26.7 C
Jakarta

Ketika Nalar Kritis Al-Jabiri Membaca Takfirisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniKetika Nalar Kritis Al-Jabiri Membaca Takfirisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tradisi tekstualis merupakan warisan dari para leluhur, yakni ulama Islam dahulu. Hal ini berdampak pada cara pandang dan pola pikir umat muslim dalam melakukan sesuatu khususnya dalam mengkaji perkara keislaman. Segala perkara diukur dengan teks-teks agama yang menjadi alat kebenarannya.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengagungan atas karya ulama yang telah dikodifikasikan. Sehingga, rasionalitas begitu disampingkan seperti tidak memiliki ruang untuk ikut andil dalam mengeksekusi sebuah perkara.

Namun, setelah Renaisans yang terjadi di Eropa, eksistensi nalar begitu berpengaruh terhadap perkembangan masa. Hal ini terbukti dari banyaknya penemuan teknologi canggih oleh ilmuwan Eropa setelah Renaisans.

Kemenangan rasionalitas begitu terlihat saat itu, sehingga pandangan hidup dan fokus tujuan hidup para ilmuwan Eropa sekaligus agamawan juga berubah. Dari pandangan yang berfokus pada aspek ketuhanan saja kemudian menjadi fokus pada visi kemanusiaan setelah terjadinya Renaisans.

Terjadinya kemenangan rasionalitas yang berdampak pada banyaknya penemuan yang memajukan Eropa, berita ini menyebar sampai ke dunia Arab Islam. Hal ini diakui oleh kalangan Muslim bahwa Eropa telah maju dengan memaksimalkan nalarnya.

Namun, sebagian Muslim yang lain beranggapan bahwa Eropa maju karena meninggalkan agama dan mengejar dunia. Sehingga, ada dua pandangan dari masyarakat Muslim bahwa Eropa maju dengan memaksimalkan nalarnya sedang Islam tertinggal dengan tradisi tekstualisnya juga pandangan lain bahwa Eropa maju karena meninggalkan agamanya.

Ketertinggalan umat Islam saat itu merupakan hasil dari kekakuan Islam dengan menjunjung cara berpikir yang tekstualitas dan tidak melihat perkembangan masa yang terus berubah dengan disertai permasalahan yang baru. Hal ini berdampak buruk pada pola berpikir Muslim dalam mengkaji sebuah perkara.

Sehingga, banyak polemik yang terjadi ketika cara berpikir tekstualis dijadikan parameter untuk menimbang perkara yang baru dalam perkembangan yang terus bergerak maju dan canggih.

Meminjam istilah epistemologi Muhammad Abed al-Jabiri, bahwa masyarakat Islam tertinggal karena cara pandangnya masih berkutat di ruang bayani, yakni ruang yang menjadikan tekstualitas sebagai alat ukuran sebuah perkara.

Sedangkan, perkembangan zaman dengan perkara-perkara baru terus berubah dan tekstualitas tidak bisa menjadi alat ukur perkara yang baru karena sudah tidak relevan dengan masa. Dari sini dapat dipahami bahwa Islam memiliki karakter yang dinamis. Artinya tidak kaku, sehingga berperan aktif dalam menjawab setiap perkara dengan menyelaraskan zamannya.

Islam yang kaku dengan cara pandangnya yang tekstualis memberikan dampak buruk pada perkembangan keilmuan dewasa ini. Hal ini terbukti banyaknya klaim kebenaran atas pemahaman kelompoknya dengan menyalahkan kelompok lain yang tidak sepaham.

BACA JUGA  Tipologi Quadripolar: Sebuah Jalan untuk Memahami Hubungan Umat Beragama

Bahkan banyak terjadi permasalahan yang muncul dari paham ini yakni penyesatan atas kelompok lain. Takfirisme di mana-mana, ujaran kebencian, dan menghalalkan darah siapa pun yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Hal tersebut merupakan konsep ajaran yang sudah menjadi ciri khas paham ini.

Penyebaran paham ini dilakukan dengan menggunakan ajaran doktrin yang dikuatkan dengan teks-teks agama semata tanpa melakukan proses berpikir yang logis. Hal ini berdampak pada minimnya rasionalitas pada kader yang menjadi sasarannya.

Sehingga, terbentuk generasi Muslim yang membudayakan pembelajaran dengan taklid buta dan mengesampingkan penalaran yang logis berdasar penemuannya dalam berpikir.
Eksistensi paham ini dengan ajarannya yang ekstrem memberikan wajah Islam yang keras dan kaku.

Keberadaan paham ini merupakan suatu bentuk ketidakpahaman seorang Muslim akan makna Islam secara subtansi. Makna Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan makna Islam yang moderat. Sehingga, eksklusivitas yang terjadi berndampak buruk pada cara pandang Muslim dan berpengaruh pada kelambatan kemajuan dalam Islam.

Al-Jabiri memberikan kontribusinya atas polemik yang terjadi di dunia Arab Islam dengan menawarkan tiga konsep epistemologi yakni bayani, irfani, dan burhani. Ketiga epistemologi tersebut ditawarkan oleh al-Jabiri sebagai wujud keprihatinan akan masyarakat Islam yang tidak menerima eksistensi rasionalitas yang bisa dijadikan pertimbangan atas perkara.

Hal ini dilakukan al-Jabiri sebagai jawaban dari banyaknya kajian yang menjadikan epistemologis sebagai objeknya, namun dalam hasilnya nihil dan tetap saja sebagian besar masyarakat Islam sulit menerima pembaharuan yang terjadi dengan masuknya modernitas ke wilayah Islam yang masih tradisional (tekstualis).

Dampak dari sulitnya menerima kemenangan rasionalitas menyebabkan kebangkitan umat Islam lambat, hingga dikatakan tertinggal. Hal ini, disebabkan oleh sikap eksklusivisme yang dimiliki umat Islam terhadap agamanya ataupun tradisi yang dimilikinya.

Sehingga, tidak mudah untuk menerima secara terbuka pembaharuan dalam keilmuan untuk mengubah pola pemikiran dalam berpandangan terkait tradisi dan keagamaan.

Al-Jabiri sebagai salahsatu pemikir muslim di Arab, mencoba memberikan tawaran epistemologis sebagai rujukan. Pemikiran yang ditawarkan oleh al-Jabiri bertujuan supaya umat Islam mau bersikap terbuka dan objektif dalam menyikapi tradisi pemikiran baru.

Tujuannya, agar tidak tertinggal jauh dengan bangsa Barat yang jelas-jelas dapat maju berkat mengadopsi literatur-literatur Islam dan mengembangkannya sesuai dengan kepentingan mereka.

M. Khusnun Niam
M. Khusnun Niam
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru