28.2 C
Jakarta

Kekerasan Agama Bersemayam dalam Sistem Khilafah?

Artikel Trending

Milenial IslamKekerasan Agama Bersemayam dalam Sistem Khilafah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kalau kita melihat kontestasi keagamaan sekarang, kita mendapatkan sesuatu yang miris. Sistem khilafah yang dibanggakan oleh sebagian kelompok orang, lesu dan benci pada lokalitas keagamaan yang sudah menjadi darah daging manusia Nusantara.

Kekerasan Atas Nama Tuhan

Akibatnya, saling serang dan kekerasan menjadi panglima. Akhirnya, kekerasan tidak hanya bertumpu pada wujud fisik melainkan terjadi pergeseran dalam bentuk wacana. Sebagaimana kenyataan hari-hari ini pengkafiran lazim ditemui di mana-mana, sampai menggaduhkan dinamika berkehidupan manusia.

Kekerasan atas nama agama dan Tuhan, sasarannya tak hanya orang yang berbeda agama, melainkan orang-orang Islam sendiri yang berbeda keyakinan, aliran, pikiran, politik, ideologi, sistem negara, dan kewarganegaraan.

Sistem khilafah, menjual kelesuan agama. Seakan-akan umat Islam terbelakang dan selalu tertimpa musibah. Yang mereka tinju adalah sistem  mentereng yang ada sekarang, yaitu Pancasila dan keagamaan moderat di Indonesia. Meskipun negara dan keagamaan di Indonesia sudah hebat dengan fakta umatnya damai dan muslimin, bagi aktivis khilafah itu bukanlah keagamaan yang diharapkan Nabi dan Tuhan. Bagi mereka, agama adalah sebagaimana yang tercermin di negara-negara seperti Afghanistan dan lain-lain.

Tokoh Teosentris Agama

Pikiran-pikiran tersebut tidak datang tiba-tiba. Pikiran tersebut ada tokohnya, seperti, Muhammad bin Abdul Wahab, Ahmad Ibn Hanbal, Abul A’la al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Ibnu Taimiyah. Mereka mengekspresikan nalar atau pandangan, pemikiran, pemahaman kekerasan—sehingga mengakibatkan paham kekerasan, sikap kekerasan, respons kekerasan, reaksi kekerasan, dan gerakan kekerasan.

Dari tokoh tersebut dalam menalar Islam memuat banyak masalah dalam penjelajahan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Mereka menalar Islam sebagai sesuatu yang tunggal dan menggunakan pijakan nalar Islam teosentris (serba Tuhan, yang cendredung menghilangkan hak asasi manusia yang diberikan Tuhan).

Dengan demikian, tak heran bila mereka cenderung menyalahtafsirkan antara Islam sebagai agama (Islam itu sendiri, absolut yang sifatnya sakral), dan hasil ijtihad tentang Islam (pengetahuan atau pemikiran keislaman atau keagamaan).

BACA JUGA  Riak-riak Kaum Radikal-Populis di Tengah Putusan MK

Saya meyakini, bila tak bisa membedakan mana yang ajaran agama dan ijtihad tentang agama, maka akan terjadi erosi penyalahgunaan pola tafsir agama. Yang terjadi nantinya, pemikiran tentang agama dianggap sebagai agama, kemudian disakralkan untuk menjustifikasi “ideologi” dengan menggunakan bahasa agama “jihad fisabilillah”. Tetapi, melupakan esensi agama itu sendiri, yaitu bahwa agama hadir untuk pemartabatan manusia, seperti misi Rasul diutus memuliakan akhlak manusia menggantikan akhlak tercela (jahiliyah) yang bertumpu pada citra, rahmat bagi manusia dan alam semesta.

Slow Menalar Agama

Nalar pincang tersebut, membuat umat gagap mencernah ajaran agama dan agama itu sendiri. Karena itu pula, penghardikan terhadap ajaran agama orang lain menjadi niscaya. Semua ajaran agama di luar dirinya adalah salah, dan dirinya sendiri adalah benar total. Nalar ini yang membuat dan memunculkan nalar kekerasan.

Kalau kita slow dalam menalar Islam, maka yang ditemukan adalah ajaran Islam sangat moderat. Bahkan Islam mengajak pada kedamaian atau jalan tengah dan melarang melampaui batas atau berlebihan dalam beragama dalam segala hal, baik hal konsep, akidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia, maupun perundang-undangan (hukum).

Kalau kita menalar Islam dengan rasional dan tulus, tidak akan mungkin menemukan logika, argumen, dan dalil-dalil yang mendukung agama dan Tuhan perlu dibela, dengan cara-cara menghancurkan manusia, apalagi manusia yang masih se-Iman dan se-Islam. Tuhan tak perlu dibela, karena Tuhan justru hadir dengan mengirimkan agama untuk membela manusia. Jihad bukan untuk membela Tuhan, melainkan untuk membela kemanusiaan manusia.

Saya kira, Tuhan sebagai pencipta seluruh mahkluknya, beserta menurunkan wahyunya kepada Nabi pilihannya bermisi untuk humanisme manusia, sebagaimana tercatat dalam firman-firmannya yang bersifat Rahmah dan Rahim. Begitu juga dengan Islam, agama yang mengajarkan persaudaraan membawa pesan perdamaian untuk mengasihi dan bukan saling membenci.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru