27.5 C
Jakarta

Kebebasan Manusia dan Peradaban Anti-Radikal

Artikel Trending

KhazanahOpiniKebebasan Manusia dan Peradaban Anti-Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Manusia memiliki dua dimensi potensi, kebaikan dan kejahatan. Manusia juga telah diberi hak kebebasan penuh oleh Allah untuk memilih. Tentu dengan segala bentuk konsekuensi di dunia maupun di akhirat kelak. Sejalan dengan itu, Allah juga telah menciptakan akal baginya untuk dapat mengidentifikasi dan memilih daripada kedua potensi itu. Belum lagi, Allah telah menciptakan hati untuk kemudian dapat mengonfirmasi atas aktivitas yang dilakukan akal.

Hal tersebut dapat dilihat dalam Al-Qur’an, ketika membahas mengenai kebebasan manusia untuk menentukan sendiri atas perbuatannya (ikhtiyariyyah). Jadi seluruh perbuatan yang dinisbahkan kepada manusia menjadi tanggung jawabnya. Kemampuan yang dimilikinya selaras dengan potensi yang telah diberikan, untuk memilih melakukan atau meninggalkannya.

Kebebasan dalam Dimensi Agama

Franz Magnis Suseno mengatakan, kebebasan adalah tidak adanya paksaan dari orang lain untuk melakukan sesuatu yang melawan kehendak kita, atau adanya kemampuan menentukan diri sendiri. Menurutnya, arti kebebasan dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, kebebasan sosial, yakni kebebasan yang kita terima dari orang lain. Kedua, kebebasan eksistensial, yaitu kemampuan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri.

Dalam Islam, makna kebebasan cukup banyak pemaknaannya. Secara general, menurut Syekh Musthafa al-Ghalayani, kebebasan itu mencakup kebebasan individual, kebebasan sosial, kebebasan ekonomi, dan kebebasan berpolitik. Kebebasan individu sendiri mencakup kebebasan berpendapat, menulis dan mencetaknya, dan kebebasan berpikir sekaligus penyebarannya.

Kebebasan (al-hurriyyah) menurut al-Ghalayani, berasal dari kata al-hur, yang berarti terbebas dan merdeka dari perbudakan, sekaligus bebas menentukan pilihannya. Jadi, kebebasan di sini bukan berarti bebas yang sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan hukum yang berlaku atau bahkan melanggar ajaran-ajaran agama.

Salah satu dari sekian kebebasan itu, ialah kebebasan berpendapat dalam kapasitasnya lewat lisan maupun tulisan. Kebebasan berpendapat ini jangan disalahfungsikan, justru harus dimanfaatkan dalam rangka menyebarluaskan kebaikan. Tidak malah sebaliknya, malah untuk menyebarluaskan kejahatan dan kezaliman—termasuk radikalisme.

Seseorang boleh mengemukakan pendapat secara bebas, asalkan tidak melanggar hukum seperti hujatan, fitnah, melawan kebenaran, menghina keyakinan orang lain, atau hanya demi mengikuti kemauan sendiri. Sebab, dalam keadaan bagaimanapun juga, Islam atau agama samawi lainnya tidak akan pernah mengizinkan kejahatan dan kekejian sekalipun itu atas nama kritik.

Oleh sebab itu, semangat saling menghormati dan saling menghargai dalam wilayah kebebasan berpendapat, berpikir, atau politik sekalipun adalah representasi dari pergaulan kemanusiaan sejati. Pada dimensi ini, manusia mesti menjaga sikap toleransi, tenggang rasa, dan keserasian hubungan sosial dalam kehidupan. Itu artinya, kebebasan dalam Islam lebih terbatas secara dosis benar dan terarah, atau dengan kata lain bebas tapi terikat.

Kebebasan dalam Dimensi Tasawuf

Dalam wilayah tasawuf, manusia diciptakan Allah dengan empat dasar. Pertama, manusia sebagai tujuan penciptaan-Nya. Ketika telah mencapai tujuan penciptaan, manusia bukan lagi mikrokosmos, tetapi makrokosmos itu sendiri.

Sebagai evolusi terakhir, manusia adalah yang terbaik dari segi bentuk, fungsi, dan kompleksitasnya, atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut “ahsan taqwim”. Kedua, manusia sebagai cerminan Tuhan, bahwa Tuhan itu ibarat harta karun yang tersembunyi dengan sangat rahasia, tapi Dia tidak menikmati persembunyian-Nya tanpa mengenalkan-Nya.

Ketiga, manusia sebagai makhluk satu-satunya yang diberi kebebasan memilih. Artinya, manusia di sini menjadi makhluk yang paling istimewa, sebagai amanat yang tidak sanggup diemban langit, bumi, dan gunung. Satu-satunya yang dapat mengemban adalah manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Keempat, manusia diberi pengetahuan yang luar biasa. Itu pun bisa ia dapat dengan memfungsikan dengan baik potensi mereka dari indra, akal, maupun hati.

Di sisi lain, manusia dengan segala potensinya itu diminta untuk memahami maksud dan tujuan manusia dalam kehidupannya melalui Al-Qur’an sebagai panduan. Dari mulai menjaga kestabilan di dalamnya, mulai dari menjaga agama, jiwa, akal, harta, keturuan, negara, termasuk lingkungan. Dari sudut pandang ini, sehingga manusia sebenarnya diberi kebebasan yang terstruktur juga.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Kebebasan dan Hak Asasi

Semakin jelas, bahwa kebebasan boleh dimaknai dengan “kebebasan individu belum tentu menjadi kebebasan lian, kebebasan lian belum tentu menjadi kebebasan individu” dalam pemaknaan yang lebih terkonstruksi, disebutnya menjadi hak asasi manusia (HAM). Umar bin Khattab mengecam setiap tindakan yang melanggar hak-hak asasi.

Dalam ungkapannya yang begitu populer, khalifah yang diberi gelar al-faruq ini menegaskan keberpihakannya pada hak-hak asasi, “Kapankah kalian pernah diperkenalkan memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan dari rahim ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?

Menurut Hamdi Haqzuq, hak-hak asasi manusia dalam Islam dibangun di atas dua prinsip utama, yaitu prinsip persamaan manusia (al-musawah) dan prinsip kebebasan setiap individu (al-hurriyyah). Prinsip pertama tadi, persamaan, bertumpu pada dua pilar kokoh ajaran Islam, mencakup kesatuan asal-muasal umat manusia dan kehormatan kemanusiaan universal. Pilar pertama, kesatuan asal umat manusia dalam pandangan Islam sangatlah jelas, Allah menciptakan seluruh manusia dari jiwa yang satu.

Dengan demikian, seluruh umat manusia merupakan saudara dalam keluarga besar kemanusiaan yang menegasikan segala bentuk kasta dan strata. Perbedaan yang ada di antara manusia sejatinya tidak menegasikan substansi kesatuan kemanusiaan yang dimiliki setiap insan.

Oleh karena itu, perbedaan yang ada, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an, hendaknya dijadikan landasan untuk saling mengenal dan tolong-menolong antarsesama manusia; bukan penyebab benturan dan perseteruan. Hal ini sangat jelas tertuang pada firman-Nya dalam Al-Hujurat ayat 13.

Pilar kedua, prinsip egalitarianisme dan humanisme Islam, telah dengan tegas dan dinyatakan dalam surah Al-Isra’ ayat 70. Dengan kemuliaan dan kehormatan ini, Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi. Dalam rangka menjalankan amanat sebagai “tuan” atau “pemimpin” di muka bumi Allah tersebut, alam raya dengan segala isinya diersiapkan dan ditundukkan-Nya untuk kepentingan manusia. Karena amanat yang mulia tersebutlah, malaikat diperintahkan bersujud sebagai tanda salut dan hormat kepada manusia.

Dibandingkan makhluk-makhluk yang lain, kedudukan manusia dalam pandangan Islam sangatlah unik dan istimewa. Keistimewaan dan kemuliaan diberikan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, sehingga setiap individu memiliki hak asasi yang sama tanpa membedakan yang kaya dari yang miskin, atau penguasa dari rakyat jelata. Di hadapan Allah, seluruh manusia berdiri sejajar dalam suatu kemuliaan primordial. Karenanya, setiap manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum.

Adapun prinsip kedua, yang di atasnya dibangun hak-hak asasi dalam Islam, adalah prinsip kebebasan (al-hurriyyah). Manusia dalam perspektif Islam adalah makhluk yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dan membangun peradaban yang manusiawi.

Tugas dan tanggung jawab yang berat namun mulia tersebut tentu saja meniscayakan suatu kebebasan. Pertanggungjawaban sebenarnya lahir sebagai konsekuensi dari tersedianya kebebasan untuk melakukan pilihan. Karena itu, kebebasan manusia mendapatkan jaminan dalam Islam.

Bahkan, dalam masalah keimanan atau kekufuran sekalipun, Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihan tanpa paksaan. Ini bisa kita lihat dasarnya pada surah Al-Kahf ayat 29.

Demikianlah, prinsip kebebasan dalam Islam sebenarnya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; kebebasan beragama, politik, berpikir, dan berserikat. Semua itu, harus kita maknai dan jalani secara baik dan benar. Kebebasan manusia jika dioptimalisasi akan menciptakan peradaban yang ideal secara universal, yakni peradaban anti-radikal.

Rojif Mualim
Rojif Mualim
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru