannya. Allah berfirman dalam QS. al-Hujurat: 13 “…sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa…”.

Dari ayat tersebut, kita diperlihatkan status kemuliaan yang sesungguhnya tolok ukurnya yaitu ketakwaan, bukan kedudukan ataupun garis keturunan tertentu. Ketakwaan menjadi satu-satunya karakteristik pembeda yang membuat seseorang lebih baik dari liyan.

Sang kinasih, Nabi Muhammad juga menyampaikan hal yang sama ketika dihadapan ratusan ribu jemaah. Dalam penggalan khutbah haji wada’ (10 H), beliau bersabda “…inna akramakum indallahu atqakum, laisa li ‘arabiyin fadlun ‘ala ‘ajamiyin illa bittaqwa…”. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, tidak ada keistimewaan antara orang Arab dengan orang non-Arab kecuali karena takwanya.

Dari redaksi di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pada dasarnya semua entitas adalah setara; sederajat. Tidak ada hierarki keutamaan berdasarkan identitas tertentu. Lanskap sosiokultural memberikan ruang kepada kita mempunyai porsi egalitarianisme tanpa ada pengkerdilan suatu identitas. Islam adalah agama egaliter, ia menjunjung tinggi persamaan humanisme yang melekat pada identitas, suku maupun etnis apapun.

Sementara itu, perihal budaya juga sama. Budaya diberi kebebasan untuk berkreasi dan berinovasi (ibda’i ijtihadi) sesuai lokalitas masing-masing. Agama tidak mewajibkan budaya tertentu. Agama hanya berpesan “silahkan distingsif, yang terpenting tiap sendi-sendi dalam budaya harus disuplai nilai-nilai prinsipal agama (Islami)”. Budaya boleh dibuat serta dikembangkan selagi tidak bertentangan dengan tipologi ajaran agama (Islam), yakni konsep tauhid, kenabian, dan kemanusiaan.

Gus Ach Dhofir Zuhry dalam buku Nabi Muhammad Bukan Orang Arab? (2020) mengatakan, jika Kanjeng Nabi orang Arab lantas beliau cinta dan memakai pakaian Arab (kondura, sorban dan sebagainya). Maka kita sebagai warga negara Indonesia sejatinya harus merawat budaya dan tradisi lokal (khazanah Nusantara). Ini baru pemaknaan nyunnah. Sebab, paradigma tersebut koheren mengikuti jejak Nabi Saw yakni menghargai tradisi dan budaya setempat.

Nabi Saw mewarisi kepada kita yakni produk pendayagunaan cara berpikir (epistemologi), bukan sekedar dimensi outward looking. Oleh karena itu, kita harus senantiasa merekonstruksi pemahaman keberagamaan pada wawasan perkembangan kontekstual. Ini mutlak diperlukan untuk menyetop lajur normalisasi kesalahan berkepanjangan sebagian masyarakat. Metodologis ini tips taktis dalam meneguhkan kembali Islam kita sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat untuk seluruh alam semesta––bukan dominasi identitas tertentu).

Muhammad Muzadi Rizki
Muhammad Muzadi Rizki
Senang berliterasi, membahas persoalan moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru