30.2 C
Jakarta

Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Artikel Trending

KhazanahOpiniMengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Idulfitri, sebuah momen yang dinanti umat Islam di seluruh dunia, bukan sekadar perayaan akhir Ramadan belaka. Ia juga merupakan waktu yang tepat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Di tengah beragamnya latar belakang budaya, suku, dan agama, Idulfitri menjadi momentum penting untuk menyatukan hati dan pikiran dalam semangat kebersamaan.

Salah satu aspek penting Idulfitri ialah keterlibatan seluruh masyarakat, tanpa memandang perbedaan apa pun. Ia menjadi simbol persaudaraan yang menghubungkan setiap keluarga dan kerabat. Dalam suasana yang penuh dengan maaf dan pengampunan, semua Muslim diajak untuk melupakan perbedaan dan konflik, serta membangun kembali hubungan yang harmonis dan saling respek.

Persatuan dan kesatuan juga tercermin dalam berbagai tradisi yang dilakukan saat Idulfitri. Mulai dari saling berkunjung ke rumah saudara dan tetangga, berbagi makanan lezat, hingga memberikan sedekah kepada yang membutuhkan. Semuanya mencerminkan semangat kebersamaan dan kepedulian sosial. Melampaui kebahagiaan dan keberkahan rezeki, ia memperkuat ikatan persaudaraan dan merajut jalinan kasih tak terputus.

Namun demikian, mengaktualisasikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam Idulfitri bukan tugas yang mudah. Kita kerap dihadapkan pada tantangan dalam memperbaiki hubungan yang retak, mengatasi perbedaan pendapat, dan membangun kepercayaan antarsesama. Namun, dengan tekad yang kuat dan kesediaan untuk saling memaafkan, kita dapat melangkah maju menuju masyarakat yang lebih damai dan harmonis.

Karena itu, Idulfitri mesti dijadikan kesempatan untuk merefleksikan diri, mempererat hubungan sesama, serta berkomitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut, fondasi kokoh untuk masa depan bangsa dan negara akan tercipta. Bukankah itu tuntutan ideal Islam? Menarik dikaji.

Idulfitri: Kembali ke Islam Ideal

Selama satu bulan Ramadan kemarin, umat Islam telah mengoptimalkan ibadahnya sebagai seorang hamba baik secara personal maupun sosial. Nuansa sakral di bulan yang penuh berkah telah berlalu, seperti buka bersama, sahur, tadarus, hingga war takjil dan acara-acara religius lainnya. Sungguh sedih bukan? Kehilangan bulan yang penuh dengan kemuliaan. Semoga kita bisa berjumpa di tahun mendatang.

Setelah berpuasa satu bulan, umat Islam tengah menyongsong satu perayaan yang disebut Idulfitri. Idulfitri adalah hari raya fitrah. Hari raya kesucian manusia, yang mana makna dari hari raya ini agar kita mengetahui hikmah bahwa kita diciptakan Allah Swt. dengan rancangan sebagai makhluk suci yang sakral.

Sebagaimana disampaikan Quraish Shihab bahwa Idulfitri bukanlah bermakna kemenangan, melainkan kembali suci. Puasa sebulan seharusnya mampu menjadikan manusia kembali suci, yaitu manusia yang telah terhapus dosa-dosanya.

Sehingga ketika Idulfitri hanya dimaknai sebagai kemenangan maka menjadi kurang tepat. Itu akan menjadikan manusia untuk melakukan berbagai tindakan yang berlebihan, makan berlebihan, mengeluarkan uang tanpa perhitungan, berbelanja berlebihan, dan berbagai tindakan berlebihan lainnya, termasuk berlebihan dalam beragama—ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Terlebih maraknya propaganda ekstremisme yang semakin menjamur di media sosial, menjadi peringatan bagi kita semua agar segera kembali pada kebenaran, kembali pada fitrah Islam yang ideal.

BACA JUGA  Metode Ilmiah Ibnu Al-Haytsam untuk Menangkal Hoaks, Bisakah?

Momentum Idulfitri ini harus dijadikan sebagai refleksi diri untuk kembali ke Islam yang ideal. Islam yang damai. Islam yang tidak menghalalkan tindakan kekerasan apalagi tindakan terorisme.

Sebab, pada dasarnya manusia adalah suci. Sikap-sikap manusia pun sebaiknya menunjukkan sikap-sikap yang suci. Terutama terhadap sesama manusia, kita diajarkan dalam hidup untuk saling menghormati dan mencintai sesama makhluk. Hal inilah yang menjadi esensi dari Idulfitri yaitu kembali ke Islam yang ideal–yang memihak kebaikan dan kebenaran.

Mengeratkan Persatuan dan Kesatuan

Dalam perayaan Idulfitri kita mengenal istilah mudik. Mudik adalah kembalinya seseorang ke kampung halaman atau tanah kelahiran untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara. Bagi orang yang merantau, mudik adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untuk sejenak melepas penat dari segala urusan duniawi yang mempat dan pepat.

Momen Lebaran adalah saatnya untuk merekatkan silaturahmi dan saling memaafkan. Ketika Lebaran pun, sebaiknya kita menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan menimbulkan sakit hati dan kebencian. Itulah pentingnya menjaga lisan.

Karena pada prinsipnya, Lebaran adalah momentum untuk bertransformasi, yaitu mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Lebaran menjadikan akhlak dan karakter umat Islam menjadi lebih baik, seperti jujur, tanggung jawab, solidaritas, dan peduli kepada sesama manusia.

Transformasi individu selama Lebaran adalah melalui pengendalian syahwat dan hawa nafsu, sebab jihad terbesar adalah mengendalikan hawa nafsu. Bukan semata-mata jihad dengan dalih memerangi non-muslim dengan aksi-aksi kekerasan. Jika dalam diri setiap muslim sudah dibenahi, maka akan mengantarkan dirinya kepada akhlak terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela.

Salah satu akhlak terpuji dalam upaya transformasi sosial adalah solidaritas dan kepedulian sosial, yaitu kondisi alamiah kelompok manusia dan perangkat yang mengikat masyarakat secara bersama-sama sehingga akan semakin mengeratkan persatuan dan kesatuan. Selain itu, melalui tranformasi sosial juga akan semakin membentuk sikap toleransi dan saling menghargai atas segala perbedaan dalam masyarakat.

Dalam konteks sosial negara-bangsa, Idulfitri dengan segala bentuk perayaannya memiliki keistimewaan makna. Seperti salat Id berjemaah, dilanjutkan ziarah kubur, berkunjung ke rumah sanak saudara, bersilaturahmi, dan bersalaman untuk saling memaafkan. Semua itu adalah potret wajah Islam di Indonesia yang sesungguhnya. Islam yang mengantarkan kerukunan sehingga tercipta persatuan dan kesatuan dalam masyarakatnya.

Semoga segala ibadah dan kebaikan yang sudah kita lakukan selama bulan puasa dapat kita terus laksanakan secara utuh dan berkelanjutan. Tetap menjadi jiwa-jiwa yang suci sampai akhirnya bertemu dengan bulan Ramadan tahun mendatang.

Itulah sebetulnya semangat Idulfitri, yang kemudian kita ucapkan Minal ‘Aidin Wal Faizin, semoga kita semuanya termasuk orang yang kembali ke fitrahnya dan sukses serta memperoleh bahagia. Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 H. Minal ‘aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

Fatmi Isrotun Nafisah
Fatmi Isrotun Nafisah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru