28.1 C
Jakarta

Isra Mikraj: Momentum Memberangus Radikalisme di Tubuh Muslim

Artikel Trending

Milenial IslamIsra Mikraj: Momentum Memberangus Radikalisme di Tubuh Muslim
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Isra Mikraj sudah digemakan di mana-mana. Peristiwa Rasulullah yang berlangsung pada 621 M itu, menuntun manusia untuk melihat makna di baliknya. Peristiwa monumental dengan hanya semalam saja, membuat umat Muslim takjub dan karena itulah hingga kini Isra Mikraj selalu diperingati.

Rasulullah manaiki transportasi super express di dunia: Buroq. Ia melintas dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsha, Palestina. Nabi Mikraj bisa diartikan sebagai “rekreasi” di kala Rasulullah sedih karena ditinggal banyak kerabat terdekat. Dengan Mikrajnya Nabi, ia bisa membangkitkan diri dari kesedihan-kesedihan yang menimpa. Walhasil, Nabi bangkit dan ia banyak menemukan pelajaran dari peristiwa takjub yang terjadi waktu mikraj itu.

Tak berhenti di situ, para pengikut Rasulullah juga bangkit dari keterpurukan. Mereka di/dari Mekkah dengan sesegara mungkin mengemas diri untuk berhijrah ke Madinah. Dengan kemauan dan tekad yang membaja, mereka menginginkan kehidupannya lepas dari ketertindasan yang merenggut jalan hidupnya.

Refleksi Generasi Sandwich

Ini sama dengan kehidupan kita. Kita berharap segala kesedihan, keterpurukan, ketertindasan, dan masalah-masalah yang mengitari kita lekas punah dan beralih pada kesempurnaan hidup. Keterasingan pada fakta yang membahagikan adalah makanan hari-hari kita di Indonesia. Kita terbiasa melihat gemerlap lampu, busana, mobil, rumah, dan kemewahan-kemewahan yang dipakai oleh orang atau pejabat tinggi. Tetapi dalam kehidupan nyata kita, itu hanyalah fakta yang asing.

Ironisnya, kita kembali tidak mengenali asal kita: manusia. Di era masyarakat modern yang menganut paham permisivisme, ultraliberal, dan semacamnya, kita kehilangan kemanusiaan. Saling tusuk, saling hantam, saling tikam, saling jarah sudah menjadi fenomena harian. Dan itu yang kini malah dijunjung dan dipertebal. Apalagi, diperburuk oleh Generasi Sandwich yang tidak mau berpikir bagaimana mengakhiri, paling tidak memperkecil napas era hitam itu.

Kehidupan-kehidupan normatif kini membuncah. Itu juga berimplikasi negatif pada perilaku kehidupan kita sekarang, bahkan nantinya kepada generasi penerus. Sebenarnya itu juga terjadi kepada masyarakat pra-Islam, sebelum Nabi Muhammad SAW menjalankan misi profetiknya sebagai nabiyullah. Di mana, masyarakat masa itu tidak mengenali batas-betas menjadi manusia seutuhnya.

Orbit keserakahan tumbuh dan bahkan telah menjadi kangker yang saling menjangkiti bangsa kita. Bahasa sekarang telah menjadi political commodity. Arogan, anarkis, radikal, amoral, antikejujuran bercokol dalam tubuh bangsa Ini. Itu sama dengan kata Marciano Vidal, di mana demoralisasi individual menjadi bukti bahkan tambah meningkat, kemudian kejahatan moral dan kondisi masyarakat yang kian tak peduli dengan moral, dan radikal membentang di hadapan kita.

BACA JUGA  Aplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan

Momentum Isra Mikraj

Pada momentum Isra Mikraj ini sesungguhnya tepat untuk memberangus sifat-sifat radikalis di atas. Mikraj harus diartikan sebagai langkah kongkrit untuk memikrajkan hakikat kehidupan kita menjadi lebih baik. Seperti Mikrajnya Nabi, ia bukan saja untuk meningkatkan spiritualitas keimanan, melainkan juga sebagai orientasi terjalinnya dialog atau kontak suci di antara sesama manusia.

Maksud saya, kontak suci tersebut adalah perilaku yang menghasilkan kebaikan pada sesama. Saling bertanggung jawab atas kehidupan publik, dan tidak dibolehkan untuk saling tusuk dan saling mendominasi. Harus ada nilai-nilai kemanusiaan di setiap derap langkah kita sebagai makhluk yang hidup di bumi dengan meniscayakan kenyamanan-kedamaian.

Kamanusiaan hanya bisa berjalan jika diorientasikan kepada Tuhan dan juga kepada manusia itu sendiri. Sungguh tidak masuk akal jika di antara keduanya hilang dan saling mencederai. Seperti perilaku teroris, di mana semuanya ingin dihibahkan kepada Tuhan. Tetapi, pada saat yang sama, kepada manusia saudaranya sendiri ia sangat beringas. Apa yang terjadi di sana adalah jalan religius yang fatal, yang membahayakan, bahkan mengancam. Jalan religius sesungguhnya adalah jalan yang mewujudkan the human right atau kedamaian kepada sesamanya (Maksun, 2019).

Dengan kata lain, Isra Mikraj ini tidak melulu mengingat pada spektrum Ilahi, tetapi juga harus mengingat pada spektrum kemanusiaan. Secara metafisis keduanya harus menyatu dalam sebuah kesadaran batin, sehingga dalam perilaku keilahian dan kesehariannya menjadi sesuai dengan norma Ilahi. Dengan Bahasa lain, gerakan keimanan harus berdiri pada satu gerakan: gerakan keilahian sekaligus gerakan kemanusiaan.

Jika itu bisa dilakukan, maka sifat-sikap radikalis, perasaan pesimistis, perilaku amoral akan hilang, dan bahkan memberi kekuatan di hati semua orang. Isra Mikraj senantiasi menjadi orbit diri untuk momentum dalam memberangus radikalisme di tubuh kita sebagai Muslim.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru