27.4 C
Jakarta

Tipologi Quadripolar: Sebuah Jalan untuk Memahami Hubungan Umat Beragama

Artikel Trending

KhazanahOpiniTipologi Quadripolar: Sebuah Jalan untuk Memahami Hubungan Umat Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Banyak jalan yang ditempuh oleh para pemuka agama dalam mewujudkan hubungan umat lintas agama, tak peduli seberapa berat rintangannya. Blusukan, diskusi agama, menjadi pemimpin di daerah tertentu, menuntut ilmu di tempat yang tidak umum dan cara lain yang dianggap dapat menguatkan hubungan umat beragama.

Berbicara tentang cara dalam menguatkan hubungan lintas agama, ada beberapa jalan yang dapat ditempuh. Cara ini bersifat umum, seseorang yang beragama bisa memakai salah satu dari jalan ini. Apa sajakah itu?

A. Eksklusivisme

Eksklusivisme, tingkatan prioritas atau tertinggi dalam memahami hubungan umat beragama. Eksklusivisme merupakan pandangan penolakan secara total dan terang-terangan terhadap pemikiran agama lain dan mengakui agama yang ia anutlah yang paling benar.

Apa pun siraman rohani yang disampaikan dari agama lain, ia akan tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang ia anut sejak lama karena sudah terbiasa menjalaninya. Meski kebenaran ada di depan matanya, ia akan tetap berpegang teguh terhadap ajaran agamanya kini.

Eksklusivisme berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, yang berbunyi:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ٨٥

Terjemah : “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. ‘Ali Imran [3]: 85)

Ada pula dalil dari Alkitab mengenai eksklusivisme, salah satunya berbunyi:

“Dan keselamatan tidak ada di dalam yang lain, siapa pun, karena di kolong langit ini tidak ada nama yang lain, yang telah diberikan kepada manusia, yang di dalamnya kita dapat diselamatkan.” (Kitab Perjanjian Baru, Bab Kisah Para Rasul, Jilid ke-4, No. 12)

B. Inklusivisme

Inklusivisme, tingkatan kedua dalam memahami hubungan umat beragama. Inklusivisme merupakan pandangan penolakan secara total dan sembunyi terhadap pemikiran agama lain dan mengakui agama yang ia anutlah yang paling benar.

Apa pun siraman rohani yang disampaikan dari agama lain, ia akan tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang ia anut sejak lama karena paham ajaran agama tersebut kurang sesuai dari dalam hati juga pikirannya. 

Dengan demikian, inklusivisme memandang bahwa semua agama mendapatkan kasih Tuhan dan bisa juga mendapatkan sayangnya Tuhan jika mengikuti jalan yang Tuhan kehendaki. Seperti dalam firman Tuhan berbunyi:

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٢٧ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ ٢٨ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ٢٩ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ ٣٠

Terjemah : [27] Wahai jiwa yang tenang, [28] kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai. [29] Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, [30] dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

Ada pula dalil dari Alkitab mengenai inklusivisme, salah satunya berbunyi:

“Tuhan itu baik bagi semua orang; dan rahmat-Nya ada pada semua perbuatan-Nya.” (Kitab Perjanjian Lama, Bab Mazmur, Jilid ke-145, No. 9)

C. Pluralisme

Pluralisme, tingkatan ketiga dalam memahami hubungan umat beragama. Pluralisme merupakan pandangan pemenuhan atas pemikiran agama lain berlandaskan penasaran dan keingintahuan, dengan menggunakan dalil naqli agama yang sedang dianut sebagai pegangan. Pluralisme lebih longgar ketimbang eksklusivisme dan inklusivisme. 

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

Pluralisme memandang bahwa semua agama mendapat kasih dan sayangnya Tuhan, juga dapat bahagia di akhirat nanti jika mengikuti doktrin agama masing-masing secara totalitas. 

Pluralisme ditolak dari agamawan berbagai agama. Terlalu dalam mempelajari pluralisme dapat menjadikan kita sosok yang tidak jelas di mata Tuhan, mencampurkan yang halal dan yang haram demi menjadi paling toleran.

D. Realita Sentris

Realita sentris (reality centric) merupakan jalan pada tingkat terendah dalam memahami hubungan umat beragama. Realita sentris merupakan pandangan masa bodoh terhadap pemikiran agama lain apapun itu, namun tetap mengakui keberadaan agama lain dalam sebuah lingkungan masyarakat tertentu.

Apa pun siraman rohani yang disampaikan dari agama lain, realita sentris lebih memilih untuk tidak mau tahu apa pun dari agama mereka. Realita sentris memilih untuk masa bodoh apa pun yang mereka kerjakan, realita sentris hanya memposisikan diri sebagai orang awam yang paham akan posisinya.

Sebagai gantinya, mereka menawarkan apa pun yang membuat penganut agama lain nyaman selain yang bersinggungan dengan tauhid, akidah akhlak atau semacamnya. Sejatinya, realita sentris inilah yang sering dibilang sebagai toleransi. Adalah salah ketika toleransi dikaitkan dengan mengikuti prosesi peribadatan agama lain secara langsung.

Misalkan ketika umat Islam ingin melaksanakan shalat hari raya, jumlahnya amat banyak sehingga pihak keamanan di sana kewalahan. Demi keamanan dan kenyamanan, para relawan dari umat Kristen dapat menawarkan apa pun seperti jasa, keuangan, lahan, makanan, atau lainnya yang dapat membantu mereka selama bukan ranah tauhid.

Inilah yang diartikan sebenar-benarnya toleransi, bukan ikut-ikutan dalam prosesi peribadatan agama lain. Ketika kita mengikutinya, maka kita dipastikan keluar dari agama kita kini tanpa sadar dan ini amatlah berbahaya. Dengan demikian ketika kita ingin menerapkan toleransi yang sebenarnya, maka pahami apa arti realita sentris itu. 

Realita sentris atau toleransi sendiri memiliki banyak ayat dalam Al-Qur’an. Salah satu di antaranya berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ….١٣

Terjemah : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal….” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Ada pula dalil dari Alkitab mengenai realitas sentris, salah satunya berbunyi:

“Oleh karena itu kemudian, selama kita masih mempunyai kesempatan, kita dapat mengerjakan yang baik kepada semua orang dan terutama kepada mereka yang sekeluarga dalam iman.” (Kitab Perjanjian Baru, Bab Galatia, Jilid ke-6, No. 10)

Akhir kata, cara tersebut mengilhami kita menyikapi dinamika umat beragama di sekitarnya. Mengenal latar belakang, menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan menjalani hidup dengan tenang lagi tenteram.

Sesuaikan pengetahuan dan pengalaman dengan cara yang telah disediakan, setiap dari kita memiliki masa depan. Karena setiap dari yang beriman memiliki masa lalu, dan setiap dari yang berdosa memiliki masa depan.

Bagus Abdurrahim
Bagus Abdurrahim
Pegawai swasta. Seorang pecinta anime bergenre fantasi, petualangan dan slice of life.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru