26.1 C
Jakarta

Capres 2024 dan Urgensi Pencegahan Radikalisme-Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifCapres 2024 dan Urgensi Pencegahan Radikalisme-Ekstremisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang kontestasi pemilihan umum (Pemilu) 2024 semakin dekat, partai politik, tokoh hingga relawan berkonsolidasi untuk menentukan jagoannya berkompetisi mengikuti perhelatan hajatan demokrasi.

Kendati demikian, berdasarkan berita yang tersiar di televisi hingga tersebar di beberapa sosial media, partai politik melalui ketua umum, juru bicara hingga kader melakukan safari politik. Terutamanya yakni mempersiapkan pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden mendatang.

Jauh sebelum pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 3 Tahun 2022 yang bakal digelar pada 14 Feburari 2024, beberapa partai politik sudah mengusung calon presiden, baik dari internal kader maupun ekstrenal. Hingga perlu membentuk koalisi partai politik untuk menentukan bakal calon presiden yang akan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Asal sudah memenuhi ambang batas pencalonan presiden, atau yang dikenal Presidential threshold yakni minimal 20% berdasarkan Undang – Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Prediksi bakal calon presiden yang akan berkompetisi yakni Pertama, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah 2 Periode (2013-2018 & 2018-2023) sekaligus kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), diusung oleh partainya sendiri, dan diikuti oleh partai lainnya yakni Partai Hanura dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Meskipun demikian, jauh sebelum dideklarasikan oleh PDI-P, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sudah mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden. Sebagai sesama partai politik secara kelembagaan, jauh sebelum PDI-P deklarasi, secara etika seharusnya PSI melakukan komunikasi politik dengan cara pamit atau sowan terlebih dahulu kepada PDI-P, yang mana Ganjar Pranowo merupakan kader aktif PDI-P dan melewati serangkaian kaderisasi dan penggemblengan politik dari PDI-P.

Kedua, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, yang bakal diusung oleh Koalisi Perubahan dimotori oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dan tak ketinggalan pula Partai Ummat melalui ketua umum Amien Rais menyatakan dukungannya kepada Anies Baswedan sebagai Calon Presiden 2024. Meskipun demikian, hingga tulisan ini dibuat, koalisi tersebut belum juga menentukan bakal calon wakil presiden dari koalisi tersebut.

Ketiga, Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sekaligus Menteri Pertahanan era kedua Presiden Joko Widodo. Prabowo diusung oleh partainya melalui amanat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) 2022 Partai Gerindra. Sebelumnya, Partai Gerindra bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Selain itu, partai lain yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), dan PPP membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) belum menentukan siapa capresnya. Sejak PDI-P mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai Bakal Capres 2024, PPP mengikuti jejak PDI-P dengan mendukung Ganjar Pranowo sebagai Bakal Capres 2024. Sehingga, KIB saat ini masih menghadapi dilematis. Sebelumnya informasi mencuat untuk berkoalisi gabungan antara KKIR dan KIB.

Bagi penulis, yang harus menjadi perhatian, terutama di sektor partai politik maupun koalisi antar partai politik harus selektif menjaring terlebih dahulu calon presiden yang mempunyai bekal ideologi wawasan kebangsaan dan nilai-nilai dasar perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman radikalisme-ekstremisme yang memecah belah keutuhan bangsa. Belajar dari dinamika politik identitas keagamaan sebagai jargon politik pada Pilkada 2017 DKI Jakarta dan Pilpres 2019, jangan sampai terulang kembali.

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Narasi Kebangsaan dan Pencegahan RadikalismeEkstremisme

Siapapun, baik Capres 2024 Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto maupun Anies Baswedan yang diusung oleh koalisi Partai Politik maupun Relawan Politik harus mempunyai visi dan misi kenegaraan yang sama adalah menggagas konsep besar dalam berbangsa dan bernegara. Salah satunya yakni membangun narasi kebangsaan dan bagaimana bangsa ini terbebas dari  radikalisme-ekstremisme, agar tercipta masyarakat damai dan tenteram.

Mengapa? Karena Indonesia adalah bangsa yang besar dengan mengedepankan pluralisme dalam keimanan dan berbudaya. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia atau lebih dari 273 juta jiwa, masyarakat Indonesia dengan latarbelakang yang beragam agama dan penghayat kepercayaan, berbudaya, suku, ras dan bahasa daerah harus menjadi komitmen bersama dalam NKRI.

Jangan sampai terpecah belah hingga terciptalah sebuah konflik horizontal karena persoalan politik opoortunis yang bersifat pragmatism sesaat, apalagi membenturkan antaridentitas untuk pecah belah. Itu semua diharamkan dalam agama.

Saya menggunakan persepsi sudut pandang muslim cendekiawan, misalnya yakni Soekarno dari unsur nasionalis, Abdurrahman Wahid dari kalangan pesantren hingga pernah menjabat Ketua Umum Nahdlatul Ulama, Nurcholish Madjid dari UIN Ciputat, Buya Ahmad Syafi’i Maarif yang pernah menjabat Ketum PP Muhammadiyah, yang sebelumnya turut mendukung adanya nilai kebangsaan dan keindonesiaan sebagaimana hal yang fundamental dibangun oleh founding father. Terutama dalam memahami agama yang inklusif, toleran, dan tidak kaku, pluralisme dan menghormati keberagaman dalam keyakinan.

Berdasarakan data yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Demokrasi Dunia, bahwa Indonesia berada di urutan 52 dengan skor 6,71, jauh di urutan pertama yang diduduki oleh Norwegia. Terdapat 5 indikator yakni proses Pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Sejauh pengamatan penulis, terutama pada aspek indikator mekanisme proses Pemilu dan kebebasan sipil.

Sejauh penelusuran penulis, agama sebagai komoditas politik oleh segelintir kelompok yang mengatasnamakan keagamaan dan kelompok yang bukan diyakininya itu salah hingga dikafirkan. Terutama dalam pandangan politik, ada narasi “jangan memilih pemimpin yang non-Muslim”, dalam Pilkada 2017 DKI Jakarta. Ini justru sangat sentimen negatif terhadap simbol-simbol keagamaan dalam urusan politik. Hal ini menjadi problem yang fundamental dalam kebangsaan.

Sehingga dugaan penulis, yang menjadi persoalan pilihan politik yang menjadi masalah/intoleran, mengkafir-kafirkan yang beda keyakinan, simbolisasi keagamaan tunggal sebagai komoditas politik. Kemungkinan menjadi salah salah satu indikator adanya radikalisme-ekstremisme yang mempunyai misi menggantikan ideologi Pancasila menjadi ideologi kegamaan atau negara agama.

Terutama bagi para islamis yang fundamental-radikal-ekstremis bermotif politik menginginkan konsepsi negara Islam atau negara bersyariah yang secara kaffah. Jangan sampai bangsa Indonesia yang berprinsip Bhineka Tunggal Ika, kebobolan melalui platform demokrasi, terutama dalam Pilpres 2024 mendatang.

Oleh karena itulah, mari bersama-sama bergotong royong dalam membangun narasi kebangsaan dan mencegah adanya radikalisme-ekstremisme dengan deteksi dini, saling menjaga satu dengan yang lainnya. Segala bentuk radikalisme dan ekstremisme, babat habis!

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Saat ini mengenyam pendidikan di Magister Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelumnya mengenyam Sarjana di Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Kesehariannya saat ini menulis kolom atau opini seputar atau isu aktual, serta mengkaji dalam perspektif akademik secara konstruktif.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru