31 C
Jakarta

Isra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas

Artikel Trending

KhazanahOpiniIsra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Isra Mi’raj 1445 H yang jatuh pada tanggal 8 Februari kemarin diperingati kurang seminggu dari pelaksanaan Pemilu 2024. Pertanyaannya, apa pesan Isra Mi’raj tersebut untuk pemimpin nasional atau wakil rakyat yang terpilih?

Di antaranya adalah pentingnya etika sosial dan spiritualitas, yang bukan hanya penting bagi mereka saja, melainkan juga bagi semua elemen bangsa, terutama CSO (Civil Society Organization)-nya sebagai rumah bagi demokrasi.

Sebagaimana diketahui, terutama umat Islam, Isra Mi’raj yang dilaksanakan Nabi pada tahun 10 kenabian, dua tahun sebelum hijrah, adalah momentum bagi keberhasilan dakwah Nabi. Sebelumnya, Nabi ditinggal wafat oleh pamannya, Abu Thalib, yang juga ayah angkatnya yang menjadi pimpinan klan Bani Hasyim yang melindunginya dari kejahatan kaum Quraisy. Juga oleh istri tercintanya, Khadijah.

Tidak lama setelah Isra Mi’raj itulah terjadi Bai’at Aqabah, dimana elite-elite Madinah bersumpah setia akan melindungi Nabi Muhammad, jika bersedia hijrah ke Madinah. Dari Madinah, dakwah Islam terpancar dengan efektif. Karena itu, hijrah Nabi menjadi awal penanggalan Islam, mengingat dengan hijrah ke Madinah, Islam menjadi tersebar. Dari Madinah, Islam memberi cahaya hidayah dan transformasi sosial kepada dunia, yaitu transformasi dari awalnya bercirikan masyarakat jahiliah menjadi masyarakat islami.

Isra Mi’raj yang dilaksanakan 27 Rajab hanya dilaksanakan oleh Nabi semalaman saja. Padahal, perjalanannya panjang. Dari Masjidilharam di Makkah, Arab Saudi, hingga ke Masjidilaqsa di Palestina. Dari Palestina menuju Sidratulmuntaha yang berada di atas langit ketujuh untuk menerima perintah salat lima waktu, yang umat Islam laksanakan hingga kini.

Etika Sosial

Salah satu yang menarik dari peristiwa Isra Mi’raj adalah penekanan pada etika sosial Islam. Isra Mi’raj memandang pentingnya sains dan teknologi, tetapi harus dibarengi etika. Asumsi itu tampak dari Allah mengisrami’rajkan Nabi dalam tempo yang singkat yang disimbolkan dengan hewan buraq, yang berarti secepat kilat sebagai kendaraannya–meski hewan kendaraan Nabi itu ditolak oleh sebagian ahli.

Saat diuji oleh masyarakat Arab mengenai deskripsi Masjidilaqsa yang dikunjungi Nabi dalam Isra Mi’raj, Nabi bisa menjawabnya sesuai kenyataan empiris Masjidilaqsa. Bahkan, Nabi bertemu dengan kafilah dagang di mana deskripsi yang disampaikan Nabi persis sebagaimana kafilah dagang dalam kenyataannya di perjalanan menuju Makkah.

Ini adalah tantangan Allah agar umat Islam menguasai sains dan teknologi yang empiris. Jika mungkin, bahkan bisa menghadirkan teknologi kendaraan yang lebih cepat dari pesawat terbang saat ini, mendekati kecepatan Nabi dalam Isra dan Mi’raj. Hal ini karena sifat Allah dalam hal-hal yang bisa ditiru oleh manusia dianjurkan untuk ditiru.

Namun, sebagaimana diungkap Einstein: “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”, penguasaan atas sains dan teknologi harus dibarengi etika. Dan ini sesuai dengan pernyataan Al-Qur’an: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang yang  memiliki sains di antara kalian (QS. al-Mujadalah [58]: 11).

Berdasarkan ayat ini, kunci kedigdayaan suatu bangsa adalah penguasaan sains dan teknologi, sebagaimana dialami negara-negara di Eropa Barat dan juga Amerika Utara. Belakangan, sebagaimana yang ditunjukkan Jepang dan Korea Selatan. Namun, dalam Islam, sebagaimana tampak dari ayat itu dan juga Isra Mi’raj, etika/integritas/keimanan lebih penting. Adab/integritas/etika harus lebih dahulu ketimbang sains.

Karena meninggalkan etika dan spiritualitas—yang dalam Isra Mi’raj disimbolkan dengan salat—tanpa etika atau spiritualitas, sains tidak akan melahirkan kebahagiaan bagi manusia, sebagaimana disebut Seyyed Hossein Nasr. Baginya, manusia modern Barat, juga Jepang dan Korea Selatan, meski menguasai sains mengalami kenestapaan.

Di tangan mereka bukan hanya terjadi fenomena perang dengan senjata pemusnah massal dan penjajahan di atas muka bumi, melainkan juga fenomena bunuh diri yang angkanya tinggi, termasuk kini di Jepang.

Pesan etika, terutama etika sosial dalam Isra Mi’raj, tampak juga dalam banyak peristiwa. Di antaranya adalah Nabi begitu menghormati nabi-nabi senior sebelumnya. Nabi sempat berziarah ke Madyan, tempat Musa menerima wahyu, ke Betlehem, tempat Isa lahir, juga salat di Masjidilaqsa, yang kala itu tempat ibadah kaum Yahudi dan Nasrani.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Bahkan, bertemu dan berkonsultasi dengan para Nabi sebelumnya. Selain dengan mereka berdua juga Nabi Ibrahim, kakek moyangnya. Perintah salat menjadi lima waktu adalah hasil konsultasi Nabi dengan Musa, nabi sebelum Muhammad yang juga jenderal yang membebaskan kaum Yahudi dari kezaliman dan ketidakadilan Fir’aun yang menjadikan mereka sebagai budak. Nabi Musa memimpin mereka eksodus dari Mesir ke tanah leluhur mereka demi menggapai keadilan sosial.  

Nabi juga melihat Adam yang saat melihat ke kiri bersedih dan melihat ke kanan bergembira. Saat melihat ke kiri, Adam melihat banyak anak keturunannya berbuat buruk dan tidak berintegritas di dunia saat hidup. Namun, saat melihat ke kanan, ia melihat anak keturunannya yang hidup beretika sesuai tuntutan nurani dan kitab suci Allah. Mereka yang berbuat buruk mengikuti iblis yang juga ditemui Nabi seperti kakek tua yang sesungguhnya tidak menarik.

Nabi juga melihat seorang nenek tua, tetapi mukanya cantik,  dan itu adalah simbol dunia, kemegahan material. Dunia dengan kemegahan materialnya sesungguhnya secara spiritual seperti nenek-nenek karena sudah tua renta. Namun, secara fisik seperti mukanya yang cantik, yang menarik misalnya bagi para koruptor.

Nabi juga melihat orang yang memakan daging busuk, karena berzina meninggalkan daging segar yang halal, dan juga melihat orang yang berenang dalam sungai darah sambil dirajam, karena di dunianya senang memakan harta riba, harta haram, karena melahirkan ketidakadilan ekonomi, sistem ekonomi yang tidak sehat.     

Berdasarkan deskripsi itu, Isra Mi’raj seolah berpesan kepada pemimpin nasional yang terpilih lewat Pemilu 2024 agar membenahi sistem pendidikan dan sains di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2021, hanya 10,61% pemuda di Indonesia yang menamatkan sekolah di perguruan tinggi.

Bandingkan misalnya dengan Korea Selatan yang 69,8 persen penduduknya mengenyam pendidikan tinggi. Indeks Inovasi Global 2023, termasuk di dalamnya inovasi ilmu pengetahuan, menempatkan Indonesia di peringkat 61 dari 132 negara. Indonesia kalah inovatif dibanding Vietnam dan Filipina. Apalagi dengan Singapura.

Indonesia juga pada tahun 2022 lalu, skor Indeks Persepsi Korupsinya di 3,4, dan bertahan hingga tahun 2023, jauh dari angka 10. Tingkat kebocoran uang negara yang dirampok aparat negara belum berubah dari tingkat kebocoran pada masa Orde Baru, yaitu 30% yang bertahan hingga 2006. Kini berubah sedikit menjadi 25%. Dan itu berarti uang negara yang dikorupsi sekitar 500 triliun dari jumlah APBN 2.007 triliun.

PDB per kapita Indonesia pada 2023 hanya US$ 5,1 ribu. Bandingkan dengan PDB per kapita Singapura yang mencapai US$ 87,9 ribu, Brunei Darussalam: US$ 34,4 ribu, dan Malaysia: US$13 ribu. Jika ukuran kemiskinan menggunakan US$ 3, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40%. Juga, menurut Didin Damanhuri, ekonom senior INDEF,  41 orang non-pribumi menguasai 88,9 kekayaan Indonesia. Sisanya dikuasai pribumi. 

Kecerdasan Spiritual

Lewat perintah salat yang inti salat ada dalam takbir, membesarkan Allah dan menganggap rendah yang lain, seperti kemegahan material, juga ada dalam sujud, maka yang dipentingkan dari Isra Mi’raj ialah kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam menjalani hidup sebagai panggilan spiritual, di mana jiwalah yang memimpin badannya, bukan sebaliknya. Secara sederhana, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan menjalani hidup dengan menjadi “anak-anak” Allah dalam arti spiritual, bukan fisik, yang dalam Islam dikenal dengan istilah menjadi “hamba-hamba”-Nya.

Maka, acapkali mereka mengambil jalan terjal yang ideal dan inovatif, demi tuntutan spiritualnya. Memimpin negara, karenanya, harus sebagai bentuk pengabdian dan sujud kepada-Nya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru