Harakatuna.com – Ada banyak yang tidak suka terhadap pergelaran Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22, yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ketidaksukaan muncul gara-gara menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya.
Sebelum masuk pada kritik AICIS ini, izinkan untuk menuliskan sebab-sebab munculnya dan isi kandungan yang tertera dari Piagam Surabaya. Asbab nuzul adanya Piagam Surabaya, bertujuan menjawab tiga hal.
Piagam Surabaya
Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan? Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fikih menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?
Pertanyaan di atas dijawab dengan Piagam Surabaya dari gelaran AICIS 2023. Berikut isi daripada Piagam Surabaya: Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih.
Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer. Keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir lainnya, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.
Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Kritik Aktivis Khilafah
Kritik itu muncul ketika Piagam Surabaya ini menuliskan tentang politik identitas. Kalangan aktivis khilafah seperti tidak terima karena menurutnya, menolak identitas adalah melawan realitas. Bagi mereka, identitas merupakan hal penting yang melekat pada diri seseorang ataupun benda. Menurutnya, keberadaannya diperlukan untuk mengenali dan membedakannya dengan pihak lain. “Tanpa identitas, ia akan sulit diidentifikasi, bahkan bisa berujung pada kesalahan dan kekacauan,” sebutnya.
Lalu mereka mempertanyakan, mengapa identitas ini dianggap berbahaya jika digandengkan dengan politik? “Anehnya, mengapa yang seringkali dituduh politik identitas itu hal-hal yang berkaitan dengan Islam?” Menurut mereka, Piagam Surabaya adalah bentuk penyematan istilah buruk dan opini-opini sesat terhadap ajaran Islam dan pemeluknya bukanlah hal yang baru.
Saya tidak tahu mengapa Piagam Surabaya dianggap upaya memperburuk citra dan sesat ajaran Islam? Dan siapa sebenarnya yang dianggap pelakunya bukan orang baru tersebut? Kemenag? Akademisi PTKIN Indonesia? Atau siapa?
Bahkan aktivis khilafah ini sampai bilang, orang-orang yang menolak politik identitas dan orang yang menyerukannya adalah orang-orang yang sejatinya menghalangi politik Islam, yaitu ingin mencegah syariat Islam untuk kembali mengatur masalah kehidupan.
Karena itu, menurut mereka, umat harus dicerdaskan supaya memiliki pemahaman yang benar tentang forum semacam AICIS ini. Jangan sampai umat terjebak pada pemikiran sesat yang diusung oleh para cendekiawan dan akademisi lintas negara tersebut, ucapnya. Apa nggak mengerikan tuduhan ini?
Tafsir Positif
Padahal menurut saya, penolakan terhadap politik identitas, ingin menghindarkan problem politik yang pernah terjadi pada pilkada di Jakarta beberapa tahun lalu itu. Suatu politik yang didesain untuk saling membenci satu sama lain, meski seagama dan sekebangsaan, sekadar untuk mendapatkan kekuasaan.
Piagam Surabaya dicetuskan barangkali untuk menghindarkan terjadinya masalah-masalah akut tersebut. Dan berkeinginan untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif, serta membuat agama sebagai benteng memuliakan kemanusiaan dan perdamaian.